Tiga sejoli menghabiskan usia bersama, berguru mencari kekebalan tubuh, menjelajahi kuburan kala petang demi tercapainya angan. Sial datang pada malam ketujuh, malam puncak pencarian kesakitan. Diperdengarkan segala bentuk suara makhluk tak kasat mata, mereka tak gentar. Seonggok bayi merah berlumuran darah membuat lutut gemetar nyaris pingsan. Bayi yang merubah alur hidup ketiganya.
Mari ikuti kisah mereka 👻👻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon diahps94, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Haram Yang Halal
"Jadi maksud kalian aku anak setan?" Pemuda berseragam SMP lengkap tercengang dengan cerita para ayah.
Ya benar, ayahnya tak hanya satu. Dia punya tiga orang ayah yang mengasuh dan membesarkannya. Hidup penuh kasih sayang meski tak punya seorang ibu. Kehidupan penuh dukungan keluarga dan warga setempat, namun yang namanya anak-anak ada kalanya dia merasa sepi meski ramai. Sepi menanti datangnya sosok ibu. Tak sekali dua kali jadi anak comblang untuk ketiga ayahnya. Meski giat mencoba, ketiganya masih betah melajang sampai sekarang.
"Eh bocah kalau bapak lagi ngomong tuh di dengerin dulu, ceritanya belum selesai." Pekik Yanto, karena anaknya terburu menarik kesimpulan, dan meski benar tetap saja kurang tepat.
"Ya kalau nunggu selesai mah keburu telat berangkat sekolahnya ah." Remaja yang sibuk dengan mengikat sepatu itu protes.
"Iya rapatnya di tutup aja ya, mau nganter ikan dulu ini." Dayat penerus usaha juragan empang, tak duduk di kursi ruang tengah rumah Yanto, hanya senderan di pintu saja.
"Hoamm, iya lanjut ntar malem aja ya, ngantuk atuh lah." Ujang setengah sadar di seret Dayat untuk ke rumah Yanto karena putranya bikin gaduh pagi hari, ingin rapat keluarga katanya.
"Ah, udahlah mending gak usah berangkat sekolah aja, pusing di tanya siapa ibunya, masa jawab ibuku kuntilanak." Menghempaskan kembali tubuhnya ke sofa di ruang tengah.
Mata remaja itu berkaca-kaca, dadanya terasa sesak. Sedari dulu bertanya perihal ibu selalu begini jawaban mereka. Dirinya enggan percaya hal sulit di terima nalar. Benar dia masih kecil, tapi bukan berarti anak kecil tak dapat di ajak komunikasi. Andai ada kejujuran, pastilah dia mencoba berlapang dada. Dia hanya tak sanggup, menerima santunan karena di bilang anak piatu. Temannya banyak yang jauh lebih susah daripada dia, mengapa memberi santunan harus memprioritaskan yang yatim atau piatu. Apakah menerima santunan harus tak punya orang tua lebih dulu.
"Sebenarnya apa yang mendesak mu ingin tahu siapa ibu mu, toh tanpa sosok ibu ada nenek-nenek mu yang sayang, bahkan rasa sayang itu jauh lebih besar daripada sayangnya pada kita anaknya sendiri." Yanto tahu semakin beranjak usianya, ada saja kesukaran dalam menjelaskan seluk-beluk keberadaan putranya.
"Ini bukan masalah sayang atau apapun itu, aku hanya tanya siapa ibuku, kenapa aku harus punya tiga ayah, dan kenapa tak seorang pun mau menyahut saat aku tanya siapa ibu ku. Aku tak bodoh, benar kata orang aku anak HARAM!" Kesal, emosinya tak stabil, dia hanya ingin jawaban singkat tapi tak mengada.
Ruang tengah rumah Yanto jadi hening mendengar jawaban putra mereka. Yanto yang semula duduk, Ujang yang rebahan dan Dayat yang berdiri agak jauh mendekat merangkul putra mereka. Anak itu kuat, tak pernah mengeluh dan bercerita dalam tangis, kali ini dia meluapkan dengan airmata. Hati ayah mana yang tak luka saat ada ucap yang melukai hati buah hati. Siapapun yang berucap, mereka berdoa agar tak selamat lisannya di kemudian hari.
Dayat mengelus bahu putranya. "Djiwa, denger bapak, emang Djiwa ngerasa anak haram?"
"Ya hikss, ya nggak sih." Sahut putranya, dia tetap menyahut meski kesal melanda hati.
