Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Pertemuan Takdir
Elyana Mireille Castella adalah wanita berusia 24 tahun yang dikenal sebagai sosok yang bersemangat dan penuh ambisi. Setiap langkahnya di dunia korporasi, tempat ia bekerja sebagai manajer proyek di sebuah perusahaan teknologi besar, dipenuhi dengan ketelitian dan kecerdasan. Hari itu, di ruang konferensi yang dipenuhi cahaya matahari yang menyelinap dari jendela besar, Elyana bersiap untuk rapat penting dengan klien. Dia ingin memastikan bahwa presentasinya akan sempurna.
Elyana Mireille Castella menghela napas seiring dengan detak jam yang menandai waktu rapat yang semakin mendekat. Di dalam ruang konferensi yang elegan itu, aroma kopi yang baru diseduh berbaur dengan wangi parfum ringan yang menyegarkan. Rapat ini adalah momen penting bagi perusahaan tempat Elyana bekerja sebagai manajer proyek. Semua upaya yang telah ia curahkan, setiap malam lembur, dan setiap ide yang diperjuangkannya dalam presentasi ini, pada akhirnya akan diuji. Ia tidak bisa membiarkan momen ini gagal.
Jendela besar di ruangan itu memperlihatkan pemandangan sibuk Jakarta, dengan kendaraan yang melaju, manusia yang berlalu-lalang, dan gedung-gedung tinggi yang membentuk lanskap kota. Suasana di dalam ruangan itu, meskipun penuh dengan eksekutif dan kolega, terasa tenang. Elyana memandang ke arah presentasinya, memastikan setiap slide sudah diatur dengan benar. Pintu ruangan terbuka dengan derit pelan, mengalihkan perhatiannya.
Seorang pria tinggi berbaju jas hitam rapi melangkah masuk. Wajahnya tampak serius, dengan mata tajam yang seolah bisa menembus hingga ke dalam jiwa. Davin Alexander Griffith, CEO muda dari perusahaan mitra, telah tiba. Elyana mengangkat pandangannya, dan sejenak mereka saling bertemu pandangan. Ada kilatan keingintahuan di mata Davin, seolah sedang mencoba menguak sesuatu yang tak terlihat.
“Selamat pagi, semuanya,” suara Davin mengisi ruangan dengan kedalaman yang membangkitkan perhatian. Matanya sempat melirik ke arah Elyana, dan meskipun hanya sekejap, kilat itu membuat jantung Elyana berdegup lebih cepat.
Rapat dimulai, dan meskipun Elyana mempertahankan fokusnya, dia tak bisa mengabaikan keberadaan Davin. Selama presentasinya, matanya yang tajam seolah mengikuti setiap kata yang diucapkannya. Ada sesuatu di ekspresinya—sesuatu yang sulit dijelaskan. Kegelisahan? Ketertarikan? Mungkin kombinasi keduanya.
Davin tidak banyak berbicara, hanya menanggapi dengan anggukan kecil dan sesekali mengajukan pertanyaan yang tajam, menguji kemampuan setiap orang di ruangan itu. Elyana bisa merasakan tekanan dari pertanyaan-pertanyaan itu, namun ia menanggapinya dengan penuh percaya diri. Setelah rapat berakhir, peserta berdiri untuk berjabat tangan, dan suasana kembali menjadi riuh. Elyana, yang sedang berbincang dengan salah seorang rekan kerja, merasakan seseorang mendekat.
“Elyana Mireille Castella?” Suara Davin, meskipun terdengar formal dan tegas, membawa getaran yang tidak biasa di hati Elyana.
Elyana menoleh, terkejut. “Ya, saya. Ada yang bisa saya bantu, Tuan Griffith?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Davin mengangkat alisnya sedikit dan menatapnya dalam-dalam. Lalu, senyuman tipis muncul di wajahnya—senyuman yang jarang ia tunjukkan. “Saya tertarik dengan presentasi Anda. Anda punya cara yang luar biasa dalam menyampaikan ide. Mungkin kita bisa bicara lebih lanjut setelah ini?”
