Cintailah pasanganmu sewajarnya saja, agar pemilik hidupmu tak akan cemburu.
Gantungkanlah harapanmu hanya pada sang pencipta, niscaya kebahagiaan senantiasa menyertai.
Ketika aku berharap terlalu banyak padamu, rasanya itu sangat menyakitkan. Kau pernah datang menawarkan kebahagiaan untukku tapi kenapa dirimu juga yang memberiku rasa sakit yang sangat hebat ?
~~ Dilara Annisa ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda Yuzhi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Dilara.
" Maaf, sayang !! Keberangkatan abang tertunda lagi untuk hari ini. Abang ada rapat mendadak. " Ucap Fikri dengan nada penuh sesal saat menelpon istrinya.
Dilara menghela napas berat. " Iya, bang. Tidak apa-apa. " Sahutnya singkat. Wanita cantik nan anggun itu sudah kehilangan semangat ketika mengetahui suaminya menunda keberangkatannya lagi.
" Jangan marah dong, sayang. Abang janji, selesai urusan abang langsung pulang. " Bujuk Fikri setelah mendengar jawaban singkat dari Dilara.
" Lara tidak marah, bang. Kenapa harus marah ? Toh abang lagi kerja, bukan lagi selingkuh. Jadi santai saja, bang. " Sarkas Dilara cukup membuat Fikri menelan ludahnya mendadak terasa kelat.
" Sayang... Kok gitu ngomongnya ?! Abang --"
" Memangnya Lara harus bilang apa ? Salah Lara ngomong sepertii itu ? Lara biasa saja, bang. Jadi, semangat kerjanya yaa ! Cari uang yang banyak, jaga kesehatan, jangan telat makan. " Pungkas Dilara sebelum suaminya menyelesaikan kalimatnya.
" Ya sudah. Lara tutup dulu ya, bang. Katanya abang sibuk. Lara juga sibuk mau ke cafe. See you, bang. Assalamualaikum ! "
" Tuut "
" Tuut "
Fikri melongo sambil menatap nanar ponselnya yang sudah menggelap. Sang istri tidak memberinya kesempatan untuk berbicara. Laki-laki tampan berusia tiga puluh satu tahun itu mengacak rambutnya dengan rasa frustasi.
" Aargghh.. " pekiknya sambil melempar ponselnya ke atas sofa yang sedang di dudukinya.
" Kenapa jadi seperti ini ? Maafkan abang, Lara ! Abang pasti akan menjelaskan semuanya. Abang tidak berniat membuatmu marah. " Gumamnya gelisah sambil menangkup wajahnya merasa sangat frustasi.
♡♡♡
Dilara kembali mengusap cairan bening yang menetes dari sudut matanya sambil meremas perutnya yang tiba -tiba terasa nyeri.
" Sshhh....Ya Allah, sakit sekali ! " Desisnya terhuyung seraya membungkuk menahan sakit. Wanita itu perlahan melangkah ke tepi ranjang lalu duduk menenangkan diri.
" Apa aku ikuti saja saran dokter untuk berobat lanjut, ya ! Semakin hari semakin terasa sakitnya. " Gumamnya bermonolog. Wajah cantik itu semakin memucat menahan denyutan di perutnya bagian bawah.
Dilara meraih ponselnya dan men-dial nomor Raya, sahabat karibnya sejak dia kuliah, sekaligus manajer di salah satu cafe-nya, selain cafe-nya yang di pinggir pantai kemarin.
" Hallo, Ray ! Kamu sudah di cafe sekarang ? " Tanyanya to the point setelah panggilannya diangkat oleh sang sahabat.
" Iya, Ra. Ini lagi briefing sama anak-anak. Kenapa, Ra ? " Jawab Raya.
" Selesai briefing, tolong kamu ke sini. Temani aku ke dokter. " Ujar Dilara sambil meringis kesakitan.
" Ya Allah, Ra ! Kamu kenapa ? Apa sakit kamu kambuh lagi ? " Panik Raya mendengar ringisan Dilara. Raya memang sudah tahu tentang penyakit Dilara. Dia adalah satu-satunya orang yang mengetahui hal itu. Dilara belum mau memberitahukan tentang penyakitnya itu pada kedua mertuanya ataupun iparnya. Dia masih dilema. Dan untuk Fikri, dia akan memberitahu jika keadaan memungkinkan.
" A-aku meluncur sekarang, Ra. Lima menit lagi aku sudah di rumah kamu. " Ucap Raya panik. Gadis berbadan mungil itu langsung menutup briefing dan berlari dengan panik ke arah parkiran mobil miliknya. Jarak cafe dan rumah Dilara memang tidak jauh, hanya berkisar lima menit perjalanan.
" Kenapa sih, Ra. Kamu tidak jujur saja pada Pak Fikri bahwa kamu lagi sakit ? Dalam keadaan seperti ini, kamu butuh dukungan orang terdekatmu. Pak Fikri harus tau hal ini, Ra. " Ucap Raya saat mereka dalam perjalanan ke rumah sakit. Gadis mungil itu memutar roda kemudi dengan lincah.
Dilara bungkam sambil memejamkan mata. " Aku dilema, Ray. Aku takut abang akan meninggalkanku, saat tau keadaanku. Aku belum siap menerima kenyataan seperti itu. " Lirihnya kemudian setelah beberapa detik senyap.
