Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 32.
Enam bulan sudah Rama kembali ke Jakarta.
Waktu bergulir cepat, namun hubungannya dengan orang tuanya tetap dingin. Bukan karena ia telah memutus tali kasih, tapi karena ia memilih memberi mereka pelajaran.
Prabu dan Dita, kini tinggal di kontrakan sederhana. Aset mereka habis disita, dan mereka tak lagi bergaun sutra atau duduk di sofa kulit asli. Kini, mereka hanya mengenakan kaos oblong dan duduk di kursi plastik.
Setiap minggu mereka meminta bertemu. Setiap minggu pula Rama menolak halus, lebih sering berdalih pekerjaan atau pertemuan yang tak bisa ditinggal. Bukan karena tak peduli, Rama masih anak mereka tapi ia tahu, luka harus dibiarkan terasa agar sembuhnya lebih bermakna.
Sementara itu, Erika telah menikah dengan pria pilihan orang tuanya. Pernikahan kilat karena mereka tak ingin punya hubungan dengan keluarga Dita, mantan miliarder yang jatuh miskin. Dunia bisa begitu kejam, apalagi jika saldo tak lagi tebal maka para teman akan meninggalkan.
Di sebuah kafe yang tenang ditemani aroma kopi dan alunan jazz lembut, Rama menatap kosong ke jendela.
"Kamu ngelamun terus, astaga.” Suara Viola mengejutkannya, kakaknya itu muncul sambil mengetuk-ngetuk meja seperti guru matematika yang baru kehilangan kesabaran.
Rama menoleh, senyumnya tipis. “Lagi mikir.”
“Kalau kamu mikir soal perempuan itu, kenapa nggak datengin aja? Jangan sampai menyesal, Ram.” Viola duduk dan menatap adiknya penuh empati. “Kalian sama-sama pernah disakiti, pernah kehilangan... Mbak yakin dia ngerti. Waktu itu kamu emang belum bisa buka hati, tapi sekarang?”
Rama menghela nafas panjang.
Bayang-bayang Gendis kerap menyusup ke mimpinya, senyumnya, bahkan saat wanita itu ia lukai. Ia tahu... perasaannya pada Gendis kini nyata.
“Tapi... aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku bilang, aku nggak punya rasa padanya. Gimana sekarang aku dateng terus bilang... maaf ya, ternyata aku salah rasa. Begitu?“
Viola menaikkan satu alis, lalu menatap adiknya lama-lama. “Pengecut.”
“Aku denger ada yang manggil pengecut.”
Suara baru datang bersamaan dengan sosok lelaki tinggi yang menarik kursi dan duduk santai di samping mereka.
Viola mengerjap, menyipitkan matanya. “Kamu yang nyuruh dia kesini, Ram?”
Rama angkat tangan seperti baru tertangkap basah. “Demi Tuhan, bukan aku! Dia muncul sendiri!”
“Mbak, jangan jutek terus dong. Hatiku ini sensitif...” Denis cemberut sambil menyodorkan senyum seratus watt.
Viola mendengus, “Aku udah bilang, aku nggak tertarik sama cowok di bawahku.”
“Kita cuma beda 5 tahun!” sanggah Denis.
“Lima tahun itu... setara satu dekade dalam dunia wanita yang sudah punya anak!”
Viola berdiri, mengibas tasnya dengan elegan lalu menatap adiknya. “Aku tunggu di rumah kamu aja, tempat ini mulai terasa berisik.”
Dengan langkah anggun dan sedikit menggemaskan, Viola pun pergi.
'Astaga, mimpi apa aku dikejar berondong? Anakku aja udah mau lulus SD satu tahun lagi!' Batin Viola.
Begitu Viola menghilang dari pandangan, Rama langsung meninju pelan lengan Denis.
“Kau gila! Mbak-ku kira... aku yang bocorin lokasi, kau nguntit aku ya?”
Denis nyengir lebar. “Gimana dong, Mbakmu tuh bikin penasaran. Selain cantik dan pinter, dia tuh... cerewetnya kayak kaset rusak. Gemesin abis!”
Rama menggeleng tak percaya. “Ingat, dia punya dua adik cowok. Macem-macem... kubiarkan kau terbaring di salah satu kamar rumah sakit.”
“Terserah,” Denis mengangkat bahu santai. “Tapi aku serius, Ram. Dari semua perempuan yang aku kenal, yang pintar dan bergaun anggun.... baru Mbak-mu yang bisa bikin jantungku lari maraton.”