"Djiwa di dunia nggk ada anak haram, kalaupun ada yang haram itu orangtuanya, seorang bayi mana bisa memilih rahim nak. Contohnya ayah, mana bisa ayah memilih lahir dari nenek mu yang bawelnya sebesar candi Borobudur, seluas samudra Hindia, sepanjang kereta malam, dan kecepatan seperti pesawat terbang, tidan bukan?" Penjabaran yang diucap Yanto meski harus melibatkan ibunya, namun menjadikan putranya sedikit terkikik.
Srtuuuuuuttt, suara ingus yang di keluarkan Djiwa. "Yah, bawa-bawa nenek, aduin loh nanti ya."
Yanto menepuk punggung putranya cukup kuat. "Bro seorang pria tak punya mulut ember."
"Ya tapi kan bowan yang ngajarin, kadang suka ngaduin botu dan boti biar gaduh terus kena usir nenek Rini." Celoteh manusia remaja yang sibuk menghapus airmata dan umbal dengan kaos Yanto.
"YAKK, stop panggil aku boti Djiwa, aku ini bapak mu panggil ayah jangan boti-boti terus, migren lama-lama kepala ayah. Udah lima belas tahun loh di bilang panggil ayah jangan boti masih aja ngelawan ya." Ujang berkeluh kesah meski tak sekalipun di gubris putranya.
"Waktu kecil siapa yang ngajarin aku panggil bro bukannya ayah, udah begini terlatih lidahnya suruh rubah ya susah ah boti tapi bukan bonceng tiga hahahaha." Djiwa usil terhadap Ujang.
"Asdffhjkl, ya aku, tapi dulu ayah masih muda mana sempat kepikiran di panggil ayah, lebih keren di panggil bro, tapi kenapa jadi boti sih, kerennya ilang bencongnya dapat, hadeuhh." Ujang hilang kantuk dan belas kasih pada putranya, dia beranjak dari sofa, berdiri dengan berkacak pinggang seolah marah besar.
"Eits tunggu dulu, lagian kenapa boti mendelik begitu, bukan kah salah boti juga yang tanya urutan. Bukan Djiwa loh yang kasih urutannya, kalian milih masing-masing, kalau mau protes sudah terlambat, sudah mendarah daging, muwahahah." Djiwa lupa dengan kesedihan sesaatnya.
Dahulu kala Djiwa pertama kali mengeluarkan celoteh saat umur satu tahun, ketiga pemuda sibuk. Dayat setuju saja di panggil ayah, namun Yanto yamg sedang dekat dengan Tasya bidan desa tak menginginkan itu, terlebih Ujang dia punya prinsip pamali kalau sebelum menikah di panggil ayah. Jadilah mengajarkan putranya panggilan keren untuk mereka bertiga. Sapaan bro sengaja disematkan sebagai panggilan sayang. Ujang memilih nomor urut tiga karena dia yang termuda, dia suka di panggil bro tiga. Yanto dan Dayat tak punya perdebatan khusus, berhubung Djiwa tinggal di rumah Yanto jadilah Yanto bro number one di panggil browan. Dayat sisanya, dipanggil brotwo oleh jiwa. Berhubung lidah bayi terasa pendek jadilah tak sampai memanggil demikian. Djiwa hanya mampu berucap bowan, botu, dan boti. Ujang uring-uringan, dibesarkan hati oleh Dayat dan Yanto bahwa nanti ketika paham bisa diperbaiki. Ucapan hanyalah ucapan, fakta sampai remaja tak kunjung diperbaiki.
"Sudah biarkan saja boti pundung, sekarang lekas pakai sepatu mu kita berangkat sekolah." Seru Yanto, dia melirik jam tangan dan masih sempat untuk mengejar jam masuk.
"Haihh, aku malas sekolah bowan. Ingat, aku tak ingin di tanya perihal ibu, dan tolong beri sumbangan ke sekolah lebih banyak, seenaknya saja mereka mengincar ku untuk menyalurkan santunan, aku ini kaya raya di desa. Kekayaan dari tiga keluarga aku punya hak waris bukan?" Gaya bicara Djiwa lebih condong ke Yanto, karena keseharian menghabiskan waktu dengan perjaka tua itu.
"Eh..e...e...hayo, ngomong apa barusan Djiwa nenek dengar loh ya, jangan sampai nggk berangkat sekolah terus kamu nurun ayah mu yang nggk sarjana sibuk ternak kambing dan sapi terus mau jadi apa kamu nanti nak?" Sutil ditangan kanan Rini menjadi perhiasan yang siap pukul ke arah Djiwa, tangan kiri berkacak pinggang Rini meromet sempurna dari arah dapur.
