Jingga, Anak dari seorang konglomerat. Meninggalkan keluarganya demi menikah
dengan pria yang di cintainya.
Bukannya mendapatkan kebahagiaan setelah menikah, ia justru hidup dalam penderitaan.
Akankah Jingga kembali ke kehidupannya yang dulu atau bertahan dengan pria yang menjadi suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon m anha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlakuan Buruk
Semenjak kehadiran putrinya, Jingga menjadi sangat kerepotan, ia harus menjaga putrinya sambil kembali menjadi seorang istri, mengerjakan beberapa pekerjaan seperti menyapu, mengepel, memasak, membereskan, mencuci, semua dia lakukan sambil menjaga putrinya sendiri, sedangkan ibu mertuanya tak pernah lagi menjaga cucunya dan hanya sering bergabung bersama dengan teman-temannya.
Terkadang saat ibu mertuanya itu ada di rumah, ibunya hanya di kamar dan melakukan beberapa perawatan pada wajahnya.
Jingga memberanikan diri mengetuk pintu kamar ibu mertuanya, di mana perutnya sangat sakit dan ingin ke kamar mandi, sedangkan putrinya sama sekali tak mau turun dari gendongannya.
"Bu, boleh jaga Nabila sebentar saja. Aku ingin ke kamar mandi," ucapnya begitu ibu membuka pintu untuknya.
"Bagaimana mungkin aku menjaganya, apa kamu tak lihat cat di kukuku ini belum kering, belum lagi maskerku juga baru saja kupasang. Bagaimana jika sampai maskernya rusak, sana kamu bawa saja ke kamar mandi," ucap Ambar kemudian ia pun kembali menutup pintunya.
Jingga hanya menghela nafas, ia melihat bayi yang ada di gendongannya. Kini usia bayinya sudah memasuki usia 2 bulan dan sudah mulai aktif, membuat ia tak punya pilihan lain selain membawa putrinya itu ke kamar mandi, membuang air sambil terus menggendong putrinya.
Setetes air mata jatuh di pelupuk mata Jingga, ia masih mengingat saat-saat ia bersama dengan kedua orang tuanya. Ia bagaikan seorang putri di sebuah istana, tak sekalipun ia melakukan pekerjaan rumah, jangankan memasak, mencuci piringnya sendiri saja ia tak pernah melakukannya dan baru lakukan setelah menikah dengan Aditya.
"Nabila maafkan Ibu, ya," liriknya memeluk putrinya.
Setelah melakukan aktivitas dari kamar mandi, Jingga pun membawa putrinya itu ke kamar, berniat untuk menidurkannya. Ia harus segera mencuci pakaian kerja suaminya yang akan dipakainya besok. Jika tak segera dicuci pakaian itu tak akan kering dan sudah dipastikan Aditya akan marah padanya, jika pakaian kerjanya tidak siap.
Jingga menyusui putrinya dengan posisi berbaring, membuat putrinya pun menghisap ASInya sambil matanya mulai perlahan terpejam. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering membuat putrinya yang tadinya sudah akan tertidur kembali terbangun. Jingga hanya menghela nafas dan mengangkat panggilannya.
"Halo, Mas. Ada apa?" tanyanya.
"Aku melupakan berkas di atas meja, bermap kuning, coba kamu lihat apakah masih ada di sana?" ucapnya membuat Jingga pun kembali menggendong Nabila dan membawanya ke ruang kerja suaminya, kemudian mencari map yang dimaksud oleh sang suami.
"Iya Mas, berkasnya ada."
"Apa kamu bisa membawanya ke kantor sekarang juga, aku benar-benar membutuhkannya. Jika aku kembali kerumah dan kembali lagi ke kantor itu akan memakan waktu."
"Tapi Mas, bagaimana dengan Nabila?"
"Ya ampun Jingga, kan ada Ibu di rumah titipkan dia sebentar. Cepatlah, aku benar-benar membutuhkan berkas itu," ucap Aditya kemudian ia pun mematikan panggilannya.
Jingga kemudian menuruti apa yang dikatakan oleh suaminya, ia pun kembali kamar ibu mertuanya.
