Pemahaman yang salah mengenai seorang anak, pada akhirnya akan membuat hati anak terluka, dan memilih jalannya sendiri untuk bahagia.
Bahkan parahnya, seorang anak harus merasa jika rumah yang ia tinggali, lama kelamaan berubah menjadi neraka baginya.
Seorang gadis bernama Mirelia, hidup di keluarga yang semuanya adalah seorang pengusaha meski bukan pengusaha yang sukses. Ayahnya memiliki beberapa toko bangunan yang lumayan terkenal, juga selalu mendapatkan omset yang jauh dari cukup. Ibunya adalah penjual kue kering online yamg juga sudah banyak memiliki langganan, bahkan ada beberapa selebriti yang memesan kue darinya. Kakaknya juga seorang gadis yang cantik, juga sangat membantu perkembangan toko sang Ayah.
Mirelia? Gadis itu hanya mengisi peran sebagai anak yang manja. Bahagiakah? Tidak! Dia ingin melakukan banyak hal yang bisa membuat orang tuanya bangga, tapi sialnya dia selalu saja gagal dalam meraih usahanya.
Suatu ketika, seorang pria datang dengan tujuan untuk dijodohkan dengan Mirelia, tapi masalahnya adalah, sang kakak nampak jatuh hati tanpa bisa disadari Mirelia lebih cepat.
Akankah laki-laki itu mengubah hidup Mirelia? Ataukah dia akan menjadi pasangan kakaknya?
Lalu, bagaimana Mirelia menemukan kebahagiannya? Bagaimana Mirelia bisa menunjukkan sesuatu yang mampu membuat orang tak lagi menganggapnya manja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewi wahyuningsih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Break fast
Sarapan pagi, umumnya adalah waktu bagi keluarga untuk bersama-sama menikmati sarapan dan bersiap menyambut tantangan baru hari ini.
" Ayah, nanti aku pinjam mobil untuk memesan beberapa barang yang habis di toko ya? Sekalian aku ada janji temu dengan Pak Salim yang kemarin membeli bahan bangunan untuk rumah yang sedang didirikannya. Katanya sih, ada beberapa barang lagi yang kurang, dan dia minta untuk datang langsung ke lokasi pembangunan untuk mengecek mana saja bahan yang kira-kira kurang nantinya. " Setelah mengatakan itu, Derel kembali menikmati sepiring salad buah yang hampir setiap pagi bergantian dengan salad sayur.
Ayah mengangguk, dia tersenyum dengan begitu tulus juga bangga.
" Pakai saja, Derel. Ayah bisa naik taksi nanti ke toko pusat. "
" Padahal Ibu niatnya ingin pinjam juga loh, soalnya ada beberapa pesanan yang minta di antar langsung kerumahnya. "
" Nanti bisa minta tolong Bu Lastri saja yang mengantar bu? " Tanya Derel yang terlihat tidak enak.
" Bisa sih, hanya saja nanti Ibu jadi keteteran karena hari ini banyak sekali orderan. Meskipun pekerjaan terlihat gambar, nyatanya kan kalau tidak hati-hati juga bisa kacau. " Ujar Ibu Ana lalu menghela nafasnya.
" Tidak apa-apa bu, nanti Ayah beli satu motor, juga pekerjakan satu orang untuk menjadi kurir bagaimana? " Usul sang Ayah menenangkan istrinya.
" Ide bagus, yah. "
" Ayah kan memang selalu pengertian, Bu. " Mereka bertiga tertawa bahagia, membicarakan bisnis tentu adalah hal yang menyenangkan bagi mereka, tapi tinggal satu gadis yang sedari tadi diam saja karena tidak ada di lingkaran yang sama dengan mereka Meskipun dia adalah anggota keluarga juga. Dia adalah Mire, gadis yang selama ini hanya dianggap manja, juga seolah tak memiliki kemampuan seperti mereka.
" Ibu, bagaimana kalau meminta Mire untuk membantu? Lagi pula ini kan hari libur, dari pada keluyuran tidak jelas, bukannya akan lebih berguna kalau dia membantu Ibu? Dan juga, supaya dia belajar bagaimana caranya, dan bagaimana susahnya mencari uang. " Ujar Derel melirik sebentar kepada Mire, lalu kembali melanjutkan kegiatan sarapannya.
Mire terdiam, sama seperti sebelumnya.
" Bagaimana Mire? " Tanya Ibu.
" Tapi bu, hari ini aku ada- "
" Sudah Ayah duga, mengharapkan Mire membantu sama saja dengan mengharapkan bulan jatuh ke bumi. " Ayah menatap kesal, lalu me jauhkan piringnya karena merasa tak lagi berselera setelah marah.
Mire mencengkram kuat sendok dan garpu yang tengah ia pegang. Dia tak berani mengangkat kepalanya untuk menatap sang Ayah, bukan karena takut, tapi dia sangat kecewa hingga tidak ingin menunjukkan kepada Ayahnya. Padahal, beberapa tahun lalu Ayahnya terus berkata dengan terus tersenyum, selaku memanjakannya, selalu menuruti apa yang dia inginkan, tapi semenjak usianya dua puluh tahun, Ayah setiap hari dengan jelas menunjukkan apapun yang tidak ia suka dari Mire. Pernah terlintas di benak Mire, apakah Ayahnya sedang mendidik Mire agar bisa lebih dewasa? Kalau iya, apakah tidak ada cara lain selain seperti ini? Ini terlalu sakit, tapi sebagai anak juga dia tidak berani terlalu banyak menuntut.
