Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Hubungan dengan 2 pria
Setelah menikmati waktu mereka bersama di kapal, Harry menepati janjinya untuk mengantar Raline pulang ke apartemennya. Sebagai seorang pria yang bertanggung jawab, ia ingin memastikan gadis itu tiba dengan selamat sebelum ia kembali mengurus urusannya yang lain.
Saat mobil mereka berhenti di depan gedung apartemen Raline, Harry tersenyum sambil menatap gadis itu. "Aku harap kamu menikmati malam kita, Sayang."
Raline mengangguk dengan senyum lembut. "Tentu saja. Terima kasih untuk semuanya, Harry. Aku benar-benar bahagia."
Harry membantu Raline turun dari mobilnya dan mengantar gadis itu sampai ke depan unit apartemen miliknya, dengan tangan yang saling menggandeng. Raline terlihat sangat senang, sebab Harry adalah pria yang memang ia cintai sudah sedari lama. Setelah beberapa lama, mereka akhirnya sampai di depan unit Raline.
Harry mengusap pipinya dengan lembut, lalu mendekat dan mencium bibirnya penuh kasih. Setelah beberapa saat, ia melepaskan ciumannya dan berkata, "Aku harus pergi sekarang. Ada beberapa hal yang harus aku urus."
Raline mengangguk dengan pengertian. "Hati-hati di jalan, ya? Jangan terlalu memaksakan diri."
Harry tersenyum sebelum akhirnya berbalik dan berjalan kembali menuju mobilnya. Raline melambaikan tangan hingga tubuh pria itu menghilang di kejauhan. Ia kemudian berbalik dan membuka pintu unit apartemennya.
Begitu masuk dan menutup pintu, Raline menghela napas lega. Namun, rasa lega itu seketika sirna ketika matanya menangkap sosok yang sudah menunggunya di dalam unitnya.
Jantungnya berdegup kencang. "Calvin?!"
Pria berusia 47 tahun itu bangkit dari sofa, menatapnya dengan tatapan tajam. "Kamu akhirnya pulang juga. Aku sudah menunggumu cukup lama, Raline."
Gadis itu menelan ludahnya, mencoba menenangkan diri. "Apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?"
Calvin menyeringai. "Aku punya caraku sendiri untuk masuk ke tempat kekasihku, bukan?" Pria itu berjalan mendekat hingga jaraknya dengan Raline semakin sempit. "Lebih penting lagi... siapa pria yang tadi mengantarmu pulang?"
Raline terkejut, tapi ia berusaha tidak menunjukkan ekspresi panik. "Dia hanya temanku. Kebetulan kami bertemu, dan dia menawarkan untuk mengantarku pulang."
Calvin menyipitkan matanya, jelas tidak puas dengan jawaban itu. "Teman? Seorang teman mencium bibirmu sebelum pergi?"
Raline tersentak, menyadari bahwa Calvin telah melihat semuanya. Ia harus berpikir cepat agar pria itu tidak semakin curiga. "Itu... hanya spontan. Aku hanya bercanda dengannya. Tidak ada yang serius di antara kami."
Calvin masih menatapnya dengan tajam, tetapi akhirnya ia menghela napas dan melangkah mundur. "Baiklah, aku akan mempercayaimu kali ini. Tapi ingat, Raline, kamu milikku. Jangan sampai aku melihatmu dekat dengan pria lain lagi."
Raline hanya mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya ia merasa ketakutan. Ia tahu bahwa situasinya semakin rumit, dan ia harus berhati-hati agar rahasianya tidak terbongkar.
÷÷÷
Raline membawa dua gelas minuman dan meletakkannya di atas meja sebelum duduk di samping Calvin. Pria paruh baya itu menatapnya tajam, seolah sedang menilai setiap gerak-geriknya. Raline mencoba tersenyum manis, menyembunyikan kegugupan yang perlahan menjalari tubuhnya.
"Minum dulu, Daddy!" katanya dengan nada lembut, menyodorkan salah satu gelas ke arah Calvin.
Calvin mengambil gelas itu, tetapi tidak langsung meminumnya. Matanya masih tertuju pada Raline, seakan menunggu penjelasan lebih lanjut darinya.
"Jadi, siapa pria yang mengantarmu tadi?" Calvin bertanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh penekanan.
