Seorang Ceo muda karismatik, Stevano Dean Anggara patah hati karena pujaan hatinya sewaktu SMA menikah dengan pria lain.
Kesedihan yang mendalam membuatnya menjadi sosok yang mudah marah dan sering melampiaskan kekesalan pada sekretaris pribadinya yang baru, Yuna.
Yuna menggantikan kakaknya untuk menjadi sekretaris Vano karena kakaknya yang terluka.
Berbagai macam perlakuan tidak menyenangkan dari bos nya di tambah kata-**** ***** sering Yuna dapatkan dari Vano.
Selain itu situasi yang membuat dirinya harus menikah dengan Vano menjadi mimpi terburuk nya.
Akankah Vano dan Yuna bisa menerima pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Vano sedang membaca proposal kerja sama yang menumpuk di meja kerja nya pagi ini sembari mana yang patut ia setujui, namun pria itu merasa hatinya was-was, entah kenapa.
"Apa ini? kenapa dengan hatiku?" Tinggal dua hari lagi pernikahan Juwita akan di selenggarakan. Ia sempet mengirimkan beberapa kali pada gadis itu, namun nomer nya malah di blok. Juwita benar-benar membencinya dan Vano sadar ini karena kesalahannya.
"Semoga bukan apa-apa." Vano mencoba fokus.
Tok...tok...tok.
"Ya, masuk."
Yuna masuk membawakan berkas yang membutuhkan tanda tangan tuannya. Melihat kedatangan sang sekretaris Vano kaget, ia pikir gadis itu masih cuti. "Ini Tuan."
"Ya taruh saja, kok sudah kerja?"
"Saya tidak enak terlalu lama cuti Tuan."
"Tau diri juga kau, jangan lupa nanti sore." Yuna mencebikkan bibirnya yang hari ini merah merona. Bukan karena apa, tapi hari ini dirinya cukup merasa tidak enak badan jadi memakai riasan yang cukup tebal.
"Apa Tuan? saya lupa."
"Heh masih muda sudah pikun. Ya pilih baju lah."
"Baju?"
"Jangan bilang kau lupa, Yuna? kau sudah janji loh akan menemaniku ke pesta."
"Oh iyah baiklah."
"Dasar pikun."
"Apaan sih, Tuan. Saya kan manusia biasa jadi bisa lupa juga." sentak Yuna tak terima di katain pikun.
"Ya sudah pergi sana!" Vano mengibaskan tangan menyuruh Yuna pergi dari hadapannya. Yuna mengurut dada menahan mulutnya sebaik mungkin agar tidak mengumpat.
"Baik."
***
Riana menata masakan nya ke dalam kotak bekal berwarna pink yang imut, rencana nya ia akan makan siang di kantor kakaknya dan mengajak pria itu makan siang bersama.
"Nah selesai, cantik!" puji nya pada hasil karya nya itu.
"Rin mau kemana?" tanya Wita melihat putri angkatnya sudah rapih dan membawa tas jinjing berisi kotak makanan.
"Mau ke kantor, Ma."
"Ngapain? Apa kamu mau belajar di kantor papa?" Wita senang mendengar nya jika begitu, tak mau jauh-jauh dari Riana yang mau bekerja di luar negeri.
"Bukan, Mah. Mau antar ini." Riana mengangkat tas jinjingan nya itu.
"Oh." lirih Wita kecewa. Wanita itu duduk di ruang makan dan melamun.
Riana yang melihat ibunya murung lantas menghampirinya.
"Ma..."
"Hmm,"
"Mama kenapa sedih?"
"Rin."
"Iya ma?"
"Kau tetap kekeh mau kerja di luar negeri?" tanya Wita menatap sang putri.
"Iya ma, aku dapat rekomendasi perusahaan bagus di sana. Sekalian cari pengalaman. Kenapa? ga boleh yah?"
Wita memegang tangan Riana dan mengusap nya ke pipinya. "Nak, papa dan mama kan masih bisa penuhin kebutuhan kamu."
Riana menangkup wajah ibunya dengan kedua tangannya lalu mencium kening wanita itu dengan sayang. "Aku mau kejar cita-citaku supaya bisa bikin mama dan papa bangga.
"Tapi di sini juga bisa kan, Nak. Banyak perusahaan bagus juga."
"Ngga ma, ma. Please izinkan Riana membalas jasa kalian. Riana bakal pulang jadi orang."
"Emang nya kamu bukan orang?"
"Bukan gitu, maksudnya. Riana penge jadi anak mandiri dan pulang bisa membanggakan." Wita menghela nafas. Mau bagaimana lagi, jika ini sudah keinginan putrinya. Ia hanya bisa mendukung dan mendoakan saja.
"Kamu yakin?"
"Yakin Ma."
"Ya, mama gak bisa berbuat apa-apa lagi buat halangin kamu. Semoga apapun keinginan kamu tercapai Nak."
"Aamiin, aku ke kantor kakak yah."
"Iyah, hati-hati."
"Iya."