" Sudah, kalau Mire tidak mau ya tidak apa-apa kok. " Ujar Ibu agar sang suami tenang dan jangan marah lagi kepada putri bungsunya. Niatnya memang baik, tapi siapa sangka kalau kata-kata itu justru membuat Mire merasa lebih sakit.
" Aku bukanya tidak mau, aku akan membantu sebisa ku. " Mire meletakkan sendok dan garpunya, lalu menjauhkan piringnya.
" Aku sudah kenyang, aku ke kamar dulu, nanti turun lagi untuk membantu Ibu. " Ucap Mire laku berbalik badan untuk menuju kamarnya.
" Lihatlah, lagi-lagi merajuk, tidak tahu apakah punya masa depan atau tidak dengan sikap seperti itu. " Ujar sang Ayah yang semakin jengkel.
Mire terdiam seraya terus menjalankan kakinya menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Sejenak dia menduga, apakah dia bukan anak kandung orang tuanya? Tapi itu seolah terbantahkan karena wajahnya juga sangat mirip dengan Ayah, serta neneknya. Jika memang benar untuk membentuk pribadinya ahar sedikit dewasa, bukankah malah dendam karena dikucilkan oleh keluarga sendiri? Dia adalah seorang anak, tapi kenapa dia dituntut seolah dia akan hidup sebatang kara tanpa perlindungan orang tua? Dimana kata-kata mutiara bahwa orang tua akan melindungi anaknya sampai nafas terakhir? Apakah sungguh hanya kiasan? Padahal, dia hanya ingin diperhatikan, ditanya apa sebab dia membuat ulah, dibelai lalu dikuatkan saat merasa lemah, sepertinya memang itu tidak akan terjadi.
Mire menghela nafasnya, lalu meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang.
" Lusi? "
Mire, ada apa?
" Lomba melukis hari ini apakah bisa datang terlambat? "
Mire, apa terjadi sesuatu? Apa aku perlu menjemputmu?
" Tidak ada yamg terjadi, hanya saja aku diminta untuk membantu Ibuku. "
Mire, ini adalah perlombaan. Kau sudah berusaha mati-matian untuk mengikuti lomba ini, sekarang kau ingin datang terlambat? Yang ada kau akan di diskualifikasi, Mire. Bagaimana kalau aku saja yang menggantikan mu membantu Ibumu?
Mire tersenyum, seperti inilah Lusi, dia sama sekali tidak ingin Mire menyerah, bahkan Lusi jugalah yang selaku memberikan arahan kepada Mire agar bisa membuatnya bangga dengan usahanya sendiri.
Mire, kau sudah masuk ke sepuluh besar, kau yakin akan menyerah?
Mire manarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan pelan mencari kekuatan dari sana.
" Aku akan membantu Ibuku, lalu sesegera mungkin untuk sampai disana, kau tunggu aku disana ya? "
Bagus, Mire. Mire, tidak ada orang yang bisa membuatmu maju selain dirimu sendiri. Kau bisa Mire, meskipun belum tentu orang lain perduli dengan prestasimu, tapi setidaknya kau bisa bangga terhadap dirimu sendiri.
" Aku tahu, Lusi. Terimakasih sudah selalu membuatku semangat. "
Kau adalah temanku, tentu saja hal biasa menyemangati teman.
" Aku malah berharap kalau kau saudari kembarku. "
Berhenti omong kosong, cepat bantulah Ibumu dulu.
" Ok! "
Setelah selesai berbicara dengan Lusi melalui sambungan telepon, kini Mire bergegas turun untuk membantu Ibunya yamg tengah memanggang kue d dapur.
" Ibu, aku harus membantu apa? " Tanya Mire dengan semangat karena ingin cepat selesai.
" Eh, sayang? Kemas saja kue keringnya ke dalam wadah, laku masukkan kedalam plastik, jangan lupa ikat atasnya dengan pita. Lihat saja caranya saat Ibu Lastri dan Ibu Susi mengemas ya? "
" Baik, Ibu. "
Tidak tahu terlalu semangat, atau memang dia terburu-buru, sudah empat wadah yang hancur, bahkan banyak juga kue keting yang rusak. Awalnya Ibu Ana masih bisa memaklumi, tapi karena merasa tidak wajar, dia merasa kesal juga melihat Mire yang sama sekali tidak pecus.
" Mire, kalau kau hanya ingin membuat lebih banyak pekerjaan, lebih baik tinggalkan saja. Lihatlah kue kering yang rusak itu! Sebanyak itu mana bisa di jual? "
" Maaf, Ibu. "
" Sebenarnya apa yang bisa kau lakukan? Bahkan mengemas kue saja tidak bisa. " Ujar sang Ayah seraya menggeleng heran.
Mire tertunduk.
" Maaf, Ibu. Lain kali aku akan lebih hati-hati, aku sungguh minta maaf karena merusak kue Ibu. " Mire bergegas pergi meninggalkan dapur, dan juga Ibunya yang merasa sedih karena menyesal sudah mengatakan hal yang menyakiti putrinya.
Bersambung
udh tau jln ceritanya,tapi tetep aja meweek,,sumpaah banjir air mata gue thor..aq tau gimna sakit ny mire,krn aq jg merasakan apa yg dia rasakan 😭