NovelToon NovelToon
Jangan Salahkan Aku, Ibu

Jangan Salahkan Aku, Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Poligami / Bullying dan Balas Dendam / Hamil di luar nikah / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:300
Nilai: 5
Nama Author: Widhi Labonee

kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sumur Yang Belum Jadi

Setelah peristiwa mengenaskan yang menyebabkan Tiwi kembali harus dilarikan kerumah sakit, dan dibawa pulang paksa karena Riyanti harus mematuhi perintah suaminya untuk tidak membiarkan Tiwi dirawat inap itu, maka seluruh sikap Tiwi menjadi berubah total. Dia menjadi anak yang bebal, tidak satupun perkataan ibu dan bapaknya yang didengarkannya. Bagi yang mengenal baik anak kecil itu akan dapat merasakan perubahan yang sangat mencolok. Dia seolah menjadi pribadi yang lain, yang hanya sekedar menjalani semua tanpa hati. Bahkan terkadang dia menjadi anak yang tegaan, yang sanggup memukul siapapun yang berani menyakiti dirinya atau keponakannya di sekolah. Tidak jarang Tiwi terlibat perkelahian dengan anak laki-laki atau perempuan yang lebih besar hanya demi membela diri ketika dibully atau diejek.

Badannya yang kurus tidak menghalangi dia untuk menjadi petarung cilik.

Hari ini adalah awal liburan panjang kenaikan kelas, Tiwi terpaksa tinggal di rumah. Karena dia tidak diizinkan pergi ke rumah Pamannya di desa lereng gunung lagi. Jika pun pergi kesana harus bersama sang Ibu, dan itu hanya sebentar saja, jadi dia semakin jarang bertemu dengan sepupunya disana. Padahal dia mendengar jika sang bibi telah melahirkan bayi laki-laki tampan.

“Aku sudah capek Mas, kalau tiap bulan harus membayar semua hutangmu di rumah dikota M itu. Aku juga ingin bahagia dengan caraku sendiri. Aku lelah diteror terus oleh istri tua mu itu. Di hadapan keluargamu aku selalu diremehkan. Mana ibumu selalu membandingkan aku dengan istrimu itu. Aku capek !!” teriak Riyanti yang suaranya terdengar hingga ke dapur.

“Sabar lah Dek, kurang sedikit lagi hutangku di kota M lunas, dan kita akan besarkan usaha kayu ini hingga terkenal sepulau Jawa. Aku janji akan membangunkan sebuah istana buatmu nanti. Aku itu sudah memilihmu sebagai istriku, maka dari itu percayalah, hatiku hanya buatmu seorang,” kata Ismawan kepada istrinya.

(Sebuah kata yang sering ditemui oleh Tiwi saat dewasa nanti, yang ternyata hanya gombalan buaya darat, kenyataannya nol besaaarr)

Braaakkk…

Pintu dibanting dengan keras. Lalu terdengar keributan berlanjut di dalam kamar. Tiwi yang sedang duduk bermain boneka nya itu pun memandang neneknya yang tengah memarut kelapa disebelahnya.

“Apakah mereka selalu begitu setiap kali aku berangkat sekolah Mbah?” tanya Tiwi penasaran.

“Sstt, sudah biarkan saja, jangan ikut mendengarkan, orang menikah ya begitu itu, terkadang mereka memperdebatkan sesuatu,” jawab si Mbah dengan masih asyik memarut kelapa itu.

Beliau harus membuat banyak santan, untuk memasak sayur buat makan siang orang-orang yang bekerja pada bapaknya itu. Kasihan, seharusnya di usia yang semakin tua, beliau tidak boleh dibebani pekerjaan yang sedemikian berat. Tapi sekarang, semenjak Riyanti menikah dengan Ismawan, bu Mirah jadi mendapat tambahan beban kerja yang berlebihan. Tak jarang Tiwi mendapati sang Nenek yang benar-benar kelelahan saat malam menjelang tidur. Dan dengan telaten Tiwi akan memijiti kaki dan tangan sang Nenek dengan semampu kekuatannya.

“Tapi dulu saat ibu menikah dengan Bapak Fendi, aku tidak pernah melihat mereka bertengkar begitu Mbah. Bahkan ibu jarang sekali berteriak. Paling ibu berteriak jika memanggilku yang bermain agak jauh dari rumah. Selebihnya ibu dan Bapak Fendi rukun-rukun saja kan Mbah?” ungkap Tiwi dengan polosnya.

“Sssstt, sudah, jangan omong yang aneh-aneh, nanti kedengaran kamu bisa kena marah loh,” sergah bu Mirah dengan nada pelan sekali.

Tiba-tiba Ismawan sudah berdiri di pintu penghubung dengan ruang dalam itu, wajahnya memerah menahan marah. Matanya tajam memandang Tiwi.

“Sudah berapa kali Bapak bilang Wi, jangan sebut nama itu lagi dirumah ini! Tapi kamu malah makin kurang ajar berani membandingkanku dengannya ! Kalau kamu tidak kerasan di rumah ini, pergi saja ! Susul orang yang kamu anggap paling baik itu !!” Ucapnya marah.

“Nak Is, jangan keterlaluan begitu. Tiwi masih kecil, dia belum paham, tega kamu menyuruhnya mati? Bapak macam apa kamu!” Bu Mirah akhirnya marah mendengar ucapan Ismawan pada anaknya ini.

Tiwi hanya diam, jadi dia tidak diinginkan untuk hidup di dunia ini? Oleh orang yang katanya adalah bapak kandungnya ini? Ya Tuhan… memang lebih baik aku ikut Bapak Fendi mati saja… jerit batin anak kecil itu. Dilihatnya laki-laki itu kembali masuk ke dalam rumah, dan sang ibu masih ada di dalam kamarnya, sepertinya sedang menangis. Sang Nenek beranjak kearah dapur. Tiwi berjalan pelan masuk kedalam kamar neneknya, diambilnya beberapa baju, dan boneka kesayangannya yang dulu di belikan sang Bapak almarhum, dimasukkannya kedalam tas plastik merah. Dia pakai topinya, kemudian dia ambil sepeda BMX merah kesayangannya, diikatnya buntelan bajunya di stang stir sepedanya. Dengan mengendap-endap berusaha tidak menimbulkan suara, dia keluar dari halaman belakang, masuk ke kebun sang Nenek, menunggu orang-orang yang bekerja disana tidak mengetaui kepergiannya. Sekarang kebun sang Nenek sudah diubah menjadi tempat penampungan kayu gelondong milik Ismawan. Yang memang bekerja jual beli kayu rakyat milik khalayak biasa, bukan milik perkebunan atau kayu hutan. Kemudian ditebang dan ditampung di kebun milik neneknya ini, sebelum nanti jika sudah banyak akan dikirim dengan menggunakan truk-truk besar ke kota-kota besar di pulau jawa.

Setelah sampai ditepi jalan kampung, segera Tiwi mengayuh sepedanya cepat-cepat. Entah kemana arah yang dia tuju, yang penting dia mau pergi dari rumah sejauh mungkin. Kalau bisa dia ingin ke makam sang Bapak, tapi dia tidak tau jalannya. Jadi dia hanya mengayuh mengikuti jalan kampung, ketemu jalan raya, masuk kampung, naik tanjakan, melewati jembatan, sawah, sungai.

Dia tidak berhenti sampai tengah hari dan panas matahari begitu menyengat. Saat itulah dia merasa sangat kehausan. Tiwi menoleh ke kanan ke kiri, dilihatnya hanya hamparan kebun tebu dan ladang. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bangunan rumah yang belum jadi di tepi jalan yang kanan kirinya terdapat pohon-pohon rindang. Tiwi mengayuh sepedanya mendekat ke sana, disandarkannya sepeda merah miliknya didekat pohon. Dia tidak menemukan satu orang pekerja pun disana, kemudian dia melangkah kan kaki mungilnya ke arah belakang rumah, dimana disana ada sebuah galian yang agak lebar, dan sudah lumayan dalam. 

'Mungkin ini galian sumur, tapi kok belum ada bayangan airnya ya?'

Dia melongokkan kepalanya ke dalam, sempat terpikir untuk meloncat saja ke bawah sana, siapa tau dia akan mati dan bisa bertemu dengan Bapaknya di alam lain. Sedang dia sibuk berpikir, tiba-tiba tanah pinggir galian yang dia pijak pun ambrol sedikit yang membuatnya terperosok kedalam galian sumur yang belum jadi itu.