" Tapi sampai kapan, Ra ? Lambat laun Pak Fikri juga harus tau. Sebelum keadaanmu semakin memburuk, ada baiknya kamu jujur saja pada suamimu. Andai suamimu meninggalkanmu hanya karena penyakitmu, itu artinya cinta yang dimilikinya hanya sebatas itu. Tapi seharusnya dia akan menerimamu apapun keadaanmu. Sebab saat orang menikah, segala susah senang akan ditanggung bersama. Dua orang menikah harus saling melengkapi, bukan meninggalkan saat ada yang kurang. " Tutur Raya panjang lebar.
Dilara mendesah berat. Setetes cairan bening jatuh ke atas pangkuannya. " Tanpa dia tau kekuranganku-pun, saat ini aku sudah meragukan cinta abang. Entah apa yang sedang disembunyikannya saat ini, yang jelas hati kecilku berkata bahwa abang telah menghianatiku. " Gumamnya dalam hati.
" Aku belum siap, Ray. Aku harus mempersiapkan segalanya dulu baru aku akan memberitahu abang. " Sahut Dilara ambigu. Tatapannya kosong, menatap kendaraan di depannya.
Raya menoleh sekilas sambil mengernyitkan keningnya dengan mulut terbuka siap berbicara tapi kembali menutupnya sebab mereka sudah memasuki gerbang rumah sakit.
♡♡♡
" Kista ini harus secepatnya diangkat, sebelum dia tambah besar. Semakin nyonya menundanya, resikonya akan semakin besar. Jika nyonya secepatnya ambil keputusan, bisa jadi masih ada harapan kandungan nyonya akan dapat dipertahankan. " Tutur dokter paruh baya itu saat selesai memeriksa keadaan Dilara.
" Bicarakanlah hal ini baik-baik dengan suami,, agar nyonya bisa mengambil keputusan yang tepat. " Imbuhnya lagi seraya tersenyum lembut ke arah Dilara.
Dilara tertunduk lesu sambil menggigit bibir bawahnya. Raya menggenggam hangat tangan sang sahabat menyalurkan kekuatan.
" Baiklah, dok. Saya akan melanjutkan pengobatan ke rumah sakit di Makassar saja. " Celetuk Dilara setelah sesaat diam. Dia sudah bertekad, apapun yang terjadi ke depannya dia yang akan menanggung resikonya sendiri. Jikapun kandungannya diangkat, dia sudah siap bila nanti akan diceraikan oleh Fikri. Dia memasrahkan semua jalan takdirnya kepada Tuhannya.
Sontak Raya menoleh ke arah Dilara. " Apa tidak menunggu Pak Fikri dulu, Ra ? Siapa tau beliau membawamu ke rumah sakit yang lebih besar lagi. " Ujar Raya memberi pertimbangan.
Dilara menggeleng lemah. " Tidak perlu jauh-jauh Ray, aku rasa di Makassar sudah cukup. " Tukasnya.
Raya hanya bisa mengangguk menyetujui. Apapun keputusan sang sahabat, dia hanya bisa mendukung dan berdoa yang terbaik buat Dilara.
♡♡♡
Dilara tersentak, ketika merasakan lengan besar melingkar sempurna di pinggangnya. Dia mengenali aroma maskulin itu. Aroma yang dirindukannya beberapa hari ini.
Dilara memejamkan matanya lalu bersandar di dada bidang orang yang baru saja memeluknya tanpa membalikkan badannya untuk menatap orang tersebut. Suasana sore yang sedikit mendung membuat udara di balkon kamar menjadi terasa sejuk.
" Lagi lamunin apa, sayang ? Serius sekali menikmati lamunannya sampai suami datang tidak disambut. " Bisik suara bariton itu lalu mencium dalam dalam pipi mulus sang istri.
" Naik pesawat jam berapa, bang ? " Bukannya menjawab, Dilara dengan mata masih terpejam malah melayangkan pertanyaan yang tidak berkaitan dengan pertanyaan Fikri.
Fikri membalikkan badan istrinya dengan lembut. " Naik pesawat jam dua siang. Abang rindu. " Bisiknya lagi sambil menangkup wajah Dilara dengan sorot mata penuh kerinduan.
Dilara terkekeh kecil. " Rindu tapi betah berlama-lama jauh dengan Lara. " Sarkasnya sambil menyembunyikan wajah cantiknya di dada sang suami. Dihirupnya dalam-dalam aroma tubuh yang membersamainya lima tahun terakhir ini. Dia mencoba merekam semuanya di dalam otaknya, agar jika takdir harus berkata lain, dia tidak akan lupa dengan aroma itu.
" Lara juga sangat merindukan abang. Kerinduan Lara lebih besar dari pada rindu abang pada Lara. " Lirihnya dengan nada sedikit bergetar pilu.
" Hei..abang yang lebih rindu, ya.. ! Soalnya cinta abang lebih besar padamu, sayang. " Protes Fikri sambil menunduk, berusaha menatap wajah istrinya yang terbenam di dadanya.
Dilara terkekeh lalu menggeleng tanpa mengangkat wajahnya. Dia tidak ingin sang suami melihat kesedihan di matanya.
" Cinta dan rindu pada Lara, tapi tega bohongin Lara. Katanya di Menado tapi nyatanya di Makassar. "
" Deg.. " Tubuh Fikri menegang. Detak jantungnya seketika bertalu lebih kencang, dan Dilara mendengar detak jantung itu.
" Kenapa kau gugup, bang " Lirih Dilara dalam hati.
lanjut thor
..