Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Fakta Tersembunyi
Seusai maghrib aku berniat ke rumah Risa. Mumpung anak-anak sedang anteng dengan TV dan mainan. Sedangkan mas Anang seperti biasa, dia sibuk dengan hapenya.
"Mas, aku mau keluar sebentar ya."
Mas Anang hanya memgangguk dengan mata yang masih menatap layar pipihnya.
"Jangan hanya fokus ke hape mas. Anak-anak dijagain."
Sekali lagi mas Anang hanya mengangguk saja.
Aku buru-buru pergi dari rumah sebelum ada salah satu dari anakku melihat ku. Bukannya aku tak ingin direpotkan mereka. Aku hanya takut jika salah satu diantara mereka ikut, membuat aku tak fokus dengan obrolan ku nanti.
Sekitar lima menit aku berjalan, aku sampai di rumah Risa. Jika dilihat dari luar, ruang tamu Risa yang penuh degan etalase produk yang aku lihat di aplikasi tadi. Aku menduga bahwa Risa sudah sukses dengan dagangannya. Hal itu terbukti dari etalase yang terpajang lebih dari satu dan penuh dengan barang yang menurutku tak murah. Pasti butuh banyak uang untuk mendatangkan barang-barang itu.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam. Eh mbak Ayu. Ayo masuk mbak. Maaf nggak ada kursinya." Risa menyambut ku dengan ramah. Sangat terlihat ia welcome dengan setiap orang, mungkin karena kebiasaannya yang menjual barang menjadikannya terbuka dengan orang baru.
"Duduk mbak. Aku ke belakang bentar ya."
Aku hanya mengangguk tersenyum. Mataku berkeliaran ke mana-mana melihat tas dan dompet cantik. Banyak juga peralatan dapur yang terpajang cantik di sana. Ah seandainya saja aku punya banyak uang, pasti aku bisa memiliki benda-benda mahal ini.
"Silakan mbak, di sambi." Risa kembali dengan membawa minuman dan juga camilan. Aku jadi tak enak, karena merepotkannya.
"Aduh mbak, saya jadi merepotkan kamu. Terima kasih," jawabku sungkan.
"Ah nggak mbak. Hanya air. Panggil Risa saja mbak. Usia mbak lebih tua dari aku."
"Bisa aja kamu ini. Oh ya Ris, maksud kedatangan aku ke sini aku ingin jadi member kamu. Apa kira-kira aku bisa bantu-bantu jual barang kamu tanpa aku harus beli dulu, maksudnya aku nggak perlu stock gitu."
"Mbak mau jadi member aku? Boleh banget mbak. Member aku nggak perlu stock barang kok mbak, gini aja. Mbak tinggalin nomer WA ya. Biar nanti aku masukin ke grup barang aku. Mbak nanti bisa share barang-barang yang aku kirim di grup. Mbak mau jualan yang mana?"
"Apa kalau semuanya boleh Ris?" tanyaku dengan pelan. Aku takut jika Risa berpikir aku ini kemaruk.
"Boleh banget mbak. Mbak bisa jual apapun yang mbak mau."
Obrolan ku berlanjut dengan bertukar nomer WA. Dari obrolan itulah aku mengetahui bahwa Risa memulai usahanya dari sebelum dia menikah. Usahanya semakin sukses dan berkembang setelah menikah. Dia mendapatkan dukungan penuh dari suaminya, bukan hanya dukungan moril tapi juga materi.
Mendengar cerita dari Risa membuatku membandingkan hidup ku dengan Risa. Membandingkan sifat suami Risa dan suamiku. Hal itu membuat ku semakin perih saja.
Setelah di rasa cukup aku berbincang dengan Risa, aku pamit pulang. Aku pulang dengan hati senang dan harapan besar. Aku ingin menjadi wanita sukses tanpa harus bergantung pada siapapun. Tentu saja sukses ku ini aku sembunyikan dari banyak orang.
Aku sudah meminta Risa untuk tak membicarakan hal ini pada siapapun. Aku memintanya untuk merahasiakan bahwa aku ikut kerja dengannya. Tentu saja tak aku jelaskan alasan sesungguhnya. Itu sama saja aku membuat buruk nama suamiku.
Begitu sampai rumah, aku melihat anak-anak sudah tidur. Tumben sekali, pikirku. Suamiku juga sudah pulas dengan memeluk Anin. Aku melanjutkan langkah menuju dapur untuk mencuci piring. Ini kesempatan untukku tidur lebih awal seperti mereka.