Aaaaaaaaaaaahhhhhh!!!

Teriaknya lantang.

Bruuughh..

Tubuh kurusnya mendarat didasar galian yang masih berupa tanah keras itu. Rasanya badannya seolah dibanting dengan keras ke tanah. Kepalanya sepertinya membentur sesuatu, entah batu atau pecahan bata, dan itu yang membuat dirinya pingsan seketika. Tanpa ada seorangpun yang tau.

—---------

Sementara dirumah Bu Mirah, terjadi kehebohan, dari tadi wanita tua itu memanggil nama cucunya. Mencari ke kebun belakang, siapa tau anak kecil itu nangkring lagi di pohon jambu air, atau malah melihat para pekerja bapaknya yang sedang menata kayu itu.

“Ada apa Mbah? Mencari siapa?” tanya Suliadi, salah satu mandor yang bekerja mengawasi pekerja di kebun itu.

“Lihat Tiwi nggak Nak Sul? Apa dia tadi main kesini?” tanya bu Mirah sembari menengok kiri kanan dan mengedarkan pandangannya ke arah rimbunan batang bambu di pojok belakang kebun, tempat biasanya Tiwi dan Budi serta Lili bermain bersama. Tapi tidak ada bayangan anak-anak kecil itu sama sekali.

“Oh, tidak ada Mbah, dari tadi saya disini tidak melihat dek Tiwi lewat sini,” jawab Suliadi dengan mantab.

Bu Mirah pun membalikkan badan dan berniat ke rumah sebelah yang ditempati keluarga Anik itu.

“Nik..Nik..Tiwi ada di rumahmu kah?” tanya wanita tua itu dari pintu belakang.

Tampak Anik jalan pelan menuju ke belakang, dia baru saja melahirkan anak keempatnya yang berjenis kelamin laki-laki dan diberi nama Herman itu.

“Tiwi nggak kesini Mbah, dia jarang main kesini sekarang, aku saja tidak ketemu dia lagi sudah lama Mbah,” jawab Anik pelan.

“Duuhh, kemana anak itu ya Nik? Apa main keluar bersama Budi dan Lili?” Tanya Bu Mirah dengan wajah cemas.

“Lho, Budi dan Lili sejak semalam pergi ke rumah Neneknya Mbah, tinggal Tari yang lagi tidur di samping Herman. Memangnya Tiwi nggak pamitan mau kemana Mbah?” Tanya Anik balik.

Bu Mirah menggeleng lemah.

Kemudian dia berjalan kembali ke rumahnya dengan langkah gontai. Pikirannya berkecamuk, kemana cucu perempuannya itu, dia kuatir jika Tiwi akan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya. Karena masih terngiang makian Ismawan tadi pagi, yang menyuruh anak itu pergi saja menyusul Effendi almarhum. Setetes air mata jatuh di pipinya yang mulai keriput.

“Darimana Bu? Kok aku panggil nggak menyahut,” tanya Riyanti dengan nada ketus.

“Mencari Tiwi Ti, dia tidak ada dirumah. Di kebun belakang dan di rumah Anik juga tidak ada. Aku kuatir Ti,” jawab bu Mirah lemah.

“ Coba kulihat dulu, sepedanya ada atau tidak,” Riyanti menuju ke gudang dipojok ruangan itu. Dan dia mendapati jika sepeda BMX merah milik anaknya tidak ada di sana.

“Tuh kan, nggak ada sepedanya. Paling anak itu kluyuran dengan sepedanya Bu, kan mumpung liburan. Sudah nggak usah kuatir begitu. Sebentar lagi dia pasti pulang kalau lapar. Lagian nanti jam dua dia kan harus ke pondokan mengaji di Madrasah Diniyah. Ayo Bu, kita bungkus Nasi dan lauk serta sayurnya, sudah ditunggu orang-orang loh,” ujar Riyanti enteng.

Dengan berat hati dan perasaan yang tidak enak, bu Mirah segera membantu anak perempuannya ini membungkus Nasi untuk makan siang para pekerja itu. Entah ada apa dengan Tiwi, tetapi batin bu Mirah mengatakan sesuatu telah terjadi pada cucunya itu.

—------------

Bagaimanakah nasib Tiwi selanjutnya? Apakah Tiwi akan ada yang menolong? 

1
Widhi Labonee
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!