CEO dingin Ardan Hidayat harus bertunangan dalam tiga bulan demi warisan. Ia memilih Risa Dewi, gadis keras kepala yang baru saja menghancurkan kuenya, untuk kontrak pertunangan palsu tanpa cinta. Tapi saat mereka hidup bersama, rahasia keluarga Risa sebagai Pewaris Tersembunyi keluarga rival mulai terkuak. Bisakah kepura-puraan mereka menjadi kenyataan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ᴛʜᴇ ꜱᴀᴅɪᴇ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan di Altar dan Kekalahan Bima
Hari pernikahan. Langit Jakarta cerah, tetapi suasana di ballroom hotel mewah tempat upacara dilangsungkan terasa tegang. Semuanya sempurna: bunga-bunga putih di mana-mana, para tamu—termasuk anggota dewan direksi, dan tentu saja, Bima—berkumpul dengan pakaian terbaik mereka.
Risa, dalam gaun putihnya yang elegan, terlihat mempesona. Namun, di balik senyumnya yang anggun, jantungnya berdebar kencang, mempersiapkan diri untuk pertempuran yang akan datang. Di ruang tunggu, Ardan masuk, tampak gagah dalam tuksedo hitamnya.
"Kau ingat rencananya?" bisik Ardan, tangannya menggenggam tangan Risa.
"Ungkapkan kebenaran sebelum dia bisa memutarbalikkannya. Gunakan panti jompo itu untuk membuktikan kejujuran dan cinta Anda," Risa mengulang, tatapannya tegas.
"Dan Risa," Ardan menatap matanya, tidak ada lagi kontrak di tatapan itu, hanya kehangatan murni. "Kau tidak hanya berakting lagi. Aku ingin kau jujur. Aku ingin kau menjadi dirimu sendiri."
Risa mengangguk, air matanya terasa mendesak. "Aku akan melakukannya."
Musik mulai dimainkan. Risa berjalan di sepanjang karpet merah, langkahnya mantap. Ia hanya menatap Ardan yang menunggunya di altar. Ardan tampak berwibawa dan penuh emosi, jauh dari CEO yang dingin.
Upacara pernikahan berjalan dengan lancar hingga tiba pada bagian mengucapkan janji suci. Tepat ketika Ardan hendak memulai sumpahnya, Bima bangkit dari kursinya di barisan depan.
"Tunggu!" teriak Bima, suaranya bergema di seluruh ruangan yang sunyi. Para tamu terkejut.
Bima maju beberapa langkah, wajahnya dipenuhi amarah dan keputusasaan. "Upacara ini tidak bisa dilanjutkan! Pernikahan ini palsu, didasarkan pada penipuan! Saya punya bukti bahwa Ardan Hidayat telah menggelapkan dana perusahaan untuk keuntungan pribadinya, tepat sebelum kesepakatan Taiwan!"
Suasana di ruangan itu berubah menjadi histeris. Bisikan ketakutan menyebar di kalangan anggota dewan. Bima meraih mikrofon dari pendeta.
"Ardan Hidayat, jelaskan kepada para tamu terhormat ini mengapa kau diam-diam mentransfer dana tunai dalam jumlah besar ke akun rahasia untuk membeli sebidang tanah terpencil! Itu bukan properti perusahaan! Ini adalah penggelapan yang dilakukan untuk menenangkan tunanganmu!" Bima menuduh, suaranya lantang dan berapi-api.
Ardan tetap tenang, tetapi tangannya menggenggam tangan Risa dengan erat. Ini adalah serangan yang mereka duga.
Ardan maju ke mikrofon lain. Ia menatap Bima, lalu menatap kerumunan, dan akhirnya, ia menatap Risa.
"Terima kasih, Bima, karena telah menunjukkan seberapa putus asanya kau untuk mencoba merebut perusahaanku," kata Ardan, suaranya tenang dan penuh otoritas. "Pengeluaran dana tunai itu memang nyata. Pembelian tanah itu memang rahasia. Tapi itu bukan penggelapan, Bima. Itu adalah hadiah pertunangan."
Para tamu terdiam. Anggota dewan terlihat bingung.
Ardan mengalihkan pandangannya sepenuhnya ke Risa. Air mata menggenang di mata Ardan, bukan karena kesedihan, tetapi karena tekad yang tulus.
"Risa menolak berlian. Dia menolak kekuasaan. Dia menolak warisan Pak Jaya. Dia hanya ingin bukti bahwa aku tulus," kata Ardan, suaranya melembut, dipenuhi emosi yang belum pernah ia tunjukkan di depan umum.
"Tanah yang saya beli secara rahasia," lanjut Ardan, "adalah untuk membangun sebuah panti jompo dan pusat perawatan yang akan dinamai menurut nama Nenek Risa, Panti Jompo Wulan Hidayat."
Ardan menoleh ke kerumunan dan kemudian ke Bima. "Aku menyembunyikannya dari dewan karena aku tidak ingin ada yang menuduhku 'membeli' cinta Risa. Tapi sekarang, Bima telah memaksaku untuk mengungkap kebenaran. Ini adalah dana pribadiku, Bima, dan ini adalah bukti cintaku, bukan penggelapan."
Ardan meraih tangan Risa. "Risa Dewi, kau menolak kekuasaan dari kakekmu dan memilih masa depan yang tidak pasti bersamaku. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik daripada sandiwara. Aku mungkin tidak tahu bagaimana cara mencintai, tetapi aku tahu aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku mencintaimu, Risa. Bukan karena kontrak, bukan karena perusahaan. Tapi karena kau adalah satu-satunya yang membuatku menjadi diriku yang sebenarnya."
Risa, yang terpukau oleh pengakuan emosional yang tulus dan berani itu, menangis. Ini adalah pengakuan nyata yang ia impikan.
"Aku mencintaimu, Ardan," jawab Risa, suaranya serak karena air mata bahagia. "Dan aku tidak pernah menginginkan berlian. Aku hanya menginginkanmu."
Bima, melihat skandalnya berubah menjadi kisah cinta yang paling romantis, terlihat hancur. Sorotan lampu, yang seharusnya menghancurkan Ardan, malah menguatkan citra dirinya sebagai pahlawan romantis yang berkorban.
Tuan Susilo, Direktur Utama, tersenyum lebar. Ia bertepuk tangan, dan segera seluruh ballroom mengikuti, memberikan tepuk tangan meriah.
Bima menyadari kekalahannya total. Ia didorong ke belakang oleh keamanan hotel. Ia mencoba berteriak lagi, tetapi suaranya hilang ditelan tepuk tangan.
Di tengah tepuk tangan meriah dan air mata Risa, pendeta menyelesaikan upacara.
"Dengan kuasa yang diberikan kepadaku, aku nyatakan kalian sebagai suami istri. Tuan dan Nyonya Ardan Hidayat. Anda boleh mencium pengantin wanita."
Ardan mengangkat kerudung Risa. Ia tidak menciumnya dengan gairah, tetapi dengan kelembutan yang dalam, sebuah janji bahwa kontrak telah berakhir, dan kehidupan nyata mereka baru saja dimulai.