(Warisan Mutiara Hitam Season 3)
Gerbang dimensi di atas Pulau Tulang Naga telah terbuka, menyingkap "Dunia Terbalik" peninggalan ahli Ranah Transformasi Dewa. Langit menjadi lautan, dan istana emas menjuntai dari angkasa.
Chen Kai, kini menyamar sebagai "Tuan Muda Ye" yang arogan. Berbekal Fragmen Mutiara Hitam, ia memiliki keunggulan mutlak di medan yang melanggar hukum fisika ini. Namun, ia tidak sendirian.
Aliansi Dagang Laut Selatan, Sekte Hiu Besi, dan seorang monster tua Ranah Jiwa Baru Lahir memburu Inti Makam demi keabadian. Di tengah serangan Penjaga Makam dan intrik mematikan, Chen Kai harus memainkan catur berdarah: mempertahankan identitas palsunya, menaklukkan "Istana Terbalik", dan mengungkap asal-usul Mutiara Hitam sebelum para dewa yang tidur terbangun.
Ini bukan lagi perburuan harta. Ini adalah perang penaklukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Labirin Ungu dan Ilusi Jiwa
Dua pilar tengkorak naga itu menjulang setinggi lima puluh meter, permukaannya ditumbuhi lumut hitam yang berdenyut seolah bernapas. Di antara kedua pilar itu, kabut ungu berputar-putar seperti dinding air yang tenang namun mematikan.
"Ini dia," gumam Zhuge Ming, memeriksa kompas spiritualnya yang jarumnya kini berputar liar tanpa arah. "Batas antara dunia manusia dan neraka jiwa. Begitu kita melangkah masuk, indra arah kita akan hilang total."
Chen Kai mengeluarkan sebuah botol giok dari cincin penyimpanannya. Ini adalah Pil Pemurni Hati yang ia racik khusus sebelum berangkat, menggunakan resep yang dimodifikasi dari pengetahuan Kaisar Yao.
"Telan ini," perintah Chen Kai, membagikan pil itu kepada Putri Lan, Gui, Zhuge Ming, dan dua pengawal kembar. "Pil ini akan memberikan lapisan pelindung pada lautan kesadaran kalian selama enam jam. Jangan sampai efeknya habis di dalam sana."
Putri Lan menelan pil itu tanpa ragu. Rasa dingin menyebar di kepalanya, menjernihkan pikirannya. "Kau benar-benar siap untuk segalanya, Grandmaster Ye."
"Kesiapan adalah setengah dari kemenangan," jawab Chen Kai. Ia menatap kabut itu. Mutiara Hitam di dalam tubuhnya berdengung pelan, seolah memperingatkan adanya bahaya purba.
"Ayo. Jangan menyebar lebih dari tiga meter."
Mereka melangkah masuk.
Seketika, dunia berubah.
Suara angin, kicauan burung, dan deru ombak di kejauhan lenyap. Digantikan oleh keheningan yang menekan telinga. Kabut ungu itu begitu pekat hingga mereka hampir tidak bisa melihat kaki mereka sendiri. Visibilitas turun menjadi nol.
"Gui, laporkan," bisik Chen Kai.
"Tidak ada tanda kehidupan, Tuan," suara Gui terdengar tegang dari sisi kiri. "Tapi... saya merasa ada ribuan mata yang menatap kita."
Mereka berjalan selama satu jam. Tidak ada serangan. Hanya keheningan dan kabut yang semakin tebal.
Namun, perlahan-lahan, kabut itu mulai berubah.
Di mata Putri Lan, kabut ungu itu mulai membentuk siluet-siluet wajah. Wajah ayahnya, wajah Tetua Besi, dan wajah-wajah tetua sekte yang selalu menuntut kesempurnaan darinya.
"Kau tidak cukup baik, Lan..." bisikan halus terdengar di telinganya. "Kau hanya alat politik..."
"Diam!" Putri Lan mengibaskan pedangnya ke udara kosong.
"Putri?" suara Mei, pengawalnya, terdengar cemas.
Tapi di mata Putri Lan, Mei tidak ada di sana. Yang ada hanyalah bayangan dirinya sendiri yang gagal, tergeletak mati dengan pedang menancap di dada.
Sementara itu, Gui juga mulai gemetar. Dia melihat bayangan ular-ular raksasa melingkar di kakinya—mimpi buruk masa kecilnya di lubang ular.
"Mereka... mereka kembali..." desis Gui, cakarnya keluar tanpa sadar, siap menyerang apa saja.
"Berhenti!" suara Chen Kai meledak seperti guntur, diperkuat dengan Qi Naga.
BOOOOM!
Teriakan itu mengandung gelombang kejut mental yang menghancurkan ilusi halus di sekitar mereka.
Putri Lan tersentak sadar. Keringat dingin membasahi punggungnya. Dia melihat pedangnya hanya berjarak satu inci dari leher Mei, pengawalnya sendiri.
"Aku... apa yang kulakukan?" Putri Lan menurunkan pedangnya dengan tangan gemetar.
"Kabut ini hidup," kata Chen Kai, matanya bersinar keemasan. "Ini bukan sekadar racun. Ini adalah kumpulan sisa-sisa jiwa jutaan makhluk yang mati di sini. Mereka mencoba merasuki kita melalui celah emosi."
"Zhuge, formasi!"
Zhuge Ming, yang untungnya memiliki mental paling stabil berkat fokus logikanya, segera melempar empat bendera formasi ke tanah.
"Formasi Penjaga Pikiran: Benteng Segi Empat!"
Kubah cahaya tipis menyelimuti mereka, menahan kabut ungu agar tidak menyentuh kulit secara langsung.
"Terima kasih, Tuan," kata Putri Lan, mengatur napasnya. "Aku... lengah."
"Simpan penyesalanmu," kata Chen Kai tajam. "Lihat ke depan."
Di depan mereka, kabut terbelah.
Bukan karena angin, tapi karena sesuatu yang besar sedang bergerak mendekat.
Suara langkah kaki berat terdengar. DUM... DUM... DUM...
Dari dalam kabut, muncul sesosok makhluk setinggi lima meter. Bentuknya seperti serigala, tapi bulunya terbuat dari jarum kristal ungu, dan di punggungnya tumbuh wajah-wajah manusia yang menjerit.
Binatang Mutan: Serigala Penelan Jiwa. Tingkat: Setara Jiwa Baru Lahir Awal.
"Cantik sekali," sindir Chen Kai. "Dia pasti sudah memakan banyak kultivator."
Serigala itu mengaum. Aumannya bukan suara, tapi gelombang psionik yang membuat kepala mereka sakit.
ROAAARRR!
Dua pengawal kembar Putri Lan langsung mimisan dan jatuh berlutut. Zhuge Ming memegangi kepalanya, berteriak kesakitan.
Hanya Chen Kai, Putri Lan, dan Gui yang masih berdiri, meskipun wajah mereka pucat.
"Fisiknya kebal terhadap serangan biasa!" teriak Putri Lan, melihat tebasan gelombang es-nya hanya memantul dari bulu kristal serigala itu.
"Gunakan serangan jiwa atau elemen murni!" perintah Chen Kai.
Serigala itu menerjang ke arah Putri Lan. Cakar kristalnya yang tajam siap merobek tubuh sang putri.
Putri Lan melompat ke samping, tapi serigala itu membelokkan arahnya di udara dengan tidak wajar—memanipulasi gravitasi lokal.
Serigala itu membuka mulutnya, bersiap menelan kepala Putri Lan.
WUSH!
Chen Kai muncul di atas kepala serigala itu menggunakan Langkah Hampa.
"Kau lapar?" Chen Kai menempelkan telapak tangannya ke dahi serigala itu. "Makan ini."
"Hukum Waktu: Pelapukan Cepat."
Chen Kai tidak menyerang jiwanya. Dia menyerang fisik mutannya.
Energi kelabu menyebar dari telapak tangan Chen Kai. Bulu-bulu kristal ungu yang indah itu tiba-tiba menjadi kusam, retak, dan rontok. Kulit serigala itu keriput dalam hitungan detik.
"GRAAAH?!" Serigala itu menjerit bingung. Tubuhnya yang perkasa tiba-tiba menjadi tua dan lemah. Kecepatannya menurun drastis.
"Sekarang, Putri!" teriak Chen Kai.
Putri Lan tidak menyia-nyiakan kesempatan. Pedang gioknya bersinar terang.
"Seni Pedang Awan: Tusukan Jantung Teratai!"
Putri Lan menusukkan pedangnya tepat ke dada serigala yang sudah melemah itu.
CRASH!
Pedang itu menembus tulang rusuk yang rapuh dan menghancurkan jantungnya.
Serigala itu kejang-kejang sebentar, lalu ambruk menjadi tumpukan debu ungu.
Hening kembali.
"Kerja bagus," kata Chen Kai, mendarat di tanah. Napasnya sedikit memburu. Menggunakan Pelapukan pada makhluk selevel Jiwa Baru Lahir selalu menguras banyak tenaga.
Putri Lan menatap tumpukan debu itu, lalu menatap Chen Kai dengan pandangan baru.
"Teknik itu..." Putri Lan bergumam. "Kau membuat monster itu menua ratusan tahun dalam satu detik. Itu... itu bukan Alkimia. Itu Dao Waktu."
"Setiap Alkemis punya rahasia," jawab Chen Kai mengelak. "Anggap saja itu resep rahasia keluarga."
Dia berjalan memungut Inti Kristal Ungu dari sisa mayat serigala itu. Inti itu memancarkan energi jiwa yang sangat murni.
"Ini berguna," kata Chen Kai, melemparkannya ke Zhuge Ming. "Gunakan ini untuk memperkuat formasi pelindung kita. Dengan inti ini, kabut tidak akan berani mendekat."
Zhuge Ming menangkapnya dengan sigap. "Siap, Tuan! Dengan ini, kita bisa bergerak lebih cepat."
"Bagus. Karena menurut peta..." Chen Kai membuka gulungan peta kuno yang diberikan Patriark. "...kita baru saja melewati pintu depan. Sarang Bunga Teratai ada di 'Zona Terdalam', di mana waktu dan ruang tidak lagi linear."
Mereka melanjutkan perjalanan. Namun kali ini, Putri Lan berjalan lebih dekat ke arah Chen Kai. Bukan karena takut, tapi karena rasa hormat dan rasa ingin tahu yang semakin dalam terhadap pria misterius bernama Ye Chen ini.
Di balik kabut, ribuan pasang mata merah lainnya mulai terbuka. Serigala tadi hanyalah penjaga pintu. Tuan rumah yang sebenarnya belum muncul.
Chen Ling