Riana melangkah dengan riang keluar rumah menghampiri supir agar mengantar nya ke kantor. Masih ada waktu dua bulan sebelum keberangkatan nya ke luar negeri, ia akan menghabiskan waktunya di sini dan mengungkapkan perasaannya pada Vano.
"Ke kantor pak."
"Baik, Non."
Riana tersenyum membayangkan reaksi Vano yang ia kirim makanan, pria itu pasti terkejut.
Tidak butuh lama Riana sudah sampai di kantor. Ia langsung masuk lift ke ruangan kakaknya. Semua pegawai kantor sudah tau siapa dia. Wira dan Wita memang sangat baik, mereka memperkenalkan Riana sebagai anak pada khalayak umum.
***
Ceklek.
"Kakak." Vano yang sedang menatap jendela menoleh, bibir seksinya menyunggingkan senyum lebar.
"Rin."
"Kakak udah makan siang belum?"
"Belum."
"Kebetulan sekali Riana bawa makanan buat kakak." Seru gadis itu ceria. Vano gemas ia duduk di sofa di samping adiknya menunggu adiknya itu membuka kotak bekal makanan yang di bawa nya.
"Wah kelihatannya enak sekali. Ini kamu masak sendiri?"
"Iya kak." Jawab Riana malu-malu. Pipi nya memerah melihat sang kakak yang mencoba masakannya dan memujinya.
"Udah cocok jadi istri nih."
Degh.
"Istri?"
"Maksudnya kak?"
"Udah cocok kamu menikah dek."
"Menikah?"
"Hhhmm tahun ini umur kamu 22 tahun kan?" Riana mengangguk, saat ini jantungnya tengah berdebar-debar menunggu apa yang akan di ucapkan Vano. Harus kah ia mengungkapkan perasaannya pada Vano? Tapi bagaimana jika laki-laki justru membencinya. Riana dilema.
"Kak?"
"Iya?" Jawab Vano sambil terus memasukan makanan ke dalam mulutnya, masakan Riana sangat cocok di lidahnya seperti masakan ibunya. Mungkin selama ini Riana kerap belajar memasak beda dengan Stevani.
"Kakak punya pacar ngga?" tanya Riana, Vano meletakkan sendoknya lalu menatap Riana intens.
Pacar?
Tumben adiknya bertanya begitu.
"Ngga. Kenapa dek?" tanya Vano.
"Em, itu tipe ideal kakak seperti apa sih?"
"Tipe ideal yah?" Vano menatap langit-langit ruangannya, pikirannya berkelana pada gadis bernama Juwita dan senyum gadis itu yang manis.
"Baik, lembut seperti mama. Itu tipe kakak." dalam hati Riana tersenyum kecut, apa dia tidak termasuk? selama ini ia sudah berusaha merubah sikapnya seanggun mungkin.
"Kak."
"Hem?"
"A-aku."
"Iya bilang aja." Vano merasa ada yang aneh dengan Riana sikapnya hari ke hari. Apa gadis itu menyukainya? tebak Vano dalam hati.
"Kak."
"Iya apa?" Jawab Vano sangat lembut membuat Riana deg degan saja, namun ini kesempatan nya, kapan lagi menemukan momen. "Aku suka-"
Tok, tok, tok.
Riana menggigit bibir nya karena suara ketukan pintu membuat Vano tidak lagi memperhatikan dirinya.
"Masuk!" Seru pria itu tegas.
"Tuan."
"Apa Yuna?"
"Makan siang anda." Yuna masuk dan menaruhnya diatas meja milik Tuan muda arogannya.
"Tidak perlu karena adikku sudah membawakan makanan."
"Terus kenapa Tuan tidak bilang?" Yuna menahan amarahnya yang hampir meledak, 30 menit ia mengantri di restaurant demi makan siang untuk Vano, sampai ia sendiri tidak sempat makan siang. Dan dengan mudah nya pria itu bilang begitu?
What the fuck!
Yuna mengumpat keras dalam hatinya saat ini, tentu saja bisa-bisa ia di pecar karena mengucapkannya langsung.
"Aku lupa."
"Lupa?"
"Ya aku juga manusia kan."
"Kalau begitu saya permisi." Yuna keluar dari ruangan Vano dengan kaki yang sengaja ia hentak-hentakkan dengan keras ke lantai. Riana yang melihat sekretaris kakaknya merenggut tidak suka. "Dia kok tidak sopan sih."
"Ngga papa emang dia begitu, udah biasa. Oh yah kamu tadi mau ngomong apa?"
"Em- Em itu aku suka kakak." Riana menutup mata sambil mengatakannya dan menyerahkan kotak berisi kue coklat buatannya.
Vano mematung, ia sudah menduga hal ini. Ia jadi bingung harus merespon bagaimana.
"Na."
"Kalau kakak terima coklatnya berarti kita jadian, kalau nggak ..."
"Kamu bakal benci kakak?" Riana juga bingung. Ia hanya berpikir Vano akan menerima nya, selama ini pria itu begitu perhatian kepadanya. Hingga ia jadi baper seperti sekarang.
"Na, jangan begini. Kita kakak adik."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...