Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HADIAH DIVISI LOGISTIK
Waktu: 22.10 WIB.
Lokasi: Gerbong Kargo, Kereta Taksaka Malam (Mendekati Yogyakarta).
Aditya mencoba duduk, tapi pinggangnya menolak bekerja sama. Fajar berlari menghampirinya, wajahnya pucat pasi seperti orang yang baru melihat mayat bangkit dari kubur.
"Dit! Lo masih idup?!" Fajar mengguncang bahu Aditya panik.
"Jangan diguncang, Bodoh. Nanti rontok semua tulang gue," rintih Aditya. Dia menerima uluran tangan Fajar dan duduk bersandar pada peti kayu hitam yang selamat dari kekacauan pertarungan tadi.
Fajar melihat sekeliling. Gerbong itu hancur lebur. Dinding baja penyok, lantainya berlubang kena asam, dan tumpukan paket berserakan.
"Itu tadi... apa?" tanya Fajar, suaranya bergetar hebat. "Gue pernah liputan penggusuran kuburan, tapi gue belum pernah liat yang kayak gitu. Itu bukan hantu pocong atau kunti biasa, kan?"
Aditya mengambil napas panjang, mengatur detak jantungnya yang masih memburu.
"Itu Hantu Terikat (Bound Spirit)," jelas Aditya sambil menunjuk sisa debu hitam yang mulai menghilang ditiup angin. "Di dunia mistis, ada hierarki, Jar. Hantu liar kayak Kunti di pohon mangga itu cuma hama. Tapi makhluk seperti Joko... dia itu 'Aset'."
"Aset?"
"Bayangga tidak main klenik kampungan. Mereka merekrut roh-roh penasaran yang punya obsesi kuat semasa hidup—seperti penagih utang, pembunuh bayaran, atau tentara desersi," lanjut Aditya dingin. "Mereka mengikat roh itu dengan kontrak gaib, memberi mereka kekuatan tambahan, dan menjadikan mereka pegawai tetap."
Aditya menatap debu itu dengan tatapan sinis.
"Bagi Bayangga, hantu dan manusia itu sama saja. Cuma alat produksi. Kalau rusak, tinggal dibuang. Joko cuma salah satu pegawai outsourcing mereka yang tidak dapat pesangon."
Fajar merinding. Dia mulai menyadari skala dunia yang dimasuki sahabatnya ini. "Gila. Dunia lo... dark banget, Dit. Terus Bayangga itu sebenernya siapa? Sekte sesat?"
Aditya tertawa hampa. "Sekte? Itu terlalu kecil, Jar. Bayangga itu Sistem."
Aditya menunjuk peti hitam di sebelahnya.
"Mereka bukan orang-orang berjubah hitam yang ketawa di gua. Mereka pake jas Armani, duduk di Senayan, dan punya saham mayoritas di media tempat lo kerja dulu. Mereka nggak menyembah setan, Fajar. Mereka mempekerjakan setan. Mereka menggabungkan birokrasi modern dengan ilmu hitam kuno."
Aditya menatap Fajar tajam.
"Mereka punya Divisi Logistik untuk mindahin artefak, Divisi Humas untuk nutupin berita monster, dan Divisi Riset untuk nyari cara membangkitkan kerajaan lama. Tujuan mereka bukan kiamat. Tujuan mereka Monopoli. Monopoli atas masa lalu, supaya mereka bisa menguasai masa depan."
Fajar terdiam, mencerna informasi itu. Musuhnya bukan hantu. Musuhnya adalah oligarki yang memakai hantu.
"Cukup kuliahnya," Aditya memaksakan diri berdiri tertatih, berbalik menghadap peti kayu hitam itu. "Saatnya melihat apa yang membuat kita hampir mati malam ini."
Dia mematahkan gembok peti itu dengan sisa tenaga.
Fajar mengangkat kameranya, siap mendokumentasikan artefak legendaris "Topeng Batara Kala" yang diceritakan Adit.
Aditya membuka tutup peti.
Kreeek.
Mereka berdua menjenguk ke dalam.
Dan seketika, waktu seolah berhenti. Bukan karena sihir, tapi karena syok.
Di dalam peti itu, di atas bantalan sutra merah yang mewah... memang ada topeng.
Tapi bukan topeng kayu hitam kuno yang memancarkan aura magis.
Itu adalah topeng plastik murahan. Topeng mainan anak-anak bergambar Ultraman dengan cat merah-perak yang sedikit terkelupas di hidungnya. Jenis topeng yang dijual di pasar malam seharga lima belas ribu perak.
Di dahi Ultraman itu, tertempel secarik sticky note kuning cerah dengan tulisan tangan yang rapi dan mengejek:
"Terima kasih atas pengawalannya, Senja Garda. Kereta ini pengalih perhatian yang bagus. Kargo asli sudah tiba di Yogyakarta via jalur udara satu jam yang lalu. Nikmati liburanmu di kota gudeg.