Setelah cuci piring, aku matikan semua lampu. Tak sengaja sudut netraku melihat tas kerja mas Anang yang ada di meja ruang tamu. Aku melangkah mengambilnya, aku menjereng tas itu tepat di depan wajahku. Selama tujuh tahun menikah sama sekali aku tak membuka apa isi dari tas itu. Dan entah kenapa detik ini rasa ingin tahu ku sedang berada di puncak kepala.
Aku mendudukkan diri di sofa dan membuka ruang yang terdapat di tas itu. Aku mulai dari yang paling depan. Sebuah kertas, aku tak tahu kertas apa itu.
Dahiku mengernyit begitu tahu isi dari kertas itu. Hatiku remuk redam, tanganku bergetar hebat, nafasku tiba-tiba tersengal- sengal, sudut netraku yang berembun tak dapat lagi menahan lajunya cairan bening yang sejak tadi ku tahan.
Aku menemukan kertas yang berisikan bahwa suami ku cek in di sebuah hotel bintang lima. Untuk apa mas Anang cek in di hotel sedangkan jarak rumah dan tempat bekerja hanya berjarak satu kilometer saja. Dan mas anang cek in dengan siapa? Satu kamar untuk dua orang? Sungguh aku tak mengerti. Semua wanita mungkin akan berpikir yang tidak-tidak jika berada di posisiku.
Aku kembali mengubek-ubek tas kerja mas Anang. Aku ingin tahu apa saja yang ada di dalam tasnya. Sungguh, sebelum menemukan ini, aku tak pernah berpikir mas Anang akan bertindak ke arah sana. Aku sangat percaya mas Anang mencintai ku dengan tulus dan tidak akan mengkhianati wanita yang sudah memberinya tiga orang anak.
Harapan tinggal harapan, aku menemukan lagi sebuah alat pengamanan untuk melakukan hubungan badan. Tanganku kembali bergetar hebat, pikiran ku sudah tak mampu lagi berpikir positif.
Berkali-kali aku mengucap istighfar dalam hati, berharap aku bisa menenangkan diri. Aku kembalikan semua barang yang sudah aku ambil ke dalam tas suamiku. Aku bertekad dalam hati, aku harus bisa tenang dan mengendalikan emosi.
Dengan hati hancur yang sudah entah menjadi berapa kepingan, aku berjalan menuju kamar. Aku letakkan tas mas Anang di tempat biasa.
"Kamu belum tidur?" tanya mas Anang begitu melihat aku meletakkan tasnya.
"Belum, ini aku baru pulang." Aku berjalan menuju tepian ranjang di sisi lainnya. Aku rebahkan diriku di sebelah Anin lalu memeluknya.
"Kamu kenapa? Kok kayak merah matanya? Kamu sakit? Mau flu?" tanya mas Anang sembari menempelkan punggung tangannya ke kening ku.
Refleks aku menepis tangan mas Anang. Sungguh sakit hati ini jika mengingat isi tasnya. Aku sudah mengabdi dan menyerahkan seluruh hidupku padanya, inikah balasannya?
"Kamu kenapa sih dek? Ada apa? Apa karena ibu lagi? Kamu sedih karena ibu? Ada apa, cerita sama aku," kata mas Anang dengan lembut.
Kalian pasti akan terisak jika kalian memendam kesedihan dan ada yang bertanya 'kamu kenapa?' itulah yang terjadi sekarang. Tekad ku yang bulat akan tegar entah kemana perginya.
Mas Anang seketika bangkit dari berbaringnya dan mendekati aku yang menyembunyikan wajahku di balik telapak tangan. Dia masih membiarkan aku dengan tangisan, namun tangannya terus bergerak mengelus pelan puncak kepala ku.
Itu memang yang selalu di lakukan mas Anang ketika aku sedih. Bahkan sejak saat masih pacaran, itulah sebabnya aku tak ingin kehilangan mas Anang meskipun tak ada restu dari ibu mertuaku. Dia sangat sayang padaku, tapi bagaimana mungkin jika dia bisa berbuat seperti itu di hotel dengan wanita lain? Sulit dipercaya, tapi inilah kenyataannya.
Setelah aku sedikit tenang, aku bangkit dari berbaring ku dan duduk di depan mas Anang. Laki-laki itu mengubah posisi duduknya yang berjongkok di lantai menjadi duduk di sampingku.
"Maafin ibu ya. Kamu kan tahu ibu orangnya memang begitu, di perluas lagi sabarnya ya," ujar mas Anang seraya memeluk ku.
"Bukan itu yang aku tangisi mas. Aku menangisi isi tas kerjamu."
Seketika mas Anang melepaskan pelukannya dan menatap ku dengan wajah paniknya.
ceritanya sperti di dunianya nyata.