Bos Jutek Itu Suamiku
Gadis bertunik cokelat dengan rok plisket itu melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Saat sudah berada di depan pintu ruangan yang ia tuju tiba-tiba langkahnya terhenti. Hawa sore yang mulai dingin tak mampu meredam debaran di dadanya. Hari ini seharusnya menjadi hari biasa bagi Almahyra Ghassani atau yang biasa disapa Ayra. Ia hanya ingin menjenguk Sarah, sepupunya yang dikabarkan jatuh sakit. Namun, begitu ia sampai di depan ruang rawat, langkahnya terhenti mendengar suara seseorang yang ia kenali.
“Om, saya mohon… maafkan saya. Saya dan Sarah khilaf…” Suara Bima bergetar.
Khilaf? Apa maksudnya? Mengapa pula suaranya terdengar begitu lirih.
Lalu, suara lelaki yang ia panggil Om Dhanu itu mengoyak keheningan dengan berseru keras, “Khilaf? Dimana otak kalian saat kalian melakukannya? Kalian mengkhianati Ayra!"
"Cukup, Yah. Semua sudah terjadi dan kita tidak bisa apa-apa selain menikahkan mereka berdua." Ayra bisa mendengar jelas suara Tante Mia, ibunya Sarah ikut bersuara.
Ayra terpaku. Tangannya mencengkeram tali tasnya begitu erat, nyaris merobek kulitnya sendiri. Apa maksudnya semua ini? Menikahkan Bima dan Sarah?
"Saya akan bertanggung jawab, Om. Tapi saya mohon, rahasiakan dulu ini pada Ayra dan keluarga yang lain."
Deg! Kaki Ayra rasanya begitu lemas. Apa yang Bima lakukan pada sepupunya itu?
"Tanggung jawab apa maksudmu? Lalu bagaimana dengan Ayra?!" Seru Dhanu.
Bima menunduk, tubuhnya gemetar. “Saya… Saya akan tetap menikahi Ayra. Tapi saya juga akan bertanggung jawab atas Sarah.”
"Brengsek! Saya tidak akan membiarkan kamu melakukan itu pada keponakan dan anak saya" Gertak Om Dhanu.
"Yah, Sarah itu hamil. Bima harus menikahinya." Kata Mia lirih.
Ayra seperti dihantam oleh benda berat. Tubuhnya terasa beku, otaknya mencoba menolak kenyataan. Sarah hamil? Dan Bima yang melakukan itu semua? Akhirnya Ayra mendorong pintu ruangan rawat inap tersebut.
Hal pertama yang Ayra saksikan adalah penampilan Bima yang jauh dari biasanya. Wajah lelaki itu masih menyisakan darah di ujung bibirnya dan kemeja hitam yang biasanya rapi itu tampak begitu kusut. Omnya menatapnya dengan tatapan bersalah, begitu pula dengan tantenya yang kini memeluk Sarah yang masih menunduk.
"Maksud semua ini apa?" Tanya Ayra pelan.
Hening. Hingga akhirnya suara Sarah yang lemah tapi jelas menghunus jantungnya menjawab pertanyaannya.
“Ayra…” Suara itu serak. Ayra menoleh ke arah Sarah, matanya berkaca-kaca. “Aku… Aku tidak tahu ini akan terjadi. Aku tidak pernah bermaksud menghancurkan rencana kalian. Semua ini... Semua ini terjadi begitu saja. Aku... hamil, anaknya Bima."
Lalu, tiba-tiba semua kepingan yang semula tak bisa Ayra pahami mulai tersambung. Malam-malam di mana Sarah tampak canggung saat berbicara dengannya, tatapan gelisahnya setiap kali Ayra membahas pernikahan dengan Bima, dan kini, kehamilannya.
Napas Ayra tercekat. Ia menatap Bima dengan mata yang mulai basah. “Benar yang dikatakan Sarah, Mas? Kalian... kalian benar-benar melakukan itu?"
Bima tak menjawab. Namun sorot matanya ketika menatap Ayra sudah menjadi jawaban untuk Ayra.
Ayra menghela napas panjang, mencoba menahan gemuruh di dadanya. Ia melangkah mendekat, menatap pria yang Ayra kira adalah imam yang tepat untuknya dengan dingin.
"Menikahlah dengan Sarah, Mas. Batalkan rencana pernikahan kita."
Bima menegakkan tubuhnya, matanya membelalak. Ia mendekati Ayra. “Ayra, tidak! Aku mencintaimu! Aku tidak bisa membatalkan pernikahan kita!”
Ayra tertawa getir. “Cinta?” Katanya sinis. “Cintakah yang membuatmu tidur dengan sepupuku? Cinta macam apa yang tega menghancurkan hidup dua orang perempuan sekaligus? Dimana akalmu saat kamu melakukan itu pada sepupuku sendiri?”
Bima mencoba meraih tangannya, tapi Ayra mundur. “Jangan sentuh aku. Apapun alasanmu, aku tidak akan bisa menikah denganmu." Katanya datar. Ayra sama sekali tidak menangis.
Omnya menatapnya dengan sedih. “Nak, kau yakin?”
Ayra menegakkan bahunya, meskipun jantungnya terasa seperti diremas. “Aku lebih baik membatalkan pernikahan ini sekarang daripada menyesal seumur hidup.”
"Maafkan Sarah, Ra. Tante sangat berterima kasih kepadamu karena kamu mengizinkan Bima menikah dengan Sarah."
"Tante nggak usah khawatir. Mas Bima akan menikah dengan Sarah." Jawab Ayra mantap. "Saya permisi dulu."
"Ay... Tunggu, Ay." Bima terus memanggil namanya namun Ayra enggan menoleh.
