Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melangkah ke Depan
Rian menutup teleponnya setelah sambungan dengan sang ibu berakhir. Bu Sri menghubunginya, menanyakan kabar sang putra yang sedang memperjuangkan cintanya. Rian menatap layar ponselnya sesaat, lalu menghembuskan napas panjang. Ada rasa hangat di dadanya setelah mendengar suara sang ibu, namun juga kegugupan yang kembali menyelinap.
Ia berniat kembali ke halaman belakang.
Namun baru beberapa langkah menyusuri bagian dalam rumah, Rian berhenti di tempatnya.
Di ruang makan yang luas dan tertata rapi, Fadi berdiri membelakanginya. Pria itu tampak sedang menuangkan minum ke dalam gelas, lalu berbalik dan tatapan mereka bertemu.
Rian refleks menegakkan tubuh.
“Mas Rian,” panggil Fadi singkat.
“I—iya, Om,” jawab Rian cepat, jantungnya langsung berdegup lebih kencang.
Fadi meletakkan gelas itu ke atas meja. “Ikut saya sebentar.”
Nada suaranya datar, hingga sulit ditebak. Tidak marah, tapi juga tidak ramah.
Rian menelan ludah. Dalam kepalanya, seribu kemungkinan buruk berkelebat. Namun ia tetap mengangguk.
“Iya, Om.”
Tanpa banyak bicara, Fadi melangkah lebih dulu. Rian mengikutinya dengan langkah hati-hati, perasaannya campur aduk antara gugup, takut, dan penasaran.
Mereka keluar melalui pintu samping rumah.
Begitu berada di luar, Rian refleks menghentikan langkahnya sejenak.
Halaman samping rumah itu… luas.
Lampu taman berjejer rapi, menerangi jalan setapak yang membelah hamparan rumput hijau. Di sisi kanan tampak kolam ikan kecil dengan gemericik air yang menenangkan, sementara di kejauhan terlihat gazebo kayu yang tertata apik.
Rian terdiam.
Baru kali ini ia benar-benar menyadari betapa besarnya rumah Opa Bara. Saat baru datang tadi, pikirannya terlalu dipenuhi rasa gugup dan malu, sampai lupa memperhatikan sekeliling.
“Rumah ini memang besar,” ucap Fadi tiba-tiba, seolah tahu apa yang ada di pikiran Rian. Ia berhenti melangkah dan menoleh.
“Sudah lama berdiri. Banyak cerita di dalamnya.”
Rian mengangguk pelan. “Iya, Om… kelihatan sekali.”
Fadi menatap Rian beberapa detik lebih lama, lalu kembali melangkah menuju gazebo.
“Tenang saja,” ucapnya singkat. “Saya cuma mau bicara.”
Kalimat itu tidak serta-merta membuat Rian tenang. Justru jantungnya kembali berdetak semakin kencang.
Namun Rian tetap mengikuti langkah pria itu menuju gazebo. Ia ikut naik ke atas, dan duduk di hadapan pria paruh baya itu. Malam ini, ia tidak bisa lagi lari. Apa pun yang akan dibicarakan Fadi, ia harus siap menghadapinya.
“Apa yang kamu suka dari putriku?” tanya Fadi setelah hening beberapa saat.
Suara itu tidak tinggi, tidak juga mengintimidasi. Justru ketenangannya membuat Rian semakin gugup. Pria itu menelan ludah, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
“Jujur… ketika pertama kali bertemu, saya tertarik dengan rupanya. Namun setelah berkenalan dan berbincang, saya jadi tahu kalau Jelita… wanita yang tenang, Om,” ucap Rian pelan namun mantap. “Tegas, tahu apa yang dia mau, dan tidak mudah goyah. Entah kenapa, sikap itu justru membuatnya terlihat semakin cantik.”
Rian sempat berhenti sejenak, menata keberaniannya.
“Dia juga pintar. Cara bicaranya, cara berpikirnya… selalu terasa terukur.” Rian tersenyum kecil, nyaris tak sadar. “Mungkin di luar sana banyak perempuan yang lebih cantik secara rupa. Tapi hati saya… memilih Jelita.”
Fadi tidak langsung menjawab. Tatapannya lurus ke depan, seolah sedang menimbang setiap kata yang baru saja ia dengar. Keheningan kembali turun, membuat Rian semakin merasa kecil.
“Sudahkah kamu bicara langsung dengannya?” tanya Fadi akhirnya.
Rian mengangguk pelan. “Belum sejauh itu, Om. Tapi saya… saya ingin.”
