Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 Keberanian Naya
"Naya?"
Dikara terkejut dengan ucapan Naya yang tiba-tiba menyela permohonannya pada Mama Nindi. Ia tidak menyangka bahwa Naya akan mengucapkan kata pedas seperti itu, dan itu membuatnya merasa sedikit tersentil.
Mama Nindi pun tak kalah terkejutnya dengan ucapan Naya. Ia menatap tajam wanita cantik yang tengah berdiri di samping Dikara, tanpa bayi yang selalu digendongnya. Sorot matanya tak ada sedikit pun rasa takut berhadapan dengan dirinya. Ia merasa tertantang dengan wanita pemberani seperti Naya.
"Kamu berani sekali, berkata seperti itu padaku dan anakku!" katanya dengan suara yang keras.
Naya tidak gentar, ia melangkah maju dan berdiri di depan Mama Nindi dengan mata yang tajam.
"Mengapa tidak? Mas Dika seorang laki-laki baik. Ia tidak perlu memohon restu seperti pengemis pada manusia sombong seperti Anda!"
"Kamu? Berani sekali kamu mengatakan aku sombong!"
Naya tertawa sumbang. Ia menatap wanita paruh baya tersebut dengan tajam.
"Kenapa, Anda tersinggung? Hanya manusia sombong lah yang mempermasalahkan status dalam sebuah pernikahan. Memang ada yang salah ya, dengan status janda?"
Mama Nindi terdiam. Kilatan matanya menyiratkan kebencian pada wanita yang sudah ia anggap merusak rencana pernikahan anaknya dengan Amanda.
"Dengar baik-baik ya Bu! Aku tidak pernah bermimpi untuk menjadi seorang janda. Siapa pun tidak ingin mendapat predikat seperti itu. Pernahkah Ibu berpikir? Ibu akan bernasib sama denganku kalau suami Ibu meninggal..."
"Jaga ucapanmu, Naya!" gertak Mama Nindi.
Dikara memijat pelipisnya melihat 2 orang beda generasi tersebut berbeda pendapat.
"Bu...Kita harus realistis. Statusku berubah dengan cepat karena kematian suamiku. Aku tidak pernah menginginkan ini. Kondisi dan situasi seperti ini sebenarnya sangat bertentangan dengan hatiku. Kalau aku bisa memilih. Aku lebih baik membesarkan anakku seorang diri tanpa pendamping hidup. Tapi Almarhum suamiku menghendaki lain. Ia menginginkan aku menikah dengan anak Ibu. Apa salah? Kalau memang salah, lebih baik tidak ada pernikahan. Karena aku tidak butuh dikasihani. Aku hanya ingin pernikahan yang akan terjadi bukan gugur kewajiban melaksanakan amanah namun ada cinta yang tulus di dalamnya terlebih ia harus sayang pada anakku, walaupun aku belum yakin Mas Dikara benar-benar akan mencintaiku dan anakku setulus hati atau tidak. Tapi aku yakin dia punya tanggung jawab. Dan ingat Bu, jangan pernah berkata kasar dengan wanita sepertiku karena bisa jadi Ibu pun akan merasakan apa yang aku rasakan!" katanya dengan suara yang mantap.
Deg
Sungguh ucapan Naya mampu menampar hati Mama Nindi. Tetiba Mama Nindi bergeming mencerna ucapan Naya yang memporakporandakan hatinya, yang benar adanya. Ada rasa takut kehilangan suaminya.
"Naya, tolong jangan bicara seperti itu pada Mama. Aku tidak ingin kamu dan Mamaku bertengkar," katanya dengan suara yang lembut.
Dikara merasa tidak enak hati dengan Mamanya. Apalagi Mamanya kini terduduk di bangku meja makan dalam keadaan diam.
Mama Nindi bergeming di bangku meja makan, terlihat sedih dan terharu. Dikara bisa melihat bahwa ucapan Naya telah menjajaki hati Mamanya. Ia merasa tidak enak hati dan ingin memperbaiki situasi.
"Ma, aku minta maaf jika aku dan Naya telah membuatmu sedih. Kami tidak ingin membuat Mama terluka," katanya dengan suara yang lembut. Naya juga melangkah maju dan berdiri di depan Mama Nindi.
"Bu, aku minta maaf jika aku telah berkata kasar. Tidak ada maksud sedikitpun membuat Ibu sedih atau tersinggung. Aku hanya ingin menyampaikan kebenaran dan perasaanku, itu saja engga lebih," katanya dengan suara yang lembut.
"Aku pasrah setelah ini. Ibu atau Bapak mau menerimaku sebagai menantu atau tidak, bagiku tidak ada masalah. Kuanggap pertemuan dengan Mas Dikara hanya singgah sesaat, dan aku ikhlas apa pun keputusan kalian. Aku tidak berharap banyak dari kalian..." ucapannya terhenti manakala mendengar suara bayi menangis.
Oooeeeeek
Oooeeeeek
Oooeeeeek
Suara Sha memecah ketegangan diantara mereka. Naya menoleh sesaat, ia kemudian berlalu dari hadapan Dikara dan Mamanya.
Papa Dikara datang membawa Sha seperti layaknya seorang kakek yang menggendong cucunya.
Mata Mama Nindi menatap suaminya dengan pandangan yang sulit diartikan. Suaminya menyerahkan bayi itu pada Naya. Seketika bayi Naya berhenti menangis. Air mata Mama Nindi luruh juga saat melihat interaksi Naya dengan anaknya. Ia teringat pada momen saat Dikara masih bayi. Ia merasa bahagia mengurus bayinya bersama suami.
Bagaimana dengan Naya, yang akan membesarkan putrinya jika tanpa pendamping hidup? Pertanyaan tersebut berkecamuk dalam pikirannya.
Naya membuai putrinya, terlihat begitu tulus.
"Maafkan Mama Sayang. Tadi Mama tinggal Dede Sha sama Kakek. Kakek baik sekali ya! Mau menjaga Dede Sha. Padahal kita baru saja bertemu,"
Naya kemudian menoleh ke arah Mamanya Dikara yang sedang menatapnya. Mamanya berpaling begitu menyadari matanya bersirobok dengan Naya. Ia terlihat sedikit malu.
Naya hanya tersenyum. Ia merasa lega sudah berbicara tegas pada Mamanya Dikara. Setidaknya tidak akan ada lagi orang yang memandang sebelah mata tentang statusnya di masyarakat.
Papa Fahmi berjalan mendekati istrinya. Ia duduk di hadapan istrinya lalu menggenggam kedua tangannya.
"Sayang, Gimana menurutmu tentang Naya. Ternyata Naya pemberani ya, Mam? Ia tidak gentar untuk menguak kebenaran. Ucapan Naya menurutku benar adanya bukan?" tanya Papa Fahmi sambil tersenyum hangat.
Mama Nindi hanya diam. Tidak lama kemudian "Ya memang benar dan aku tidak mau kehilanganmu..."
Papa Fahmi langsung memeluk Mama Nindi dengan erat.
"Papa akan selalu ada di sampingmu, Sayang. Kita akan menua bersama dengan anak cucu kita," suaranya lembut, sangat menenangkan.
"Lalu bagaimana, apa Mama sudah siap untuk menerima Naya sebagai menantu kita?" tanyanya dengan suara yang lembut.