Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus Universitas Citra, Vano, seorang mahasiswa hukum yang cerdas dan karismatik, ditemukan tewas di ruang sidang saat persidangan penting berlangsung. Kematian misteriusnya mengguncang seluruh fakultas, terutama bagi sahabatnya, Clara, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang diam-diam menyimpan perasaan pada Vano.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fadhisa A Ghaista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bayang-bayang dibalik pintu
Kampus masih diselimuti kegelapan ketika Naya dan Andra tiba di gedung fakultas hukum. Suasana mencekam menyelimuti mereka, dan hanya ada cahaya redup dari lampu lorong yang menghalangi mereka dari gelap total. Langkah mereka terhenti sejenak di depan pintu ruang dosen. Dalam hati, Naya merasa ragu, tapi tatapan tegas Andra seolah menjadi dorongan baginya untuk terus maju.
"Yakin kita bisa bertemu Dosen Hwang sepagi ini?" bisik Naya, suaranya bergetar pelan.
"Dia sering datang lebih awal untuk menyiapkan materi kuliah. Kalau tidak sekarang, kita mungkin kehilangan kesempatan," jawab Andra dengan tenang, meskipun raut wajahnya menunjukkan ketegangan.
Mereka mengetuk pintu ruang dosen, menunggu beberapa detik yang terasa begitu lambat. Dari dalam, terdengar suara seseorang yang menyahut. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan sosok Dosen Hwang yang tampak terkejut melihat mereka berdua.
"Naya? Andra? Ada apa kalian datang sepagi ini?" tanyanya, nada suaranya penuh keheranan.
Naya mengatur napasnya, kemudian menjelaskan dengan singkat, "Ini soal Vano, Pak. Kami menemukan beberapa petunjuk yang… sepertinya penting. Kami merasa Bapak mungkin bisa membantu."
Mata Dosen Hwang terlihat waspada sejenak, sebelum ia mengangguk pelan. "Masuklah," ucapnya sambil membuka pintu lebih lebar.
Mereka duduk di depan meja kerja Dosen Hwang yang penuh dengan buku dan tumpukan dokumen. Di atas meja, Naya meletakkan amplop yang berisi foto dan catatan Vano, lalu menyerahkannya kepada dosennya.
Dosen Hwang memeriksa isi amplop dengan cermat, terutama catatan yang ditulis Vano. Wajahnya terlihat serius, dan ada sebersit kekhawatiran di matanya.
"Petunjuk di balik suara… ini tampak seperti sesuatu yang disembunyikan Vano dengan sangat hati-hati," gumamnya sambil merenung.
Andra duduk dengan gelisah. "Pak, menurut Bapak, ada apa sebenarnya di balik ini semua? Mengapa Vano menyebut permainan yang lebih besar dari dirinya?"
Dosen Hwang menghela napas panjang sebelum menjawab, "Vano sedang mendalami sebuah kasus untuk tugas akhirnya, tapi… ada sesuatu yang aneh dalam cara dia mengumpulkan informasi. Dia sering menemui orang-orang di luar kampus, dan belakangan ini dia terlihat sangat cemas. Saya sudah menasihatinya untuk berhati-hati, tapi sepertinya dia terlalu dalam."
Naya dan Andra bertukar pandang, merasakan bahwa mereka semakin dekat dengan sesuatu yang lebih besar dan berbahaya. "Apakah mungkin Vano menemukan sesuatu yang tidak seharusnya dia ketahui, Pak?" tanya Naya.
Dosen Hwang menatap mereka dengan tatapan tajam. "Kalian tahu, dalam dunia hukum, beberapa rahasia dijaga bukan karena benar atau salah, tapi karena terlalu banyak yang dipertaruhkan. Jika Vano menemukan sesuatu yang… mengancam, bukan tidak mungkin ada orang yang ingin membungkamnya."
Suasana ruangan mendadak terasa semakin menyesakkan. Naya merasa seluruh tubuhnya merinding mendengar penjelasan Dosen Hwang. Di balik semua ini, mungkin ada pihak-pihak yang tak ingin kebenaran terungkap.
Saat mereka tenggelam dalam pemikiran masing-masing, tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu. Ketukan itu tajam, terdengar seperti seseorang yang tak sabar. Ketiganya langsung saling berpandangan, rasa khawatir kembali memenuhi hati mereka.
Dosen Hwang berdiri dan membuka pintu perlahan, mengintip siapa yang ada di baliknya. Namun, tak ada seorang pun di luar. Koridor kosong dan sunyi, hanya ada suara dengungan pelan dari lampu-lampu tua di langit-langit.
Dosen Hwang menutup pintu dengan ragu, wajahnya tampak bingung. "Sepertinya tak ada orang," ujarnya, meskipun nada suaranya penuh ketidakpastian.
Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat. Tiba-tiba, lampu di ruangan berkedip-kedip, kemudian padam total, meninggalkan mereka dalam kegelapan. Jantung Naya berdetak kencang, dan Andra dengan sigap menyalakan senter dari ponselnya.
Suara derit pintu di ujung koridor terdengar pelan, namun cukup jelas di keheningan. Tiba-tiba, Naya merasakan dorongan kuat untuk segera keluar dari ruangan itu.
"Kita harus pergi, Pak," bisiknya dengan napas tertahan.
Andra mengangguk setuju, dan Dosen Hwang akhirnya menyadari bahaya yang mengancam mereka. "Baiklah, kita ke perpustakaan. Ada pintu darurat di sana yang bisa membawa kita langsung ke luar gedung."
Mereka bertiga bergegas keluar, berjalan pelan namun cepat di sepanjang koridor gelap. Setiap langkah mereka bergema, dan sesekali Naya menoleh ke belakang, merasa seolah-olah ada seseorang yang mengikuti mereka dalam kegelapan. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan rasa ingin tahu, namun ia tahu ini bukan saatnya untuk berhenti.
Sesampainya di perpustakaan, mereka segera menuju pintu darurat. Namun, saat hendak membuka pintu, suara berat yang familiar terdengar dari ujung ruangan.
“Berhenti di situ,” suara itu terdengar jelas dan tegas, menggetarkan seluruh ruangan.
Mereka membeku, merasa bahwa takdir mereka kini berada di ujung tanduk. Bayangan sosok itu muncul dari balik rak buku, mendekat dengan perlahan, setiap langkahnya menghancurkan harapan mereka untuk lolos dengan aman.
Naya menahan napas, berharap bahwa ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun, tatapan tajam pria itu dan langkahnya yang pasti membuktikan sebaliknya.
Di tengah ketakutan yang memuncak, Dosen Hwang berdiri di depan mereka, melindungi Naya dan Andra. "Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan Vano, tapi jika Anda berpikir bisa menghentikan kami, Anda salah besar," ucapnya tegas.
Pria itu berhenti sejenak, menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. "Vano sudah melangkah terlalu jauh. Dan sekarang, kalian bertiga akan membayar harga untuk apa yang dia coba ungkap."
Saat itulah, Naya menyadari bahwa misteri di balik kematian Vano jauh lebih rumit daripada yang pernah ia bayangkan. Di dalam ruangan perpustakaan yang gelap, mereka kini terjebak dalam bayang-bayang, bertarung antara rasa takut dan tekad untuk menemukan kebenaran yang mematikan.