Fadi menoleh, menatap Rian lebih tajam kali ini. “Ingin apa?”
Rian menegakkan punggungnya, menatap balik dengan keberanian yang dipaksakan.
“Saya ingin mendapatkan izin,” ucapnya jujur. “Jika kelak diberi kesempatan… saya ingin menikahi Jelita, Pak.”
Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa sempat ditarik kembali.
Fadi terdiam.
Cukup lama.
Rian bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Kepalanya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan seperti ditolak, dimarahi, diusir. Namun Fadi tetap diam, wajahnya sulit dibaca.
Akhirnya, pria itu menghela napas panjang.
“Kalau kamu memang serius,” ucap Fadi perlahan, “kamu harus tahu satu hal tentang Jelita sebelum melanjutkannya.”
Rian menegang.
“Satu hal ini,” lanjut Fadi, suaranya tetap tenang namun berat, “mungkin saja akan membuatmu berpikir ulang. Bahkan… berubah pikiran.”
Tatapan Fadi kembali lurus ke depan, sementara Rian membeku di tempatnya.
Ia tidak tahu apa yang akan ia dengar setelah ini. Terdengar begitu serius, apalagi melihat ekspresi Fadi saat ini.
*
*
*
“Nggak tidur, Mas?” tanya Aldi yang masih melihat Rian masih berdiri di depan jendela.
Malam itu mereka tidak pulang ke kontrakan Aldi, melainkan tidur di rumah Opa Bara. Pria itu memaksa mereka berdua untuk menginap, sehingga kedua pria ini tidak bisa menolak. Belum lagi Aldi juga telah mengatakan jika dirinya telah mengambil cuti selama Rian berada di sini.
Kembali ke Rian, pria itu masih terus berdiri disana. Tidak beranjak sedikitpun walau Aldi telah menegurnya. Aldi yang bingung dan khawatir akhirnya turun dari ranjang dan menghampiri Rian.
“Mikirin apaan lagi, Mas? Bukannya semua udah beres? Om Fadi udah kasih restu, ‘kan?” tanyanya.
Rian menghela napasnya pelan. “Om Fadi belum ada ngomong tentang itu. Cuma…”
“Cuma apa?” tanya Aldi lagi.
Rian kembali diam, seperti tengah berpikir keras yang entah apa itu. Aldi hanya bisa menunggu, tidak memaksa.
“Di—” panggilnya setelah diam beberapa saat.
“Kalau perempuan yang kamu cintai… ternyata punya masa lalu yang kurang baik, apa akan kamu lakukan?”
Aldi mengernyitkan dahinya. “Masa lalu sudah tidak penting lagi, Mas. Yang penting saat ini tentang masa depan. Kita kalau berjalan sambil melihat ke belakang, yang ada langkah kita akan terus tersendat. Entah itu kita tersandung batu, atau bahkan kaki kita sendiri. Tapi…kalau kita hanya fokus ke depan…”
“Kenapa?” tanya Rian yang penasaran dengan kelanjutan ucapan Aldi.
Aldi menyeringai tipis. Ia mengangkat telunjuknya, seolah sedang memberi wejangan penting.
“…kalau kita hanya fokus ke depan,” lanjutnya santai, “yang ada kita bisa nabrak tiang listrik, Mas.”
Rian terdiam sepersekian detik.
“…Hah?”
“Serius,” Aldi mengangguk mantap. “Karena terlalu fokus ke masa depan, saking optimisnya, mata nggak ngeh ada tiang di depan. BRAK! Masa depan belum kejadian, kepala udah benjol duluan.”
Rian mendengus, menoleh malas. “Aku kira kamu mau ngomong bijak.”
“Bijak juga itu, Mas,” bela Aldi. “Intinya hidup itu jangan lebay. Jangan terus nengok ke belakang, tapi jangan juga sok visioner sampai lupa lihat sekitar.”
Rian menghela napas panjang, kali ini disertai senyum kecil. “Mulut kamu emang nggak pernah bisa serius lama-lama.”
Aldi tertawa. “Kalau serius terus, hidup Mas makin tegang. Ini aja sudah tegang—” ia melirik ke arah Rian penuh makna, “—takut calon mertua.”
“Di…” Rian memperingatkan.
*****
Belum apa-apa udah ada foto pre-wed aja 🤭
Jelita begitu disayangi oleh keluarga Bunga.
Gak sabar menunggu hari pernikahan Jelita dan Rian
Bahagia banget pak lurah😄
dramatisasi si fadi dan mama bunga cuma bisa tepok jidat....🤣🤣🤣🤣