Harga Sebuah KEHORMATAN

Adrian terus meyakinkan Salma agar merestui mereka. Adrian sangat tahu sifat Gaza. Sifatnya sama dengan dirinya. Kalau menginginkan sesuatu, dia pasti tak akan pernah menyerah.

"Sudahlah ma, restui mereka. Bukankah kau pernah bilang jika Rain adalah menantu idamanmu?"

Dulu Salma memang pernah berkata begitu. Dia sangat menyayangi Rain. Bahkan dia sering mengajak Rain untuk menemaninya ke salon ataupun shoping. Tapi semua berubah sejak kejadian itu. Sejak ayah Rain dipenjara. Awalnya Salma tak begitu merisaukan masalah itu. Tapi setiap bertemu dengan temannya, mereka selalu membahas tentang itu. Keluarganya selalu dijadikan bahan gosip.

"Gaza mohon Ma, restui Gaza dan Rain." Gaza tak putus asa terus membujuk mamanya.

Salma pergi tanpa berkata kata, dia sebenarnya tak mampu menolak keinginan Gaza. Gaza adalah putra satu satunya. Gio dan Ghania mereka adalah keponakan yang dia asuh karena orang tuanya meninggal saat mereka masih kecil.

"Sabar Ga, mamamu pasti merestui. Biar papa yang membujuknya nanti."

"Makasih Pa." Gaza kembali ke kamarnya, tapi dia sebenarnya masih penasaran. Siapa yang mengirim foto itu pada mamanya.

...******...

Rain sedang galau memikirkan Bagaimana caranya berterus terang tantang dirinya yang sudah tidak suci lagi. Dia takut Gaza tak bisa menerima itu. Rain tak ingin terus menunda, bagaimanapun Gaza berhak tahu soal ini.

"Kamu beneran gak mau ikut njenguk ayah Al? Tanya Rain saat mereka berdua tengah sarapan.

"Maaf kak Al ada janji pagi ini. Nitip salam buat ayah ya kak. Bilang sama ayah, Insyaallah minggu depan Alan kesana."

"Baiklah kalau gitu."

Terdengar suara mobil berhenti di halamam rumah. Kemungkinan besar itu adalah Gaza. Hari ini Rain dan Gaza janjian akan menjenguk Teguh di rutan.

Rain segera keluar untuk melihat siapa yang datang. Dan ternyata dugaanya benar, Gaza yang datang.

"Masuk yang, aku dan Alan lagi sarapan. Kamu udah sarapan belum?"

"Udah, aku dah sarapan dirumah. Aku tunggu disini saja. Kamu lanjutin aja sarapannya." Ujar Gaza sembari duduk dikursi panjang yang ada diruang tamu.

"Aku tinggal bentar ya." Pamit Rain lalu kembali kedapur untuk menyelesaikan sarapannya.

Selama menunggu Rain, Gaza bermain game diponselnya.

"Gak ikut sarapan Mas?" Tanya Alan yang baru saja keluar dari dapur.

"Udah sarapan Al. Masih kenyang." Jawabnya sambil memegangi perut. "Kamu mau kemana?" Gaza melihat Alan mengeluarkan motornya yang dia parkir diruang tamu.

"Ada janji sama teman. Al tinggal dulu ya mas."

"Hati hati."

Setelah Alan keluar, Gaza kembali sibuk dengan ponselnya. Tak lama kemudian Rain keluar.

"Langsung berangkat yang?" Tanya Gaza.

"Emmm...disini dulu bentar ya, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu." Ujar ragu ragu. Menurutnya, ini waktu yang paling tepat mumpung tak ada Alan dirumah.

"Mau ngomongin apa sih, kok kayaknya serius gitu?" Gaza menggeser posisi duduknya untuk memberikan tempat pada Rain.

Rain duduk disebelah Gaza dengan wajah gelisah sambil meremat jari. Tak bisa ditunda lagi, dia harus jujur walaupun konsekuensinya adalah kehilangan Gaza.

"Ada apa sih yang?" Gaza makin penasaran.

"Aku... aku.... " Rain tak sanggup melanjutkan kata katanya. Saat ini, dia sedang berperang dengan hatinya sendiri.

"Kenapa sih yang, jangan bikin aku penasaran." Gaza meraih tangan Rain lalu menggenggamnya.

"Aku bingung mau cerita yang. Aku takut, aku takut kamu ninggalin aku." Mata Rain mulai berkaca kaca.

"Lho kok ngomong gitu? mana mungkin aku ninggalin kamu. Aku cinta sama kamu Rain. Sudah jangan nangis." Gaza menghapus air mata Rain yang mulai menetes.

"Kamu mau ngomong apa sih? jangan bikin aku khawatir dong. Aku khawatir kalau kamu nangis gini."

Bukannya berhenti menangis, Air mata Rain makin mengalir deras. Dia bingung harus mejelaskan seperti apa? Jujur tidak mungkin karena pasti akan mengecewakan Gaza. Tapi mengenai keperawanannya yang sudah hilang, hal itu tak bisa ditutupi.

"Jangan nangis dong yang." Gaza makin cemas melihat Rain nangis sesenggukan. Dia yakin yang akan Rain bicarakan adalah masalah serius. "Ada apa? bicara sama aku." Gaza memeluk Rain agar gadis itu tenang.

"Maafin aku Ga."

"Kenapa kamu minta maaf? kamu gak lagi mau batalin pernikahan kita kan?" Gaza mendadak kepikiran kesana. Rain yang menangis tanpa henti membuanya berfikiran yang enggak enggak.

Rain menggeleng. "Bukan itu."

"Lalu?"

"Maafin aku yang gak bisa menjaga kesucianku buat kamu Ga."

Deg

Gaza sejenak terdiam. Dia berusaha mencerna perkataan Rain. Tak bisa dipungkiri hatinya hancur mendengar kenyataan pahit itu. 3 tahun berpacaran, dia selalu menjaga Rain. Tak pernah sekallipun dia meminta sesuatu yang belum menjadi haknya.

Dia sangat mengenal Rain. Tak mungkin Rain selingkuh dan melakukannya dengan pria lain. Gaza sangat mempercayai Rain meski merek ldr selama 2 tahun.

"Maafkan aku Ga." Rain menunduk sambil menangis sesenggykan. "Aku akan menerima semua keputusan kamu. Aku ikhlas jika kamu membatalkan rencana pernikahan kita. Aku yang salah Ga. Kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku."

Gaza masih terdiam, dia bingung harus bagaimana. Sedangkan Rain, gadis itu terus saja menangis. Dia takut sekali Gaza meninggalkannya. Tapi dia juga tak mau membohongi Gaza.

"Siapa pria yang melakukannya Rain?" Gaza menatap lekat kedua mata Rain. Walaupun rasanya sakit menerima kenyataan itu. Tapi dia tetap ingin penjelasan dari Rain.

"Pria itu adalah...." Rain tak sanggup melanjutkan kata katanya.

"Katakan Rain, aku berhak tahu." Gaza mengangkat dagu Rain agar wanita itu menatapnya.

"Pria itu..."Rain kembali menunduk karena tak mampu berbohong sambil menatap mata Gaza. "Pria itu adalah pria yang telah dibunuh ayah. Rentenir itu sudah memperkosaku Ga." Bohong Rain sambil menangis sesenggukan.

Gaza langsung memeluk Rain. Dia meneteskan air mata. Hatinya hancur, tapi bukan karena keadaan Rain yang sudah tak suci. Melainkan menangisi nasib Rain yang sangat tragis. Dia tak bisa membayangkan perasaan Rain saat itu. Bagaimana hancurnya Rain saat diperkosa oleh rentenir itu.

"Maaf Ga, maaf."

Gaza menggeleng "Bukan salah kamu Rain. Aku yang salah, harusnya aku bisa menjaga kamu. Harusnya aku menolongmu saat itu. Maafkan aku Rain."

Rain makin menangis mendengar Gaza menyalahkan dirinya sendiri.

Maaf Ga, aku terpaksa berbohong. Aku tak mungkin mengatakan jika aku menjual kehormatanku, batin Rain.

"Jangan menangis, ada aku Rain." Gaza melepaskan pelukannya lalu menyeka air mata Rain. " Kau pasti sangat menderita karena hal itu. Lupakan semua, jangan pernah mengingat lagi peristiwa buruk itu. Kita mulai lembaran baru. Aku tak mempermasalahkan hal itu Rain."

"Aku tak ingin dikasihani Ga. Aku ikhlas jika kamu membatalkan pernikahan kita."

Gaza meletakkan telunjuknya dibibir Rain sambil menggeleng.

"Jangan pernah berkata seperti itu Rain. Kau korban disini. Kau yang sangat menderita karena peristiwa itu. Semua bukan maumu, kau tak pantas mendapat hukuman atas hal itu. Cintaku tulus Rain, aku akan menerima bagaimanapun keadaanmu."

Rain memejamkan matanya mendengar ucapan Gaza. Rasa bersalahnya naik berlipat ganda karena telah membohongi orang sebaik dan setulus Gaza.

"Tapi kenapa waktu itu kau bilang ayahmu membunuh rentenir yang hampir memperkosamu. Kau tak bilang telah diperkosa waktu itu." Gaza masih ingat jelas bagaimana Rain menangis ditelepon sambil menceritakan tentang musibah yang menimpanya.

"Maaf Ga, aku gak sanggup jujur waktu itu. Bahkan dalam persidangan, aku dan ayah sepakat menutupi hal itu. Ayah tak mau aku direndahkan karena peristiwa itu." Lagi lagi, Rain menyusun kebohongan demi menutupi aibnya.

"Aku tulus mencintaimu Rain. Bagaimanapun kondisimu, aku akan menerimamu. Jangan pernah mengingat kejadian itu lagi. Lagi pula pria itu sudah meninggal. Dia sudah mendapatkan hukuman yang setimpal." Gaza memeluk Rain dengan tulus.

Maaf Ga, sekali lagi maaf karena telah membohongimu. Aku tak seharusnya memfitnah pria yang sudah meninggal. Maaf kan hambamu ini Tuhan, Rain terpaksa. Guman Rain dalam hati.