Langkahnya mantap meninggalkan pria itu—pria yang tak lagi pantas untuknya. Keputusannya sudah bulat. Setelah keluar dari ruangan Sarah, air mata yang sedari tadi Ayra tahan akhirnya tumpah juga.
...****************...
Dua minggu kemudian, hari itu akhirnya tiba. Bukan hari yang Ayra nantikan, tapi hari yang tetap harus ia hadapi dengan kepala tegak.
Gaun putih yang seharusnya ia kenakan kini dipakai oleh Sarah. Dekorasi pernikahan yang seharusnya untuknya dan Bima kini menjadi saksi bisu bersatunya pria yang pernah ia cintai dengan sepupunya sendiri.
Ayra berdiri di antara tamu undangan, tersenyum tipis saat beberapa orang menyapanya dengan ekspresi canggung. Ia tahu mereka membicarakannya di belakang, tentang betapa kuatnya ia datang ke pernikahan ini, seolah tak terjadi apa-apa. Beberapa orang bahkan tidak sungkan menunjukkan rasa kasihan pada dirinya.
"Selamat, Sarah. Selamat, Bima," Katanya pelan.
Sarah tampak menunduk, tak berani menatapnya terlalu lama. Bima, di sisi lain, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ada penyesalan disana. Tapi Ayra tidak peduli lagi.
"Terima kasih, Ay." Kata Bima. "Maafkan aku."
Ayra enggan menjawab. Ia melewati Bima begitu saja. Hingga ketika berada di depan orang tua Bima, terutama ibunya Bima, perempuan itu langsung memeluknya.
"Maafkan Mama ya, Nak. Mama tidak bisa mendidik Bima. Seharusnya ini menjadi hari bahagiamu. Semoga kamu mendapat ganti yang lebih baik, ya."
Ayra membalas pelukan perempuan lembut itu. "Mama nggak salah. Semua sudah terjadi. Ayra ikhlas." Kata Ayra lembut.
Ayra lalu melepaskan pelukan itu. Ia tersenyum kepada perempuan yang hampir menjadi mertuanya itu seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Setelah itu, Ayra pergi. Ia tidak ingin terlalu lama berada di acara itu. Pikirannya hanya satu. Ia ingin segera pergi jauh dari Bima dan Sarah.
Setelah menghadiri acara pernikahan itu, ia pun mengurung diri di kamar. Kepalanya masih sibuk memikirkan bagaiman agar ia tidak sering bertemu dengan kedua manusia itu. Apalagi dengan rumahnya dan rumah Sarah yang berdekatan akan membuatnya sering bertemu dengan Sarah dan Bima.
Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di sendiri. Ia bisa menyewa kost dekat dengan kantornya. Keputusan itu sudah bulat dan nyatanya kedua orang tuanya menyetujui hal itu.
Waktu terus berjalan dan malam pun tiba. Tadi ia sudah meminta bantuan sahabatnya untuk mencarikan kost yang dekat kantornya.
"Ayra pergi ya, Ma, Bi." Ayra berpamitan pada kedua orang tuanya.
Laras menatap Ayra dengan lembut. Dibelainya kepala putrinya dengan pelan. "Jaga dirimu baik-baik. Kalau ada apa-apa, hubungi kami." Kata Laras.
"Siap, Umma. Ayra akan ingat selaly nasihat Umma dan Abi." Jawab Ayra.
Rizal mendekati putrinya. "Semoga Allah selalu melindungi kamu, ya. Jaga dirimu baik-baik."
Ayra mengangguk. "Siap, Abi. Jangan keseringan tugas luar, ya. Kasihan Umma sendirian." Kata Ayra mencoba mencairkan suasana.
"Bisa aja kamu. Ya udah, hati-hati. Kabari Abi kalau sudah sampai nanti."
Ayra mengacungkan jempol kanannya. Senyumnya selalu terbit untuk menenangkan hati kedua orang tuanya. Ayra menarik napas panjang, memandang koper kecil di tangannya. Malam ini, ia akan pergi. Keputusan itu sudah bulat.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Hati-hati." Kata Laras mengingatkan kembali.
Ayra tersenyum lagi. Ia melangkahkan kakinya dengan mantap. Namun ketika ia melangkah keluar pagar, seseorang muncul dari rumah Omnya.
"Ayra, tunggu!"
Suara itu membuatnya berhenti sejenak. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang memanggilnya.
Bima berlari mendekatinya. Lelaki itu sudah berganti pakaian dengan pakaian yang lebih santai.
"Ada apa?" Tanyanya datar, berusaha mengendalikan emosinya.
Bima menatapnya, seperti seseorang yang tidak tahu harus berkata apa. "Aku... Aku hanya ingin bicara."
"Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Bim. Kamu sudah menikah dengan sepupuku. Bahkan sebentar lagi kamu akan menjadi ayah," Ayra berusaha terdengar tegar, meskipun hatinya terasa berat.
Bima melangkah mendekat, "Kamu mau kemana?"
"Bukan urusanmu."
"Ay, tetaplah disini. Kamu bahkan takut untuk tinggal sendirian. Jangan gegabah."
Ayra tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena tidak percaya. "Lucu sekali kau bisa berkata seperti itu setelah semua yang terjadi. Aku sudah memutuskan, Bima. Aku akan pergi."
"Ayra, aku menyesal..."
"Tapi penyesalanmu tidak mengubah apa pun. Aku tidak akan tinggal di sini dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Orang tuaku sudah mengizinkan, itu cukup bagiku," Ayra berkata dengan mantap.
Bima tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi Ayra tidak memberinya kesempatan.
Tanpa menoleh, ia menarik kopernya dan melangkah menuju taksi yang sudah menunggunya. Harapannya satu, ia bisa dengan cepat melupakan Bima dan memulai fokus dengan karirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments