Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 : Percobaan perjodohan
Ara melepas sepatu dan meletakkannya di rak sebelum dia menaruh curiga pada suara pria sedang bercakap-cakap dengan Papanya di ruang tamu.
“Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikumussalaam.”
“Ara, sini dulu sebentar.”
Agung melambaikan tangan meminta Ara untuk mendekat.
“Ini Om Agus, temen Papa dulu di kantor cabang. Kamu masih ingat?”
“Halo, Om” Ara membungkuk canggung, lupa dengan siapa Om Agus ini.
“Waaah, Ara awet muda ya, kamu dari kecil nggak berubah loh wajahnya. Sholihah lagi. Ck, ck, ck…pengen Om jadiin mantu tapi anak Om perempuan semua. Hahaha!”
Agung dan Agus. Dua sahabat itu tertawa bersama, tapi Ara tidak. Dia mulai mengendus aroma-aroma mengarah pada sesuatu yang selama ini Ara hindari.
“Haha…Om bisa aja. Ara ke atas dulu ya, malu belum mandi, mau bersih-bersih dulu.”
“Ya, ya, silakan.”
Ara meraih punggung tangan Papanya, menciumnya, lalu naik ke lantai dua, masuk ke kamarnya dan mandi sampai lama.
“Ara belum punya pacar kan?” tanya Agus pada Agung.
“Temen laki-lakinya sih ada beberapa, tapi sepertinya belum ada pacar.”
“Teman saya ada yang punya anak susah disuruh nikah juga kayak Ara. Kalau mau, bagaimana kalau kita pertemukan mereka? Barangkali cocok. Sampeyan juga pengen toh kalau Ara nikah?”
“Saya sih sebenernya memang lebih suka Ara menikah daripada dia sendirian. Tapi saya kembalikan lagi ke Ara-nya, Gus. Bagaimanapun juga nanti yang menjalani kan dia sendiri, bukan saya.”
“Anaknya temanmu itu seperti apa, Mas Agus?”
Sarah muncul sambil membawakan dua cangkir teh di atas nampan.
“Oalah…Mbakyu Sarah denger toh? Maaf loh kalau nggak berkenan.”
“Nggak apa-apa. Saya malah seneng ada yang mau cariin jodoh buat Ara. Soalnya saya sudah nggak tahu lagi mau cari di mana.”
“Cari di tempat yang tepat dong, Mbak Sarah. Anak teman saya itu usianya sudah tiga puluh lima, tapi masih nggak mau nikah. Mungkin anaknya pilih-pilih ya. Dia sudah mapan, punya rumah makan, cabangnya di mana-mana.”
“Ooh…bagus kalau gitu. Orangtuanya masih ada?”
“Masih, Mbak. Ibunya dulu Kepala Sekolah, bapaknya Kepala Dinas. Tapi sudah pensiun semua.”
Sarah manggut-manggut.
“Kita kenalin aja, Pa.”
“Mama setuju mau ngenalin mereka?”
“Daripada Ara nggak jelas gitu. Pernikahan Alan tinggal tiga bulan lagi. Kalau Ara sudah ada pasangan kan, bisa lebih tenang gitu liatnya.”
“Ya coba saja tanya anaknya dulu, mau apa nggak…”
“Nggak usah minta persetujuan Ara lah, Pa. Anak itu susah kalau diajak kompromi. Langsung ketemuan aja di mana gitu. Sama kita.”
“Kalau itu gampang, Mbak Sarah. Saya bisa bantu untuk tempatnya. Nanti saya yang hubungi pihak sana.”
“Beneran ya, Mas Agus.”
"Hubungi saya saja kapan kira-kira Mas Agung dan Mbak Sarah ada waktu, Ara-nya juga.”
“Makasih banyak loh, Mas.”
Sarah menjabat tangan Agus seperti orang tari kejang sampai Agus meringis kesakitan. Agung hanya bisa geleng-geleng kepala.
...* * * * *...
Ara mengirim pesan kepada Alan dari dalam kamarnya. Dia merasa gelisah karena tanpa sengaja mendengar perbincangan orangtuanya.
[Gawat, aku mau dijodohin sama anak temennya temennya Papa!]
[Bagus kan, kamu nggak perlu susah-susah nyari jodoh.]
[Bagus gundulmu! Selama ini aku nggak pernah nyari jodoh, nggak perlu dibantuin kayak gitu juga kali’. Hari gini masih pakai perjodohan.]
[Kamu udah liat orang yang mau dijodohin sama kamu?]
[Ya belum lah! Males juga mau ketemu.]
[Kenapa males? Jangan-jangan kamu udah nggak doyan cowok lagi, Mbak? Hiii…ati-ati loh, kelamaan jomblo bisa liat yang aneh-aneh.]
[-_-]
[Udah, ikutin dulu aja apa maunya Papa Mama, barangkali tuh cowok emang jodohmu, sukur-sukur baik, ganteng, dan kaya kayak Ji Chang Wook.]
[Semprul!]
[Mbak Ara nggak bakalan sendirian terus, kan? Coba liat Papa sama Mama, mereka semakin menua, butuh anak-anaknya untuk merawatnya. Mbak Ara nggak bakalan muda terus, besok-besok juga tambah tua. Kalau sendirian, siapa yang akan ngerawat?]
[Apa gunanya punya adik dua? Aku bisa ngikut kalian. Nemenin anak-anak kalian kalau kalian kerja. Jadi nggak perlu babysitter.]
[Hadeeh…kami udah punya kehidupan sendiri, Mbak. Kamu juga harus punya.]
[Adik durhaka!]
[U're welcome. Peace!]
Ara menyudahi percakapan pesan dengan adiknya. Ada rasa nylekit di dada yang bikin nyesek. Kata-kata adiknya ada benarnya juga. Namun, Ara terlalu takut untuk melangkah. Ara tidak ingin mengulang kejadian yang sama beberapa tahun yang lalu.
...* * * * *...
Tidak menunggu lama, seminggu setelah pertemuan Agus dan Agung, Sarah sudah mendapat kabar mengenai waktu dan tempat di mana mereka akan bertemu dengan calon jodoh Ara.
Sarah gelisah ketika akan menyampaikan rencana pertemuan ini.
“Papa aja yang bilang sama Ara ya.”
“Kok nggak Mama aja? Yang sama-sama perempuan.”
“Mama orangnya nggak sabaran, ntar kalau Ara nolak, Mama nggak pinter bujuk. Papa aja sana, gih.”
Agung mendesah pelan kemudian melangkahkan kaki menuju kamar Ara. Agung mengetuk pintu beberapa kali namun tidak ada jawaban dan tanggapan. Agung terpaksa membuka pintu kamar anak perempuannya itu.
“Mama!! Ara kabur ya?!”
“Kabur gimana sih, Pa?”
“Dia nggak ada di kamar. Tadi dia pamit mau pergi nggak?”
Sarah mencoba mengingat-ingat. Dia menggeleng pelan.
“Coba tanya adik-adiknya.”
Agung menelpon Alan dan Azka secara bergantian, namun Ara tidak bersama mereka.
“Paling main ke alun-alun atau markas teaternya. Ditelpon aja, Pa.”
“Bener juga kamu, Lan. Ya udah, nanti Papa telpon.”
Agung memutuskan sambungan telpon Alan lalu beralih memanggil nomor Ara. Suara berisik dering gitar elektrik muncul dari dalam kamar Ara. Ponselnya tidak dibawa Ara. Entah ketinggalan, entah sengaja ditinggalkan.
Agung menghela nafas untuk kesekian kalinya. Dia ingin menelpon satu nomor itu tapi merasa tidak enak. Namun, demi menemukan Ara, Agung terpaksa menelpon.
...* * * * *...
Waktu menunjukkan pukul empat sore ketika Pamungkas menerima telpon dari Agung. Dia heran setelah sekian lama Papanya Ara tidak pernah menghubunginya lagi.
“Halo, Om.”
“Halo, Pamu...”
Anak dan bapak sama aja. Manggil nama nggak pernah komplit, batin Pamungkas.
“Gimana, Om?”
“Ara lagi sama kamu nggak?”
“Nggak tuh, Om.”
Duduk Pamungkas mulai menegak. Jika Agung sampai meneleponnya, berarti sudah siaga satu.
“Ara ilang, Om?”
“Nggak ilang, sih. Cuma ponselnya nggak dibawa. Ada pertemuan penting, tapi dianya malah nggak ada. Kamu lagi sibuk apa?”
“Nggak ada. Hari Sabtu dan Minggu saya libur.”
“Ooh…gini, Om bisa minta tolong sama kamu nggak? Biasanya Ara ke mana kalau lagi galau? Mungkin ada tempat-tempat yang kami nggak tahu tapi kamu tahu. Kadang, Ara lebih deket sama kamu ketimbang sama kami kalau soal-soal tertentu.”
“Saya bisa bantu cari, tapi maaf, ini soal apa ya, Om? Kalau boleh tahu.”
Agung menceritakan soal rencana pertemuan itu. Pamungkas takzim mendengarkan pendapat Agung selama beberapa menit. Pada akhir percakapan, Pamungkas hanya bisa mengiyakan permintaan Agung. Dia bergegas mengambil motornya.
Pamungkas harus membuka beberapa kemungkinan di mana Ara berada. Ara nggak mungkin berada di keramaian kalau suasana hatinya sedang kacau. Ara lebih memilih untuk menyepi dan mencari ketenangan.