Raline mengerjapkan matanya, pura-pura bingung. "Oh, dia? Hanya teman biasa, Daddy. Aku kan sudah jelaskan tadi. Aku butuh tumpangan tadi di jalan karena terlalu lelah pulang sendiri. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan."
Calvin tidak segera menjawab. Pria itu hanya menyesap minumannya perlahan, membiarkan ketegangan menggantung di antara mereka. Raline bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Jika Calvin tahu kebenarannya—bahwa ia menghabiskan malam bersama Harry—tidak hanya jatah uangnya yang akan dipotong, tapi mungkin lebih dari itu.
Melihat Calvin masih diam, Raline mendekatkan tubuhnya, tangannya dengan lembut meraba dada pria itu. "Daddy masih marah padaku?" bisiknya menggoda, berusaha mencairkan suasana. "Aku benar-benar minta maaf karena nggak bisa mengangkat telepon mu tadi malam. Aku sibuk dan... aku nggak mau ada yang mengganggu."
Calvin mendengus pelan, menatap Raline dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kamu tahu aku nggak suka kalau kamu mengabaikan teleponku, sayang." Pria itu menyentuh dagu Raline, mengangkatnya agar bisa menatap matanya lebih dalam. "Aku selalu ingin tahu kamu ada di mana dan dengan siapa. Itu bukan permintaan, itu perintah. Mengerti?"
Raline menelan ludah, lalu mengangguk kecil. "Aku mengerti, Daddy. Aku janji nggak akan mengulanginya lagi."
Calvin mengamati ekspresi Raline, mencari tanda-tanda kebohongan. Raline menahan napasnya, berharap pria itu tidak menyadari kegelisahannya. Setelah beberapa saat, Calvin akhirnya menghela napas dan bersandar di sofa.
"Baiklah," katanya dengan nada lebih santai. "Aku akan mempercayaimu kali ini. Tapi ingat, Raline, aku nggak suka berbagi."
Raline tersenyum kecil, merasa sedikit lega karena Calvin tampaknya tidak akan mengorek lebih dalam. Ia lalu mendekatkan diri ke pria itu, menyandarkan kepalanya di bahunya.
"Aku tahu, Daddy," bisiknya, tangannya dengan lembut melingkar di lengan Calvin. "Aku hanya milik Daddy."
Calvin tersenyum tipis, menikmati cara Raline menenangkannya. Meski demikian, pria itu tetap merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis itu. Namun untuk saat ini, ia memilih untuk tidak menekan lebih jauh.
Raline, di sisi lain, harus memastikan bahwa rahasianya tetap aman. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin kehilangan kenyamanan dan keuntungan yang ia dapatkan dari Calvin. Namun, ia juga tak bisa menahan perasaan yang mulai tumbuh untuk Harry.
Dalam hati, Raline tahu bahwa permainan ini semakin berbahaya. Ia harus berhati-hati agar tidak ketahuan.
Raline mencoba menenangkan Calvin dengan rayuannya yang manja. Namun, tiba-tiba saja, Calvin menarik dagu gadis itu dan mendekatkan wajahnya. Tanpa peringatan, ia mencium Raline dengan semangat, seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya masih memiliki kendali atas gadis itu. Raline terkejut sesaat, tetapi dengan cepat menyesuaikan diri, membalas ciuman Calvin agar pria itu tidak curiga.
Ciuman itu semakin dalam, dan Calvin mulai menarik Raline lebih dekat. Mereka bergerak menuju kamar, tanpa kata-kata, hanya mengikuti arus yang sudah biasa mereka lalui. Raline menuntun Calvin ke ranjang, membiarkan pria itu menguasai dirinya seperti yang selalu terjadi di setiap pertemuan mereka. Hari itu, mereka kembali terjerat dalam hubungan yang penuh rahasia.
•
•
Setengah jam kemudian, Calvin terbaring lemas di sampingnya. Nafasnya terengah-engah, wajahnya terlihat kelelahan. Tidak seperti Harry yang selalu bisa bertahan lebih lama, Calvin tampak kehabisan tenaga setelah sesi singkat mereka.
Raline menatapnya sejenak, lalu perlahan turun dari ranjang, membiarkan Calvin beristirahat. Ia mengambil ponselnya dari meja di dekat tempat tidur, berniat mengabari Harry. Dengan cepat, ia mengetik pesan singkat untuk pria itu, memastikan bahwa hubungan mereka tetap berjalan seperti biasa, tanpa ada kecurigaan sedikit pun.