Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelatihan Manajemen Asap
Han Qiu dan Li membeku. Udara di sekitar mereka masih pekat dengan asap sisa yang harum sekaligus menyesakkan. Dalam kepanikan, Han Qiu menyambar kain basah yang tergeletak di dekat pintu dan dengan gerakan cepat, ia membantingnya ke atas bara arang yang masih menyala, berharap bisa memadamkan api dan menekan asap. Tsssss! Suara desisan uap panas yang bercampur dengan asap tebal meledak, membuat gudang itu semakin gelap dan tidak terlihat.
"Ti-tidak ada siapa-siapa, Tuan Penjaga!" Li tergagap, suaranya tercekat oleh batuk dan ketakutan. Ia buru-buru menarik Han Qiu lebih dalam ke dalam kabut asap, bersembunyi di balik tumpukan karung arang. Aroma daging terbakar bercampur dengan bau debu, uap, dan bau arang basah yang pahit. Mata mereka perih, paru-paru mereka terasa terbakar.
Seorang penjaga bertubuh besar melangkah masuk, obornya menyala redup, menembus sebagian kabut. Ia mengendus-endus udara dengan curiga.
"Bau apa ini? Seperti… seperti ada yang membakar sampah daging!" Ia melangkah maju, obornya menyapu setiap sudut.
Jantung Han Qiu berdebar kencang, nyaris meledak. Ia bisa merasakan panas bara yang baru saja ia padamkan masih memancar di dekat mereka.
Li, dengan suara yang dibuat seolah-olah sedang sangat kesakitan, terbatuk-batuk keras.
"Uhuk! Uhuk! Maaf, Tuan Penjaga! Saya… saya tidak enak badan. Mungkin itu bau keringat saya yang... uhuk... busuk? Saya sering muntah belakangan ini. Mungkin karena saya belum makan selama dua hari!" Ia mengarang cerita dengan panik, berharap bau busuk rekaannya bisa menutupi bau sate yang samar.
Penjaga itu, jelas jijik, mengibaskan tangannya di depan hidung.
"Cukup! Cukup! Pergi kau dari sini! Jangan sampai aku melihatmu lagi. Baumu lebih menjijikkan daripada bangkai tikus!" Ia berbalik dengan cepat, langkah kakinya terdengar tergesa-gesa saat menjauh dari gudang yang pengap.
Pintu gudang kembali tertutup dengan suara gedebuk pelan, menjerumuskan mereka kembali ke dalam kegelapan dan keheningan yang menyesakkan.
Han Qiu dan Li menunggu dalam kegelapan selama beberapa menit, memastikan penjaga itu benar-benar pergi. Hanya suara napas mereka yang terengah-engah dan batuk-batuk kecil yang memecah keheningan. Kemudian, dengan hati-hati, Han Qiu menyalakan kembali api kecil di sumbunya. Cahaya redup itu menerangi wajah Li yang pucat pasi dan legam oleh jelaga.
"Kita… kita hampir mati," bisik Li, suaranya bergetar. Ia terjatuh di lantai, bersandar pada tumpukan karung arang yang dingin.
"Hampir mati karena asap, atau mati karena dipancung. Aku… aku tidak mau lagi, Xiao Lu. Ini terlalu berbahaya. Kaisar… Kaisar bisa bertahan hidup tanpa sate. Aku tidak bisa mati konyol begini."
Han Qiu juga terbatuk-batuk, paru-parunya masih terasa sakit. Ia menyeka jelaga dari matanya, berusaha menenangkan napasnya.
"Aku tahu, Li. Aku tahu. Rasanya seperti… seperti racun yang membakar dari dalam." Kata-kata "racun" itu sendiri memicu ingatan mengerikan dari kehidupan masa lalunya, dan panas yang merenggut nyawanya. Tapi kali ini, ia adalah dalang di balik racun itu, dan ia harus menghentikannya.
"Tapi kau lihat Kaisar, Li. Dia tidak bertahan hidup. Dia hanya ada. Dia seperti lilin yang akan padam, sedikit demi sedikit, setiap hari."
