Ig : @ai.sah562
Bismillahirrahmanirrahim
Diana mendapati kenyataan jika suaminya membawa istri barunya di satu atap yang sama. Kehidupannya semakin pelik di saat perlakuan kasar ia dapatkan.
Alasan pun terkuak kenapa suaminya sampai tega menyakitinya. Namun, Diana masih berusaha bertahan berharap suaminya menyadari perasaannya. Hingga dimana ia tak bisa lagi bertahan membuat dirinya meminta.
"TALAK AKU!"
Akankah Diana kembali lagi dengan suaminya di saat keduanya sudah resmi bercerai? Ataukah Diana mendapatkan kebahagiaan baru bersama pria lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arion Alfattah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Bukan Pembunuh!
"Kau pembunuh, dua orang kau bunuh. Kau membunuh adikku dan kau juga membunuh anakku."
Deg ....
Diana di buat lemas tak berdaya. Pembunuh? Benarkah dia telah membunuh anaknya Anita dan adik Danu? Dia tidak sengaja mendorongnya. Untuk adiknya Danu, Diana tidak tahu apa-apa. Tapi untuk Anita, Diana menyadari kesalahannya.
Diana sampai tersungkur kebelakang menyenderkan punggungnya ke dinding. Rasa bersalah tiba-tiba mendera, rasa sesal telah bersikap kasar membuatnya menyesal.
Danu mencebik masuk ke ruangannya. Pria itu mengetikkan sesuatu pada seseorang.
Danu : Lakukan sekarang!
Begitulah isi pesannya. Entah apa maksud dari pesan tersebut, hanya dia yang mengetahuinya. Bibirnya menyeringai penuh misteri, "Kau harus merasakan apa yang adikku rasakan, Diana."
Lalu, Danu pergi dari sana tanpa menyapa Diana terlebih dulu.
"Pak, a .." Diana mengejar Danu ingin ikut melihat keadaan Anita. Namun, Danu seakan tuli dan membiarkan Diana berlari mengejarnya hingga terjatuh. Untungnya jam masih menunjukkan jam pelajaran sehingga tidak ada orang yang melihatnya.
"Mas, aku ingin melihat Anita. Maafkan aku," lirihnya pelan dengan derai air mata penyesalan telah membuat Anita keguguran. Tangannya juga mengusap perutnya.
"Maafkan Bunda belum bisa memberitahukan keberadaan kamu pada Ayahmu, sayang. Bunda masih menunggu waktu yang tepat untuk bicara mengenai kamu. Bunda takut Ayahmu marah dan menolak mu." Bahkan niat ingin memberitahukan kehamilannya pun sampai terlupakan hingga tidak jadi setelah melihat sikap suaminya.
"Diana! Ya Tuhan, kau kenapa duduk di lantai?" pekik Cici khawatir melihat sahabatnya menangis duduk sendiri.
Cici membantu Diana bangun. Tapi, Diana langsung memeluk sahabatnya dan menumpahkan segala sesak yang ia rasa.
"Ci, aku pembunuh, Ci. Aku sudah membunuh janin seseorang. Aku tidak sengaja mendorongnya, Ci. Sungguh, aku tidak sengaja hiks hiks." Rasa tidak percaya dan rasa penyesalan datang secara bersamaan. Tidak percaya jika ia pembunuh, menyesal jika dirinya sudah berlaku kasar. Seandainya Dia bisa bersikap tenang tanpa melakukan kekerasan, pasti saat ini janin yang ada di dalam diri Anita masih ada.
"Dee, apa yang kau katakan? Janin siapa yang kamu bunuh?" Cici tidak mengerti seraya mengurai pelukannya.
"Anak maduku, Ci. Anak madu ku hiks hiks."
"Apa?!" SINTA SAFITRI yang sering disapa Cici ini terkejut. Dia mengedarkan pandangannya berharap tidak ada orang yang mendengarnya.
"Bangun dulu, aku butuh penjelasan kamu. Kita ke bangunan paling atas sekarang." Ajak Cici membangunkan Diana dari duduknya.
"Tapi pelajarannya?" di tengah isak tangisnya Diana masih memikirkan pelajaran yang sedang berlangsung.
"Sudah selesai, sudah ganti dosen tapi dosen yang kedua tidak datang." Tadi Cici langsung mencari sahabatnya setelah dosennya selesai mengajar. Cici sangat khawatir melihat keadaan Diana yang selalu melamun tidak fokus mengerjakan pelajaran.
Dia dibuat terkejut ketika melihat Diana terjatuh mengejar pak Zio dan menangis sendiri terduduk di lantai.
Mereka berdua sudah berada di lantai paling atas. Diana menatap kosong bangunan kampusnya. Dia bisa sekolah di sini mendapat jalur beasiswa.
"Bagaimana keadaan kandungan mu? Apa ponakan ku baik-baik saja? Aku khawatir saat melihatmu duduk seperti tadi." Nampak sekali raut wajah penuh khawatiran dari wajah Cici. Dia yang selalu ada dan bersama hampir setiap hari tentunya mengkhawatirkan kondisi calon bayi.
"Dia baik-baik saja. Tapi hatiku, rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja, Ci." Diana kembali menetes air mata bingung harus berbuat apa di saat situasi semakin pelik saja.
