Bagaimana jika jiwa seorang Chef dari dunia moderen abad 25 yang cantik, kaya-raya, berstatus lajang, serta menguasai banyak tehnik beladiri, terbangun ditubuh seorang gadis diera dinasti kuno 3000 tahu lalu.
Liu Liyan, gadis cantik yang amat dimanja oleh ayah & kedua kakak lelakinya. Kadang suka berbuat sesuka hati, keras kepala & juga urakan.
Tapi setelah menikah, ia harus menjani hidup miskin bersama suaminya yang tampan tapi cacat.
Belum lagi ia harus dihadapkan dengan banyaknya konflik keluarga dari pihak suaminya.
Beruntung ibu mertua & adik ipar amat baik serta begitu menyayanginya, mendukung juga mempercayai.
Apakah ia bisa menggunakan keterampilannya didunia modern, untuk membantu keluarga suami juga keluarga kandungnya sendiri..?
Bagaimana lika-liku kehidupannya didunia yang serba kuno tanpa internet & listrik..?
Mari ikuti kisah Chef Claudia diera dinasti Song & menjadi Liu Liyan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delia Ata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Xiao Heilan
Sore ini Kepala rumah tangga keluarga cabang pertama Xiao pulang, dan langsung diberondong banyak pertanyaan oleh kakek dan nenek Xiao serta nyonya Mei.
"Aku tidak pernah bertemu adik ketiga. Lagi pula aku mana pernah pergi kemana-mana, pekerjaanku juga dilakukan diruangan tertutup."
Sudah hampir dua bulan, Xiao Cuyan tidak pulang kerumah. Berkirim kabar pun tidak.
Uang bulanan untuk nenek Gong dan nyonya Mei, dititipkan kepada putra kepala desa yang berkerja dibiro pemerintahan sebagai petugas kebersihan.
Itu pun kurang dari jatah yang semestinya.
"Besok kalau kau kembali kekota, temuin dulu adikmu. Takutnya dia sedang kesulitan tapi tidak mau memberitahu karena tidak ingin merepotkan."
Xiao Heilan menghela nafas berat, batinnya mengumpat jengah.
Sejak dulu si bungsu itu selalu disayang, mau benar atau salah pasti akan diutamakan.
Setiap punya makanan enak, selalu cuma diberikan kepada adik bungsunya itu.
Usai makan malam, giliran Xiao Yong yang memberitahu jika ia sekarang bekerja dengan Liu Liyan dan diberi upah plus bonus sebanyak 3 tahil perak.
Jelas Xiao Heilan terkejut, gaji anaknya justru malah lebih tinggi darinya.
"Yan niang bekerjasama dengan paviliun Jiao Tong, sungguh ayah terkejut saat tahu akan hal itu."
"Ayah, aku juga mau bekerja. Kata Yong dage Yan niang memang memerlukan tanaga tambahan. Tapi mereka akan pindah kekota."
Xiao Shi menjeda ucapannya sejenak.
"Apa aku boleh ikut kekota, bekerja dengan Yan niang..?"
"Jadi keluarga cabang kedua mau pindah kekota..?"
Xiao Yong membenarkan.
Pemuda itu menyampaikan, kalau Xiao Yun dan Liu Liyan akan menyediakan tempat tinggal, jika ibu dan adiknya mau bekerja dengan mereka.
"Aku juga mau ikut berkerja. Suamiku, boleh ya..? lama-lama aku bisa gila disini."
Nyonya Ying menceritakan semua peristiwa yang belakangan ini terjadi, juga penindasan dari nenek Gong serta nyonya Mei dan Xiao Muli.
"Lalu bagaimana dengan ayah dan ibu..?" tanya bimbang bercampur kecewa kesal Xiao Heilan.
Sungguh tidak disangka, jika ibu dan adik iparnya sebegitu kejamnya.
Tapi mau bagaimana pun itu orangtuanya. Meski ia juga amat kecewa akan sikap mereka, tapi untuk menjadi pembangkang tentu ia tak bisa.