"Ya jadi juragan sapi sama kambing lah nek, masa jadi kambingnya apalagi jadi sapinya kan nggak mungkin." Elak Djiwa pandai bersilaturahmi dengan amarah neneknya.
"Ehhh, heh siapa itu yang ajarin, aduhhhhh YANTOOOOO kebiasaan anaknya di didik nakal seperti itu, mana nenek sendok dulu mulutnya pake sekop." Rini berlarian mengejar Djiwa di ruang tengah.
"Ampun nek, iya ini berangkat, aduh jangan pake Sutil ishh nenek itu bau rendang jengkol, aish ini baju putih......nenekkk ampun." Djiwa berhasil dikeluarkan dari dalam rumah oleh Rini.
Hinggap di atas jok motor matic milik Jarwo, Djiwa di bawa ke sekolah oleh sang kakek yang sengaja menunggu di depan pintu keluar. "Bu, berangkat dulu, ayo Djiwa pamit sama nenek."
"Udah kek tancap gas dulu yang penting, keburu kena Sutil lagi, ahhh nenek assalamualaikum." Djiwa sibuk menghindari arah Sutil Rini yang di tuding-tudingkan ke arahnya.
"Waalaikumsalam."
Rini menatap sendu kepergian Djiwa, diam-diam dia menguping rapat tak sempurna ketiga ayah dengan buah hatinya. Sempat terenyuh dengan pernyataan anak haram terucap dari mulut sang cucu. Rini tak bisa membungkam mulut semua orang. Meski warga desa tak ada yang mengolok, namun berbeda dengan sekolah. Tempat dimana anak-anak mencari jati diri, dan tak semua anak paham akan hal menjaga hati. Tutur bahasa manusia berbeda, meski diucapkan lirih dan santun kadang masih membuat luka. Apalagi di sekolah, anak-anak pasti mengolok dengan suara lantang dan tak kenal tempat. Rini tak sanggup membayangkan saat Djiwa mendengar cemooh tersebut.
"Bu, malah ngelamun, udah sana masak." Yanto menegur Rini yang mematung di depan pintu.
Rini mendengus, putranya ini sama sekali tak peka meski sudah kepala tiga. "Dasar perjaka tua, nikah sana bikin muak aja."
"Eh si ibu, orang ngomong apa nyautnya nyakitin, dasar nenek peyot." Dasarnya buah tak jatuh jauh dari pohonnya, Yanto sama suka mengolok balik orangtuanya.
"Sudah tahu peyot, harusnya kau sadar diri cepat kawin, ibu mu ini butuh mantu." Cerocos Rini.
"Nanti di tolak terus, serba salah deh, calon banyak pas dikenalin malah di tolak terus, maunya gimana sih Bu." Bukan sekali Yanto mengenalkan wanita yang ia dekati, belum satu jam ibunya sudah bersyarat tak suka.
"Cih, minimal ya bawa Tasya jangan gadis lain." Rini melenggang pergi ke dapur.
"Yaudah fiks jadi perjaka tua seumur hidup ini mah Bu." Teriak Yanto menimpali Rini yang sudah hilang di balik pintu.
Ujang yang sedari tadi di samping Yanto tanpa kata, kini bersuara. "Susah ini mah Yan, ah riweh udah ini mah, Tasya udah punya calon ah ibu mu mah kurang mendengar gosip desa."
"Lagian, mana mau dia sama kau yang tak sarjana, meski wajah ok, otak kau tak ada Cok." Dayat turut berkomentar.
Yanto malas mendengar komentar yang itu-itu saja. Masuk ke dalam rumah, menutup daun pintu dengan membanting cukup keras sebelum di tutup rapat. Sengaja bertingkah demikian, kesal saja temannya tak ada niatan membantu hanya hobi memperburuk suasana hati.
Jegerr
"Si kampret bikin kaget aja." Ujang menjingkat, tak mengira Yanto akan membanting daun pintu.
"Eh ayam, eh kaget-kaget, lebay amat sih Jang, hayuk balik." Dayat sarkas.
"Eh bedegug sia, gendong atuh lah." Ujang langsung menempelkan tubuh di punggung Dayat.
Dayat menggendong Ujang, berlari santar penuh keseimbangan. Lantas saat tiba di parit depan rumah Yanto, dengan hentakan ganas menurunkan Ujang satu hentakan. "Nah, mandi disini aja cok, biar seger."
Pyurrr...
"GOBLOKKKKK, DAYAT CENGOH. WOY, AH BASAH INI!!!"
"SETANN ALAS, DAYAT JANGAN LARI!!!!"
Bersambung