Li menggelengkan kepalanya, air mata mengalir di pipinya,
"Tapi kita tidak bisa melakukan ini. Aku tidak bisa. Setiap kali kita menyalakan api, itu seperti membunyikan lonceng kematian. Bau ini… asap ini… suatu hari nanti, Gao akan menciumnya. Atau lebih buruk, kita akan mati lemas di sini, dan tidak ada yang tahu. Apa gunanya semua ini jika kita mati sebelum Kaisar mencicipi makanan kita?"
Han Qiu mendekati Li, menepuk bahu temannya yang gemetar.
"Aku mengerti ketakutanmu, Li. Aku juga takut. Aku pernah merasakan racun. Aku tahu bagaimana rasanya ketika tubuhmu menyerah. Tapi justru karena itu, aku tidak bisa menyerah." Suaranya menjadi lebih kuat, lebih tegas.
"Kaisar adalah harapan. Dia adalah masa depan dinasti ini. Jika dia mati karena makanan hambar yang dipaksakan Gao, itu bukan hanya pembunuhan, itu adalah kekalahan dari sebuah ideologi busuk."
Ia menatap Li lurus-lurus, matanya berkilat di bawah cahaya redup.
"Kita sudah sampai sejauh ini, Li. Kita punya daging yang dimarinasi. Kita punya bumbu kacang terbaik di seluruh Dinasti Song. Kita punya tusuk sate. Kita punya arang. Kita hanya belum punya cara yang aman untuk memanggangnya. Dan kita akan menemukannya."
Li menatapnya, masih ragu.
"Bagaimana? Ventilasi ini tidak berguna. Asapnya terlalu banyak."
"Kita tidak bisa membuang asap, itu benar. Tapi kita bisa mengurangi jumlah asap, mengurangi waktu asap itu ada, dan menyerap baunya."
"Mengurangi asap?" Li mengerutkan kening.
"Bagaimana? Daging punya lemak. Lemak menetes. Itu yang membuat asap."
"Benar. Jadi, kita harus memanggangnya secepat mungkin," jelas Han Qiu, sebuah ide mulai terbentuk di benaknya.
"Panas tinggi, waktu singkat. Kalau arangnya sangat panas, daging akan matang lebih cepat. Semakin cepat matang, semakin sedikit lemak yang menetes, dan semakin sedikit waktu asap itu ada."
"Tapi bagaimana cara arang menjadi sangat panas dengan cepat?" tanya Li.
"Kita butuh kipas," kata Han Qiu.
"Kipas tangan yang besar. Untuk memompa udara, membuat bara semakin membara." Ia menunjuk ke sisa-sisa kain basah yang tadi ia gunakan untuk memadamkan api.
"Dan kita butuh lebih banyak ini. Kain basah. Untuk menyerap bau, untuk mengisolasi area, dan untuk memadamkan sisa bara."
"Mari kita coba lagi," kata Han Qiu keesokan malamnya, setelah mereka berhasil menyelinapkan sebuah kipas besar dari dapur dan menyiapkan segala sesuatunya.
"Kali ini, kita akan memanggang satu tusuk sate saja. Aku akan menyalakan arang, kau akan mengipasi. Begitu dagingnya matang, kita akan langsung memadamkan bara dengan pasir, lalu kita akan menggunakan kain basah untuk menyerap semua bau yang tersisa."
Li mengangguk tegang. Wajahnya masih pucat, tetapi ada sedikit gairah yang kembali di matanya. Ia tidak bisa menolak Han Qiu. Ada sesuatu dalam kegigihan temannya yang menular, semacam keyakinan yang tidak bisa dihancurkan.
Han Qiu menyalakan arang. Dengan kipas di tangan, Li mulai mengipasi dengan sekuat tenaga.
Wusshh… wusshh…
Bara arang yang tadinya merah redup, kini mulai memutih, memancarkan panas yang luar biasa. Suara gesekan arang dan gemerisik udara memenuhi ruangan.
Han Qiu meletakkan satu tusuk sate di atas panggangan. Tsssss! Suara mendesis itu lebih keras dari sebelumnya. Daging langsung mengkaramel, permukaannya berubah menjadi cokelat keemasan yang menggoda.
Lemak menetes, tetapi karena panas yang begitu intens, prosesnya lebih cepat. Asap membubung, tetapi tidak sebanyak sebelumnya.