Tapi kalau difikir lagi, Heilan bukan pria lajang. Ia kepala keluarga yang wajib melindungi istri dan anak-anaknya.
Mana tega Heilan membiarkan keluarga yang ia kasihi ditindas dan diperlakukan semena-mena.
"Bilang saja kalau kita mendapat pekerjaan dikota, nanti tiap bulan akan mengirimi mereka uang." sahut Xiao Yong.
Xiao Shi mengangguk "benar, kalau sudah berurusan dengan uang, mereka pasti tidak akan mencegah kita pergi."
Diakhir kata Xiao Shi mendengus kesal, mengingat betapa tamaknya nenek tua itu.
"Baiklah, ayah mengizinkan. Besok ayah akan menemui A-Yun dan Yan niang untuk memastikan lagi."
Nyonya Ying dan Xiao Shi bersorak senang, memeluk Xiao Heilan dan berulang kali mengucapkan terimakasih.
Pagi hari, Xiao Heilan datang kerumah Guo Xia bersama Xiao Yong.
"Kakak ipar, kenapa harus serepot ini. Sudah mau datang saja itu suatu keberkahan untuk kami." ucap Guo Xia menerima keranjang berisi daging dan ikan.
"Hanya ini saja, apanya yang repot."
Susu kacang hijau dan talas goreng, Xiao Yue suguhkan.
Xiao Yun dan Liu Liyan menyapa paman pertama, lalu berbincang sembari menikmati sejuknya udara pagi pegunungan.
"Semalam A-Yong sudah menceritakan semuanya. Bibi kalian dan Shi'er juga meminta izin kepadaku. Paman kesini mau mengucapkan terimakasih, karena kalian sudi memberikan pekerjaan untuk mereka."
"Paman tidak perlu sungkan. Kami memang membutuhkan bantuan, karena ada A-Yong jadi kami mencarinya." balas Xiao Yun.
"Lagi pula kalau ada saudara sendiri, untuk apa mencari orang lain. Saling membantu dan menjaga, sudah selayaknya dilakukan sesama keluarga kan..?" sambung Liu Liyan.
Xiao Heilan tersenyum "kalian benar-benar anak yang berbakti, paman bangga kepada kalian."
"Semua berkat ajaran paman." sahut Xiao Yun.
Ya, jika kau jahat, sudah pasti aku tidak akan bersikap selunak ini.
Coba kalau yang dihadapannya sekarang Xiao Cuyan, sudah lain cerita lagi.
"Kapan kalian pindah kekota..? biar paman bisa menyiapkan rumah untuk bibi dan kedua sepupu kalian."
"Paman tidak usah mencari rumah sewa, soal itu biar menjadi urusan kami. Semua sudah direncanakan." jawab Xiao Yun.
"Bagaimana bisa begitu..? kalian sudah memberikan pekerjaan, masa iya memberikan tempat tinggal juga..?"
"Soal tempat tinggal itu pun berhubungan dengan pekerjaan paman, bukan sekedar cuma-cuma saja."
Xiao Yun menjelaskan soal rencana dan tujuan kenapa ada pemberian tempat tinggal untuk para pekerja.
Xiao Heilan pun paham, dan tidak lagi memperpanjang perdebatan.
Hampir tiga jam lamanya, Xiao Heilan tinggal disana.
Sesampainya dirumah utama, Xiao Heilan langsung disembur ocehan oleh nenek Gong yang mengetahui kunjungannya kerumah keluarga cabang kedua.
Xiao Heilan pun membual, kunjungannya untuk memberitahukan kalau ada rumah yang dijual dikota. Xiao Yun dan Liu Liyan meminta bantuannya mencari informasi.
Makin murka saja nenek Gong.
Kutukan kembali terlontar untuk keluarga cabang kedua yang mau pindah kekota.
Saking emosinya, nenek Gong sampai memuntahkan seteguk darah sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.