Elyana merasakan pipinya memanas. Ia mencoba mengontrol dirinya, tetapi ada sesuatu di dalam hatinya yang melonjak bahagia. “Tentu, saya akan senang sekali, Tuan Griffith,” jawabnya, berusaha tetap tenang meskipun suara hatinya berbisik bahwa pertemuan ini mungkin lebih penting daripada yang ia duga.
Sejak saat itu, hubungan mereka mulai berkembang, berawal dari diskusi-diskusi kecil di ruang rapat hingga pertemuan-pertemuan santai di kafe dekat kantor. Davin yang selalu terlihat serius, ternyata memiliki sisi lain yang lebih hangat, bahkan meskipun sulit untuk dipahami. Ia akan tersenyum samar-samar ketika Elyana berbicara tentang ide-idenya yang gila, atau tertawa kecil ketika mereka terjebak dalam percakapan ringan tentang topik-topik di luar pekerjaan.
Elyana menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda tentang Davin. Meskipun ia terlihat keras dan kadang terkesan dingin, di balik sikap itu ada ketegangan yang ia sendiri tidak bisa mengungkapkan. Begitu juga dengan Davin; ia tidak bisa menepis rasa ingin tahunya tentang Elyana, tentang wanita yang begitu cerdas, bersemangat, dan memiliki kecantikan yang tidak hanya terletak pada wajah, tetapi juga pada caranya berbicara dan menyampaikan ide.
Hari demi hari berlalu, dan tak lama kemudian, Davin mulai mengajak Elyana untuk berdiskusi di luar jam kerja. Meskipun awalnya Elyana ragu, ia akhirnya menyetujui ajakan itu, merasakan ada kehangatan di dalam tatapan Davin yang selama ini disimpan rapat-rapat. Diskusi-diskusi itu perlahan menjadi lebih pribadi. Mereka berbagi cerita tentang masa kecil, harapan, dan ketakutan mereka. Suatu sore, saat hujan deras mengguyur Jakarta, Davin menatap Elyana, lalu menghela napas.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Elyana. Terkadang aku merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak ada ujungnya,” katanya, suaranya mengandung kelelahan dan kejujuran yang jarang ia tunjukkan.
Elyana terdiam sejenak, merasa terhanyut dalam keheningan yang berbicara lebih banyak dari kata-kata. “Kita semua pernah merasa seperti itu, Davin. Tapi mungkin... mungkin kita hanya perlu terus berjalan dan mencari tahu,” jawabnya dengan senyuman lembut.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Davin duduk di kursi ruang tamu Elyana, minum kopi, dan hanya berbicara tanpa batasan. Mereka berdua merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional. Itu adalah perasaan yang tak bisa diabaikan, meskipun mereka tahu bahwa jalan mereka penuh dengan rintangan.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan interaksi mereka semakin sering. Davin dan Elyana menjadi duet yang sangat efektif dalam mengelola proyek-proyek besar. Di balik setiap rapat dan pertemuan, ada percakapan pribadi yang mulai mengungkap sisi-sisi yang belum pernah diketahui oleh keduanya. Elyana merasa seperti dia mulai melihat sisi lain Davin—sisi yang penuh pemikiran, ketulusan, dan kehangatan yang disembunyikan di balik sikapnya yang kaku. Sebaliknya, Davin merasa tertarik dengan energi positif Elyana, kekuatan tekadnya, dan semangat yang selalu terpancar dalam setiap langkahnya.
Namun, di balik segala momen bahagia itu, ada ketegangan yang tak bisa diabaikan. Meskipun banyak hal telah berubah di antara mereka, Davin selalu terlihat seperti seorang pria yang menanggung sesuatu, sesuatu yang tidak ingin diungkapkan. Ia selalu menjaga jarak, bahkan saat mereka berbicara dalam suasana santai.