"Cepat! Terus kipas!" perintah Han Qiu, membalik sate dengan cepat.
"Jangan sampai gosong!"
Li mengipasi seperti orang gila, lengan dan punggungnya mulai sakit. Keringat membanjiri wajahnya, bercampur dengan jelaga. Asap mulai memenuhi ruangan lagi, tetapi kali ini, seolah-olah mereka sudah lebih siap. Mereka tidak panik.
"Selesai!" seru Han Qiu setelah kurang dari tiga menit, menarik tusuk sate dari panggangan. Dagingnya tampak matang sempurna, dengan sedikit gosong di beberapa bagian yang justru menambah daya tarik.
"Sekarang, pasir!"
Li segera menyambar wadah berisi pasir dan menuangkannya ke atas bara. Fwoosh! Suara bara yang padam segera terdengar, diikuti oleh kepulan debu pasir. Asap berhenti total.
"Sekarang, kain basah!" Han Qiu menyambar kain-kain basah dari ember.
Mereka berdua mulai mengelap permukaan panggangan, dinding di sekitarnya, bahkan mengibas-ngibaskan kain di udara, berusaha menangkap setiap partikel bau yang masih melayang.
Mereka berhasil. Asap telah padam, dan bau yang tersisa jauh lebih tipis, lebih mudah disamarkan.
Namun, Li tetap batuk-batuk.
"Ini… ini masih terlalu berisiko, Xiao Lu. Tiga menit untuk satu sate. Kita butuh dua puluh tusuk. Itu berarti satu jam penuh asap. Dan kita hampir mati lagi!"
Han Qiu menatap tusuk sate yang sudah matang di tangannya. Aroma gurih dan manis dari daging yang terpanggang sempurna menguar, menggoda indera. Ini adalah rasa yang bisa menyelamatkan seorang Kaisar.
"Dengarkan aku, Li," kata Han Qiu, memegang tusuk sate itu di depan hidung temannya.
"Rasa ini… ini adalah janji. Janji bahwa hidup itu layak dijalani, layak dinikmati. Kaisar tidak hanya butuh makanan. Dia butuh harapan. Dia butuh alasan untuk makan. Alasan yang bukan hanya protokol istana atau kewajiban. Alasan yang murni dari dalam dirinya, dari perutnya yang lapar dan jiwanya yang kosong."
Ia menatap Li dalam-dalam.
"Aku tahu ini sulit. Aku tahu kita mempertaruhkan nyawa. Tapi apa yang lebih buruk? Mati karena mencoba memberi kehidupan, atau hidup dalam ketakutan, melihat seorang Kaisar mati perlahan karena kita pengecut?"
Kata-kata Han Qiu menembus ketakutan Li. Ia melihat kejujuran di mata temannya, sebuah gairah yang lebih membara daripada arang yang baru saja mereka padamkan. Li menghela napas panjang, menunduk.
"Baiklah," katanya pelan,
"apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa memanggangnya satu per satu seperti ini."
"Kita memanggang dalam batch," jawab Han Qiu, matanya berbinar.
"Kita bisa memanggang lima tusuk sate sekaligus. Empat batch. Itu hanya dua belas menit. Ditambah waktu menyiapkan dan memadamkan, mungkin lima belas menit total."
Kelegaan membanjiri mereka seperti gelombang pasang. Mereka terbatuk-batuk, wajah mereka legam, tetapi ada senyum kemenangan di bibir mereka. Mereka telah menemukan caranya.
"Lima belas menit," bisik Li, suaranya dipenuhi rasa takjub.
"Hanya lima belas menit. Ini… ini mungkin bisa berhasil."
Han Qiu mengangguk, menatap tumpukan sate yang sudah matang di atas kain bersih. Aroma gurih yang kini tidak lagi diiringi asap tebal. Mereka telah berhasil menaklukkan musuh tak terlihat mereka: asap.
"Baiklah, Li," kata Han Qiu, menatap ke arah pintu gudang yang gelap.
"Kita punya sate. Kita punya bumbu. Dan kita punya lima belas menit waktu untuk menyalakan api dan memadamkannya tanpa ada yang tahu. Sekarang, kita harus memastikan bahwa tidak ada satu pun jejak… atau satu pun aroma… yang tersisa."