Denis Anggara.
CEO muda, tampan, bujang mapan. Usianya sama dengan Rama, 30-an, tapi dalam urusan cinta… ia baru merasa tertantang setelah bertemu Viola di pesta perusahaan Mahesa yang dikelola Rama di Jakarta beberapa waktu lalu.
Kini, ia tak sekadar tertarik. Ia serius. Viola Mahesa, janda satu anak yang nyaris berkepala empat itu... telah jadi obsesi barunya.
Dan Rama hanya bisa menghela nafas, dunia ini aneh. Saat kau mencintai seseorang, terkadang kau takut menyatakan.
Tapi lihatlah berondong ini, maju tanpa rem.
____
Setelah melalui pergulatan batin yang tak singkat, Rama akhirnya memutuskan untuk pergi ke Jogja. Ke tempat tinggal Gendis, perempuan yang telah ia lukai hatinya tanpa sengaja.
Mobilnya berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana namun asri, tempat yang dihuni oleh Gendis. Namun bukannya turun, Rama justru terdiam di balik kemudi.
Pandangannya membeku.
Di sana di halaman rumah, ia melihat Gendis tengah tertawa lepas. Senyum perempuan itu begitu hangat, begitu tulus... dan begitu menyakitkan untuk Rama. Karena di sampingnya berdiri seorang pria, Galang. Seragam militernya tampak kontras dengan kelembutan di wajahnya saat menggendong seorang balita mungil... anak mereka.
Kebahagiaan terpancar dari sorot mata keduanya. Seolah tak pernah ada luka, seolah semua sudah kembali utuh.
Rama menelan ludah, dadanya sesak. Bukan karena udara, tapi karena rasa yang selama ini ia sangkal mulai berteriak dari dalam... cemburu.
Dan untuk pertama kalinya, ia mengakui pada dirinya sendiri... ia mencintai Gendis.
Kini, pertanyaan terus bergema di kepalanya, mengusik logika dan menyesakkan hati...
Apa Gendis kembali menikah dengan Galang?
Apakah aku sudah terlambat?
Seolah menjawab bisikan-bisikan di benak Rama, Gendis tiba-tiba menoleh. Tatapannya tertuju pada mobil yang terparkir tak jauh dari pekarangan rumah, pandangannya membeku. Nafasnya tercekat saat sosok di balik kaca mobil itu akhirnya tampak jelas... Rama.
Wajah Gendis terpaku, langkahnya nyaris terayun menuju mobil itu. Tetapi sebuah suara melengking memecah udara, mengguncang hari yang seharusnya tenang.
“Dasar jalaang! Beraninya kamu merayu suamiku!” teriak seorang perempuan dengan mata membara dan tangan mengepal. “Galang itu cuma mantan suami kamu, Gendis! Baru juga dia pulang dari penugasan, eh kamu langsung jemput bola! Jangan bawa-bawa anak sebagai alasan ketemuan, ya! Aku juga punya anak dari Galang!”
Gendis menoleh ke arah Ratna, wajahnya tenang meski hatinya terguncang. “Mbak... aku dan Mas Galang sudah sepakat untuk bersikap dewasa. Kami hanya ingin menjadi orang tua yang baik bagi anak kami, tanpa membawa dendam dan tanpa melibatkan rasa yang sudah selesai. Tapi kalau Mbak cemas, tenang saja... tidak akan ada masa lalu yang terulang.” Ucapnya penuh ketegasan.
“Alaaah, munafik! Kamu pikir aku nggak tahu isi pikiran kamu?! Jangan-jangan... kamu memang mau merebut Galang kembali, ya?! Dasar perempuan licik!”
Namun sebelum Gendis sempat menjawab, suara berat dan dalam memotong udara.
“Siapa bilang Gendis ingin kembali pada mantan suaminya?”
Semua kepala menoleh. Rama berdiri tegap, pintu mobil terbuka di belakangnya. Tatapannya tajam, langkahnya mantap saat ia berjalan ke arah Gendis.
“Saat ini, dia sudah punya saya. Calon suaminya.”
Tanpa berkata lebih lanjut Rama meraih tangan Gendis, menggenggam tangan wanita itu dengan erat. Tak sekadar menyentuh, tapi seolah menyatakan sesuatu yang tak bisa dibantah... kepemilikan.
Gendis membeku, tangannya tergenggam dan jiwanya bergetar.
Eh, tapi gatau deng ehehe
Mau serumit apapun kalau berjodoh ya akan bersanding