Salam hangat, Divisi Logistik Bayangga."
Darah Aditya mendidih. Wajahnya yang pucat berubah merah padam. Tangannya gemetar memegang pinggiran peti.
"Bangsat," bisiknya.
Fajar menurunkan kameranya perlahan, bingung. "Dit... itu Ultraman."
"Gue liat," suara Aditya datar, tapi mengerikan.
"Jadi... kita barusan matahin tulang, ngancurin gerbong, dan hampir mati lawan monster kertas... demi mainan plastik?"
"Ya."
Aditya mengambil topeng Ultraman itu. Plastik murahan itu terasa ringan dan mengejek di tangannya. Dia meremasnya hingga hancur berkeping-keping.
"ARGHHH!" Aditya berteriak frustrasi, menendang peti kayu itu hingga terbalik. Isinya berhamburan. "Mereka mempermainkanku! Mereka tahu aku akan melacak jejak di museum! Mereka sengaja meninggalkan jejak itu untuk memancingku ke kereta ini!"
Aditya memijat pelipisnya. Rasa sakit fisiknya tidak sebanding dengan rasa sakit egonya.
Bayangga selangkah di depan. Mereka tahu cara kerja Adit. Mereka tahu Adit akan mengejar jejak mistis, jadi mereka memberi umpan mistis (Joko) untuk mengalihkan perhatian dari jalur logistik udara yang bersih.
"Investasi bodong," gumam Fajar sambil menggelengkan kepala. "Lo kena prank supranatural level dewa, Dit."
Tiba-tiba, suara pengumuman samar terdengar dari speaker gerbong yang kresek-kresek.
"Sesaat lagi kita akan tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Periksa kembali barang bawaan Anda..."
Aditya menoleh ke Fajar. Wajah marahnya berubah menjadi fokus taktis. Amarah tidak akan menyelamatkan nyawa mereka sekarang.
"Kita harus turun sekarang."
"Hah? Kan emang udah sampe," kata Fajar bingung. "Kita turun di stasiun, lapor polisi, terus cari hotel. Gue butuh pijet."
"Nggak bisa," potong Aditya cepat. "Kalau Bayangga tahu aku di kereta ini—dan mereka pasti tahu dari Joko sebelum dia mati—berarti mereka sudah menyiapkan 'Komite Penyambutan' yang lebih meriah di peron Stasiun Tugu."
"Komite penyambutan?"
"Polisi bayaran yang akan menangkap kita atas tuduhan perusakan gerbong, atau preman yang akan menusuk kita di keramaian. Stasiun itu zona bunuh diri."
Aditya berjalan pincang ke pintu kargo yang masih terbuka lebar. Angin berhembus kencang, mengibarkan rambutnya.
Di bawah sana, kegelapan. Kereta sedang melambat saat melintasi jembatan besi yang tinggi di atas sungai yang mengalir deras. Kali Code.
"Kita lompat di sini," putus Aditya.
"LO GILA?!" teriak Fajar, mundur menjauh dari pintu. Dia melihat ke bawah. "Itu jembatan! Tinggi banget! Di bawahnya sungai berbatu! Kita bakal mati!"
"Airnya cukup dalam kalau lo jatuhnya bener. Gue pernah baca laporan hidrologinya," bohong Aditya (dia cuma menebak demi menenangkan Fajar, tapi dia tahu armornya bisa meredam benturan). "Ini satu-satunya jalan keluar yang tidak dijaga."
"Gue bawa kamera mahal, Dit! Dan lo lagi luka parah! Tulang lo retak!"
"Pilih kamera atau nyawa?" Aditya mencengkeram kerah jaket Fajar. Matanya menatap tajam. "Di stasiun sana ada orang-orang Bayangga yang bawa pistol, Jar. Dan kali ini gue udah kehabisan tenaga buat ngelindungin lo. Percaya sama gue."
Fajar menelan ludah. Dia melihat ke bawah, ke sungai yang gelap. Lalu melihat wajah Aditya yang serius dan babak belur.
Fajar menarik napas panjang. "Oke. Gue percaya sama lo. Tapi kalau gue mati, gue bakal gentayangan di rumah lo tiap malem."
Aditya tersenyum miring. "Deal."
"Satu," hitung Aditya.
"Tunggu! Gue belum update status perpisahan!"
"Dua."
"Gue benci lo, Adit! Gue benci orang kaya dan hobi ekstrim mereka!"
"Tiga!"
Aditya menarik Fajar, dan mereka berdua melompat keluar dari gerbong kargo ke udara kosong.
Dua tubuh melayang jatuh dari kereta api yang sedang berjalan, terjun bebas menuju kegelapan sungai di bawah jembatan Kewek.
Misi penyelamatan gagal total. Topeng hilang. Badan remuk. Harga diri hancur.
Tapi setidaknya, mereka masih hidup untuk membalas dendam di hari esok.
👉👉👉
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit