Di kehidupan sebelumnya, Duchess Evelyne von Asteria adalah wanita paling ditakuti di kerajaan. Kejam, haus kekuasaan, dan tak ragu menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Namun, semuanya berakhir tragis. Pengkhianatan, pedang yang menembus perutnya yang tengah mengandung besar itu mengakhiri segalanya.
Namun, takdir berkata lain. Evelyne justru terbangun kembali di usia 19 tahun, di mana ia harus menentukan jodohnya. Kali ini, tekadnya berbeda. Bukan kekuasaan atau harta yang ia incar, dan bukan pula keinginan untuk kembali menjadi sosok kejam. Dia ingin menebus segala kesalahannya di kehidupan sebelumnya dengan melakukan banyak hal baik.
Mampukah sang antagonis mengubah hidupnya dan memperbaiki kesalahannya? Ataukah bayangan masa lalunya justru membuatnya kembali menapaki jalan yang sama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Pertemuan Rahasia
Acara minum teh itu berjalan dengan sangat lancar, dan tak ada kendala yang berarti. Semua Bangsawan menikmati acara minum teh pertama Evelyne.
Suatu sore, Evelyne dipanggil oleh ayahnya ke ruang kerja. Saat itu, ia tengah sibuk mengerjakan berbagai tugas penting, tetapi ia tetap memprioritaskan panggilan tersebut. Bagaimanapun juga, Duke Astria bukan orang yang akan memanggilnya tanpa alasan yang berarti.
Setibanya di sana, Evelyne mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk. Ia menemukan ayahnya tengah duduk di balik meja kayu mahoni besar, dengan beberapa dokumen berserakan di atasnya.
“Ayah, maaf jika kedatangan saya mengganggu. Adakah sesuatu yang perlu kita bicarakan?” tanyanya dengan nada hormat.
Duke Astria mengangkat kepalanya dan menatap Evelyne dengan ekspresi serius. Ia lalu mengisyaratkan dengan tangannya. “Duduklah.”
Evelyne menurut dan duduk di kursi berlapis beludru di hadapan ayahnya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berat di benak sang Duke.
“Alena meminta agar pernikahannya dipercepat,” ucap Duke Astria, namun kata-katanya menggantung, seolah ada sesuatu yang masih ia pertimbangkan.
Evelyne menunggu sejenak, memastikan ayahnya telah menyelesaikan kalimatnya sebelum merespons. “Saya mengerti, Ayah. Anda mungkin merasa berat karena saya, sebagai kakaknya, belum menikah lebih dulu. Jika Ayah ingin saya segera menikah, saya akan mengusahakannya. Namun, jika Ayah merasa ini terlalu tergesa-gesa, saya tidak keberatan jika Alena menikah lebih dahulu.”
Nada bicara Evelyne tetap tenang, dewasa, dan tanpa emosi berlebihan. Duke Astria menghela napas panjang, lega mendengar sikap putrinya yang penuh pengertian.
“Lakukanlah pertunangan terlebih dahulu,” ujarnya setelah berpikir sejenak. “Setelah itu, Alena bisa menikah lebih dulu. Kamu bisa menikah setelah merasa siap.”
Evelyne menundukkan kepalanya dengan hormat. “Saya mengerti, Ayah. Saya akan memikirkannya dengan matang sebelum mengambil keputusan.”
Ia lalu berdiri dan memberi salam sebelum meninggalkan ruangan.
Setelah Evelyne pergi, Duke Astria menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi lelah. Pikirannya berkecamuk. Kedua putrinya begitu bertolak belakang. Yang satu begitu dewasa, bijaksana, dan penuh perhitungan, hingga membuatnya sendiri kehilangan kata-kata. Sementara yang lain, masih begitu kekanakan dan ceroboh, membuatnya harus sering kali menanggung malu.
“Sebagai seorang ayah, aku tak bisa memihak siapa pun. Namun saat ini, maafkan aku, Alena.”
Dengan napas berat, Duke Astria mengambil pena, mencelupkannya ke dalam tinta, lalu mulai menulis sesuatu di atas kertas perkamen. Setelah selesai, ia menekan stempel keluarga Astria ke atasnya, membubuhkan segel yang akan mengukuhkan keputusan penting bagi masa depan keluarganya.
.
.
.
Kepada Duke Piter Von Zisilus yang terhormat,
Semoga surat ini menemui Anda dalam keadaan baik dan sejahtera. Saya berharap tidak mengganggu kesibukan Anda dengan surat ini, tetapi ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan Anda secara langsung. Jika berkenan, saya ingin mengundang Anda untuk bertemu di kafe La Fleur pada sore hari mendatang, pada waktu yang Anda anggap paling sesuai. Saya percaya bahwa perbincangan ini akan menjadi sesuatu yang layak untuk kita pertimbangkan bersama.