"Kenapa sih kamu selalu mengganggu, ibu hanya ingin menikmati hari-hari tua ibu," kesel Ambar.
"Maaf, Bu. Tapi tadi Mas Aditya menelepon, dia lupa membawa berkas dan meminta aku untuk membawanya. Bisakah Ibu menjaga Nabila terlebih dahulu, aku nggak lama kok sebentar saja, ini berkas yang sangat penting katanya," ucapnya.
Ambar melihat berkas yang ada di tangan menantunya, jika memang berkas itu penting memang haruslah segera di bawah.
"Ya sudah, beringkan di sana. Ibu tak bisa menggendongnya."
Dengan berhati-hati, Jingga pun meninggalkan putrinya bersama dengan ibu mertuanya yang terlihat cuek pada cucunya, padahal saat baru lahir dulu ibunya itu sangat menyayangi cucunya. Namun, semakin hari sikapnya semakin berubah seolah-olah ia tak memiliki rasa kasih sayang pada cucunya.
"Bu, aku titip Nabila, ya," ucapnya sekali lagi membuat ibu mertuanya hanya mengangguk sambil melihat kuku-kuku lentiknya yang sudah dicat dengan warna yang sangat mencolok. Jingga pun segera berlari keluar apartemen mereka, mencari taksi untuk mengantar berkas itu kepada suaminya. Sementara itu Aditya terus meneleponnya, menanyakan keberadaannya.
"Iya, Mas. Sebentar lagi, ini juga sudah mau sampai, aku sudah di taksi," jawab Jingga. Jarak dari rumah dengan kantornya tidak terlalu jauh membuat Jingga dengan cepat bisa sampai.
"Apa yang ini, Mas?" tanya Jingga menyodorkan sebuah amplop yang diminta oleh suaminya. Dengan cepat Aditya pun memeriksanya, sejak tadi Aditya menunggu istrinya itu di depan kantor.
"Iya ini berkasnya, ya sudah pulang lah jangan merepotkan ibu," ucapnya kemudian ia kembali ingin masuk. Namun, Jingga menghentikannya.
"Mas, tadi aku terburu-buru aku lupa membawa dompet dan uangku sudah habis membayar taksi tadi, aku minta uang buat bayar taksi pulang."
Aditya meraba kantongnya. "Dompetku tertinggal di ruanganku, aku sedang terburu-buru ingin rapat. Kamu pulanglah jalan kaki saja, ini kan gak jauh," ucapnya kemudian berjalan cepat masuk kembali ke kantornya. Jingga kembali ingin berteriak. Namun, suaminya itu sudah menghilang masuk ke dalam gedung perkantorannya. Jingga hanya menghela nafas dan tak punya pilihan lain selain berjalan kaki menuju ke apartemennya.
Membutuhkan waktu sekitar 20 menit, ia berjalan kaki dan akhirnya Jingga pun sampai ke apartemennya, dengan nafas yang tergesa-gesa karena Jingga jalan kaki dengan mempercepat langkahnya, takut jika sampai putrinya menangis dan tak diurus oleh ibu mertuanya, dan benar saja. Baru saja Jingga masuk ke dalam rumah, ia sudah mendengar suara jeritan tangisan dari anaknya berasal dari kamar ibu mertuanya dan saat membuka pintu kamar ia melihat bayinya itu masih di tempat yang sama, dengan ibu mertua yang justru asik menelepon di balkon kamarnya.
Jingga mengepalkan tangannya, apakah menelpon teman-temannya itu jauh lebih penting daripada mengurus cucunya. Jingga pun mengambil putrinya tanpa memberi tahu terlebih dahulu pada ibu mertuanya.
Jingga masuk ke kamar dan mengunci pintunya, ia menyusui putrinya sambil sesekali mengusap air matanya yang terus menetes. Hatinya benar-benar sakit saat melihat wajah anaknya itu memerah karena menangis, rasa lelah karena berjalan kaki tak lagi dirasakannya, hanya tersisa rasa sakit di dada atas perlakuan ibu mertua dan suaminya.
Jingga yang kelelahan akhirnya pun tertidur dan lupa satu hal penting, yaitu mencuci pakaian kerja yang akan dipakai suaminya besok.