"Sekarang coba kamu jelaskan apa yang terjadi?" Cici merangkul Diana mencoba menguatkannya. Dia juga memandangi area kampus.
"Mas Danu mengkhianati ku, Ci. Dia menikah lagi tanpa sepengetahuanku. Dia juga membawa istri siri nya ke rumah kami. Bahkan istri nya tengah hamil." Diana tidak bisa menahan sesak di dada, ia terisak dengan telapak tangan menutupi wajah cantiknya.
Diana menceritakan apa yang ia alami akhir-akhir ini tanpa di tutup-tutupi. Karena hanya bersama Cici, dia merasa memiliki saudara sekaligus sahabat yang bisa bertukar cerita suka dan duka. Cici ikut merasakan kesedihan Diana. Dia pun memeluk sahabatnya dan tak terasa matanya sudah berkaca-kaca.
"Kamu harus kuat demi anak kamu, Dee. Kamu tidak boleh stress, tidak boleh banyak pikiran. Serahkan semua masalah ini kepada Tuhan. Semoga tuhan selalu melindungi mu dan memberikan jalan terbaik untuk rumah tanggamu. Aku tidak menyangka Pak Zio sejahat itu padamu."
Cici mengetahui hubungan Diana dan dosennya, bahkan ayah nya lah yang menikahkan Diana.
"Tapi aku takut, Ci. Mas Danu sangat marah Anita ke guguran. Aku harus apa? Aku tidak mungkin bisa mengembalikan janin yang sudah tiada? Aku menyesal telah mendorongnya. Pasti saat ini dia tengah bersedih."
"Ini takdir, semua atas kehendaknya. Kamu harus yakin semuanya akan baik-baik, saja. Sekarang kita kebawah, kita makan yang banyak. Kasian keponakan ku ini." Cici pun mengurai pelukannya lalu menghapus air mata Diana.
Dia sudah menyayangi Diana layaknya saudara. Dia yang terlahir tunggal selalu merasa kesepian tanpa adanya saudara. Kehadiran Diana mampu membuat Cici bahagia dan merasa memiliki saudara meski bukan sedarah. Tidak ada yang Cici jadikan sahabat selain Diana. Persahabatan mereka kini sudah terjalin dua tahun semenjak Diana masuk kuliah di umur 18 tahun.
"Makasih, Ci. Kamu benar, anakku juga harus makan." Diana terharu memiliki sahabat baik seperti Cici. Setelah semuanya terasa baik serta perasaan Diana jauh lebih tenang meski hati masih risau, mereka berdua turun menuju kantin.
Namun, setibanya di bawah, banyak pandangan mata tertuju pada Diana. Pandangan berbeda seakan menghakiminya.
"Kamu merasa ada yang aneh gak, Dee?" Cici mulai mencurigai ketidak beresan di kampus. Terbukti dari banyaknya pasang mata menatap jijik serta menghakimi ke arah mereka.
"Aneh kenapa?" Diana masih menunduk menyembunyikan mata sembabnya.
"Mereka semua terus memperhatikan kita terutama kamu."
"Masa sih?" Diana langsung mendongak. Dan ternyata benar, banyak pasang mata terus menatapnya.
"Eh, lihat si pembunuh ini. Dia masih saja menjalani hari nya setelah membunuh adik pak Zio dan anak seseorang," celetuk seseorang.
Deg ....
Diana dan Cici saling lirik kaget atas perkataan salah satu dari sekian murid di kampus.
"Bener banget, seharusnya pembunuh sepertinya tidak ada di sini. Di penjara jauh lebih baik," balas lainnya.
"Hei, siapa yang kau maksud pembunuh?" sergah Cici merasa panas telinga atas tuduhan palsu itu.
"Siapa lagi kalau bukan temanmu itu, Diana Maheswari." Salah seorang berteriak kencang menyebutkan nama Diana sebagai pembunuh hingga membuat orang-orang mulai terpancing ingin mengetahuinya.
Deg ....
Diana terperanjat kaget. Kenapa semua orang mengatainya pembunuh.
"Tidak, aku bukan pembunuh."
"Ihh, cantik-cantik kok pembunuh."
Diana menggelengkan kepalanya. "Aku bukan pembunuh," batinnya menolak jika memang ia bukan pembunuh.
"Kalian jangan asal bicara, ya. Diana bukan pembunuh seperti yang kalian tuduhkan. Ini fitnah," sela Cici geram atas tuduhan mereka.
"Kau jangan membelanya Cici. Wanita pembunuh sepertinya harus di hukum. Dan lebih baik tinggal di penjara."
"Mana buktinya Diana pembunuh? Darimana kalian dengar jika Diana membunuh? Apa kalian punya buktinya?" sergah Cici, Diana memegangi telinganya tidak ingin mendengar ocehan orang.
"Lihat ini! Ini bukti Pak Zio marah karena Diana sudah membunuh adik dan anak seorang wanita."
Rekaman video itu menunjukan kemarahan Danu pada Diana. Hanya bagian terakhir yang terputar, video itu pun sangat singkat namun mampu membuat semua orang semakin tidak menyukainya. Entah siapa yang merekam, entah siapa yang menyebarkan, Diana tidak tahu.
Deg ....
"Tidak ... aku bukan pembunuh!"