Dinda, 24 tahun, baru saja mengalami patah hati karena gagal menikah. Kehadiran seorang murid yang bernama Chika, sedikit menguras pikirannya hingga dia bertemu dengan Papa Chika yang ternyata adalah seorang duda yang tidak percaya akan cinta, karena kepahitan kisah masa lalunya.
Akankah cinta hadir di antara dua hati yang pernah kecewa karena cinta? Mampukah Chika memberikan seorang pendamping untuk Papanya yang sangat dia sayangi itu?
Bila hujan tak mampu menghanyutkan cinta, bisakah derasnya menyampaikan rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perkelahian
Pagi ini Dinda buru-buru berangkat ke sekolah, karena dia harus mengajar.
Kemudian dengan cepat dia berjalan menuju ke kelasnya, hari ini dia agak terlambat karena bangun kesiangan.
Banyak hal yang di pikirkannya, membuat dia tidur terlalu larut, sehingga dia bangun lebih siang dari biasanya.
Bel masuk sekolah sudah berbunyi sedari tadi, Dinda setengah berlari agar dia tidak terlalu terlambat banyak lagi ini.
Saat hampir tiba di kelas 1A, terdengar suara kericuhan di dalam kelas, buru-buru Dinda membuka pintunya lepasnya itu.
Matanya melotot saat di lihatnya Chika yang nampak bertengkar dengan Edo, seluruh isi kelas menyoraki mereka, hingga Chika mendorong keras tubuh Edo ke tembok, hingga kepala Edo membentur tembok.
"Stop!!! Hentikan!!!" teriak Dinda.
Semua murid terdiam seketika, satu persatu mereka kembali ke tempat duduk mereka masing-masing.
Chika masih berdiri di tempatnya, menatap Edo dengan wajah merah penuh kemarahan.
"Chika! Apa yang kau lakukan?? Pagi-pagi sudah buat keributan!" tanya Dinda.
Chika diam saja, tidak menjawab pertanyaan Dinda.
"Tadi mereka tau-tau sudah bertengkar Bu!" kata Velin, si ketua kelas.
"Bu Dinda! Hidungnya Edo berdarah!" seru salah seorang murid yang duduk tidak jauh dari tempat Edo.
Dinda terkesiap dan menoleh ke arah Edo, dari hidungnya mengalir darah segar, Edo nampak menangis. Dinda langsung panik.
Dengan cepat Dinda mengambil sapu tangannya dan membersihkan darah di hidung Edo.
"Edo, kau tidak apa-apa Nak? Ayo ikut Ibu ke UKS, Velin, kau atur teman-temanmu ya!" ujar Dinda yang langsung menuntun Edo keluar dari kelasnya lalu menuju ke ruang UKS yang ada di sudut lorong itu.
Saat Dinda berjalan menuju ke UKS, dia berpapasan dengan Bu Dita yang terlihat membawa tumpukan buku dari perpustakaan.
"Bu Dinda, apa yang terjadi? Edo kenapa?" tanya Bu Dita.
"Ada insiden kecil Bu, Edo mimisan, Di kelas tidak ada yang mengajar, kasihan anak-anak Bu!" jawab Dinda.
"Apakah ini ulah Chika lagi?" tanya Bu Dita. Dinda menganggukan kepalanya.
"Duh, gawat ini, bisa demo orang tuanya, gini deh Bu, biar aku yang urus Edo, supaya tidak ketahuan kalau dia habis mimisan, Bu Dinda kembali ke kelas saja!" kata Bu Dita yang merupakan ketua dewan guru itu.
Dinda nampak berpikir, kemudian menganggukan kepalanya.
Kemudian Bu Dita membawa Edo ke UKS, sementara Dinda kembali ke kelasnya untuk melanjutkan pelajaran.
Setelah sampai di kelas, Chika nampak duduk di bangkunya, suasana kelas seketika menjadi hening saat Dinda masuk ke dalam kelas.
"Chika, nanti di jam istirahat, ikut Ibu ke ruang guru ya!" kata Dinda sambil menatap Chika yang menunduk.
"Iya Bu!" sahut Chika singkat.
"Sekarang, buka buku kalian semua, kita lanjutkan pelajaran kita, latihan menulis sambung!" ujar Dinda pada semua murid kelasnya.
****
Pada jam istirahat, kejadian pagi tadi di kelas 1A menjadi perbincangan hangat para guru.
Pak Roni kepala sekolah juga nampak ada di ruang guru tersebut.
Mereka mengadakan rapat dadakan, untuk membahas masalah Chika dan kelakuannya.