Suatu hari, Elyana menerima undangan dari Davin untuk hadir dalam acara makan malam khusus yang diadakan di sebuah restoran mewah di pusat kota. Undangan itu datang bersama sebuah catatan kecil yang bertuliskan, "Terima kasih atas kerja keras Anda. Ini untuk merayakan pencapaian kita bersama." Elyana tidak bisa tidak merasa terkejut, karena undangan semacam itu tidak biasa bagi mereka. Namun, ia juga merasa bersemangat.
Malam itu, suasana di restoran itu penuh dengan kemewahan. Lampu gantung yang berkilauan memberikan pencahayaan hangat di ruangan, sementara suara musik lembut mengalun dari latar belakang. Davin sudah menunggu di meja dekat jendela, mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat semakin menarik.
“Selamat datang, Elyana,” ucap Davin, dengan senyum yang jarang ia tunjukkan. Kali ini, senyuman itu lebih tulus, membuat jantung Elyana berdebar kencang.
Elyana duduk di hadapannya, melihat ke dalam mata Davin yang penuh dengan misteri. Ia merasa seperti ada sesuatu yang penting akan diungkapkan malam itu.
“Davin, ada yang ingin Anda katakan?” tanya Elyana, suara mereka bersaing dengan gemericik air dan tawa yang datang dari meja-meja lain.
Davin menatap Elyana, seolah ingin memastikan bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya. “Elyana, ada sesuatu yang ingin aku katakan. Selama ini, kita sudah bekerja sama dengan sangat baik, dan aku menghargai segala usaha dan dedikasimu. Tapi, aku juga tahu bahwa ini bukan hanya soal pekerjaan.”
Elyana mengerutkan dahi, merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar di balik pernyataan itu. “Apa maksud Anda, Davin?” tanyanya, matanya mencari jawaban di wajah pria itu.
“Pernikahan. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tetapi aku ingin kita menikah, Elyana. Bukan karena cinta, melainkan untuk mengamankan posisi perusahaan kita di pasar internasional. Ini adalah langkah yang sulit, tetapi aku yakin ini adalah pilihan yang terbaik.”
Kata-kata itu membuat Elyana terdiam. Jantungnya berhenti sejenak, dan seluruh ruangan seolah-olah menjadi hening di sekelilingnya. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Di satu sisi, ia tahu bahwa pernikahan ini adalah kesempatan yang sangat besar, namun di sisi lain, ia merasa seperti keputusan ini akan mengikatnya dalam cara yang tak bisa ia ubah.
“Davin... apakah ini benar-benar apa yang Anda inginkan?” tanya Elyana, suaranya hampir tak terdengar.
Davin menatap Elyana dengan mata yang penuh tekad. “Ini adalah yang terbaik untuk kita berdua, Elyana. Aku tahu perasaanmu, dan aku tahu ini tidak mudah, tapi aku percaya kita bisa membuatnya bekerja.”
Elyana merasakan tekanan di dadanya. Ada keraguan, ketakutan, dan harapan yang campur aduk dalam dirinya. Namun, ia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarga dan masa depan mereka. Dengan perlahan, ia mengangguk. “Saya akan melakukannya, Davin. Tapi, kita harus jujur satu sama lain tentang apa yang kita rasakan dan apa yang kita harapkan.”
Davin menghela napas lega, dan untuk pertama kalinya malam itu, senyumnya tampak penuh arti. “Kita akan membuatnya bekerja, Elyana. Aku janji.”
Mereka berdua bersulang, menatap satu sama lain dengan mata yang penuh arti. Malam itu, di bawah cahaya lilin yang berkedip, mereka membuat sebuah janji. Janji yang akan membawa mereka pada perjalanan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Meskipun awalnya penuh dengan kebingungan, ada secercah harapan di dalam hati Elyana bahwa mungkin, hanya mungkin, hubungan ini bisa lebih dari sekadar pernikahan tanpa cinta.
Namun, hanya waktu yang akan menentukan apakah mereka benar-benar bisa membuatnya bekerja atau justru terjebak dalam labirin tak berujung yang penuh dengan intrik dan penyesalan.
...****************...