"Kita harus berusaha, membuat Edo tidak mengadu pada orang tuanya, soal kejadian tadi pagi!" kata Pak Roni.
"Mana bisa begitu Pak? Anak kecil itu kan pasti jujur!" sahut Pak Yoga, guru oleh raga.
"Reputasi sekolah kita bisa buruk! Kalau sampai terjadi demo lagi di sekolah ini, jadi kita harus mengusahakan agar kasus ini tertutup!" lanjut Pak Roni.
"Kita harus berkorban Pak, keluarkan Chika dari sekolah, atau sekolah ini yang jadi taruhannya!" cetus Mr. Sam, guru bahasa Inggris.
"Kita harus ingat, Pak Dio, Papanya Chika itu, adalah salah satu donatur terbesar di sekolah ini, tidak bisa mengeluarkan anaknya begitu saja!" tukas Pak Roni.
"Tapi bukan berarti, tanpa donatur sekolah ini tidak bisa berjalan! Orang tua murid pasti akan takut menyekolahkan anaknya di sekolah ini gara-gara Chika!" sahut Mr. Sam.
"Bu Dita, bagaimana keadaan Edo??" tanya Pak Roni sambil menoleh ke arah Bu Dita.
"Edo masih istirahat di UKS Pak, tidak ada yang terluka, hanya mimisan efek dari kepala yang terbentur, kepalanya juga tidak benjol, tapi kalau sampai Edo mengadu ke orang tuanya, kita akan mendapat masalah besar!" jelas Bu Dita.
Ceklek!
Pintu ruangan terbuka dari luar, Dinda masuk dengan menuntun Chika di sampingnya.
"Bu Dinda, kita sedang membahas masalah penting, kenapa kau bawa Chika ke sini?!" tanya Pak Roni.
"Saya harus bicara dari hati ke hati dengan Chika Pak, di mana lagi kalau bukan di ruangan ini?" sahut Dinda.
"Bu Dinda, kau kan wali kelas 1A, tolong kau urus dan ubah sifat Chika, karena kau yang paling berwenang, kau pergi ke ruang konseling, bicara pada anak itu di sana!" ujar Pak Roni.
"Baik Pak!" jawab Dinda yang langsung berbalik keluar dari ruangan itu sambil menuntun Chika.
Dinda menuntun Chika naik ke lantai tiga, di sana ada ruang konseling, kebetulan konselor sekolah baru resign karena melahirkan.
Jadi sementara ruang konseling ini kosong selama hampir tiga bulan.
Dinda lalu membawa Chika masuk ke dalam ruangan itu, ruangan yang terlihat bersih dan nyaman, karena di bersihkan setiap hari.
"Duduklah Chika!" kata Dinda sambil menunjuk sebuah kursi, merekapun duduk saling berhadapan.
"Chika, kau pasti tau, apa yang kau perbuat tadi pagi, itu adalah kesalahan, kenapa kau mendorong Edo hingga kepalanya membentur tembok?" tanya Dinda.
"Edo itu selalu ngatain aku Bu, dia bilang aku anak nakal dan kasihan karena tidak punya Ibu!" jawab Chika.
Dinda tertegun, lagi-lagi itu yang jadi alasannya.
"Lalu, kenapa kau harus marah??" lanjut Dinda.
"Karena ... aku juga ingin seperti teman-temanku, punya Ibu, yang bisa peluk, yang bisa cium, yang bisa selalu menemaniku, bisa main bersama, bercanda ..." Chika menghentikan ucapannya.
Wajahnya menunduk, ada butiran bening yang jatuh dari pelupuk matanya.
Selama jadi wali kelas Chika, baru kali ini Dinda melihat Chika menangis, biasanya senakal apapun, Chika selalu tegar dan tidak mudah mengeluarkan air matanya.
"Chika, kalau kau ingin merasakan seperti teman-temanmu, kau boleh kok peluk Ibu!" ucap Dinda.
"Sungguh??" tanya Chika sambil mulai mengangkat wajahnya.
Dinda menganggukan kepalanya.
Kemudian Dinda mulai merentangkan tangannya, dengan sedikit ragu-ragu, Chika berdiri dan maju, lalu memeluk Dinda.
Chika menangis di pelukan Dinda, Dinda juga menangis, dia sangat memahami apa yang anak ini rasakan, karena Dinda juga pernah mengalami hal yang sama.
"Terimakasih Bu Dinda!" ucap Chika.
Dinda tertegun, ucapan terimakasih sangat jarang terucap di mulut Chika, namun hari ini, dia mengatakannya dengan tulus.
Bersambung ....
****