Saya menantikan jawaban Anda.
Hormat saya,
Evelyne Astria
Evelyne duduk dengan tenang di meja yang sudah disiapkan, suasana kafe yang tenang dengan pencahayaan lembut membuat segalanya terasa lebih intim. Piter tiba tepat waktu, mengenakan setelan rapi yang tetap mencerminkan wibawanya sebagai seorang Duke. Dia memberikan senyuman tipis saat menarik kursi dan duduk di hadapan Evelyne.
“Kau memilih tempat yang menarik,” ujar Piter sembari melirik sekeliling.
“Aku ingin memastikan bahwa kita bisa berbicara dengan nyaman tanpa gangguan,” jawab Evelyne dengan senyum sopan. “Terima kasih telah menyempatkan waktu.”
“Tentu saja. Jika kau yang memanggilku, bagaimana mungkin aku menolak?” goda Piter dengan nada ringan.
Evelyne meneguk tehnya sejenak sebelum akhirnya meletakkan cangkir dengan hati-hati. Ia menatap Piter dengan serius, menunjukkan bahwa pembicaraan kali ini bukan sekadar percakapan ringan.
“Ada sesuatu yang ingin kubahas,” katanya, nadanya tetap tenang namun jelas. “Mengenai masa depan kita.”
Piter mengangkat alisnya sedikit, tetapi tidak terlihat terkejut. Ia menautkan jemarinya di atas meja, seolah memberi sinyal bahwa ia siap mendengarkan.
“Ayahku telah membahas perihal pertunanganku,” lanjut Evelyne. “Dan meskipun aku tahu bahwa hubungan kita berkembang dengan cara yang unik, aku ingin mendengar pendapatmu sendiri. Apakah kau bersedia untuk mengikat janji pertunangan denganku?”
Piter menghela napas ringan, lalu tersenyum. “Evelyne, kau tahu bahwa aku tidak pernah melakukan sesuatu yang setengah hati. Jika kita berbicara tentang pertunangan, maka bagiku itu bukan sekadar formalitas, melainkan janji yang akan kubawa hingga akhir.”
Evelyne menatapnya dalam diam sejenak, mencoba menakar ketulusan di balik kata-kata itu. “Jadi, kau tidak merasa keberatan?”
“Keberatan?” Piter terkekeh pelan. “Bagaimana mungkin aku keberatan ketika kau adalah seseorang yang selalu membuatku tertarik? Kau bukan hanya seorang Lady, tetapi juga seseorang yang bisa berdiri setara denganku. Jika ini tentang kesanggupanku, maka jawabanku sudah jelas aku bersedia.”
Senyum kecil terbit di wajah Evelyne, meskipun ia tetap mempertahankan sikapnya yang anggun. “Aku senang mendengarnya.”
Piter menatapnya dalam, lalu meraih tangannya dengan gerakan yang penuh kehati-hatian. “Tapi ada satu hal yang ingin kutanyakan, Evelyne.”
“Apa itu?”
“Apakah ini hanya karena tuntutan keluarga, atau kau sendiri menginginkannya?”
Evelyne terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata dengan jujur, “Awalnya mungkin karena keadaan, tetapi aku tidak akan mempertimbangkan ini jika tidak melihat masa depan bersamamu.”
Piter tersenyum lebih lebar. “Kalau begitu, aku akan memastikan bahwa masa depan yang kau bayangkan akan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar harapan.”
Evelyne menarik napas sebelum melanjutkan, memastikan setiap kata yang keluar dari mulutnya jelas dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. “Piter, sebelum kita benar-benar bersepakat, ada beberapa hal yang ingin kutegaskan. Aku ingin pernikahan kita, jika nanti terjadi, didasarkan pada komitmen yang utuh.”
Piter menyesap kopinya dengan tenang, lalu meletakkan cangkirnya kembali ke atas piring kecil. “Katakan saja, Evelyne. Aku menghargai kejujuranmu.”
Evelyne menatap matanya dalam. “Aku tidak akan menerima adanya orang ketiga dalam rumah tangga kita. Tidak ada selingkuhan, tidak ada selir, dan tidak ada wanita lain, dengan alasan apa pun.”
Piter terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil, nada suaranya terdengar hangat dan tak terduga.
Evelyne mengerutkan kening, sedikit bingung dengan reaksinya. “Apa yang lucu?”
Piter menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatapnya dengan penuh minat. “Seharusnya aku yang mengajukan syarat seperti itu, bukan kau. Bagaimana mungkin aku membiarkan pria lain mendekatimu? Kau berpikir aku ingin berbagi dengan orang lain?”
Evelyne masih mempertahankan ekspresinya yang serius. “Aku tidak berbicara tentang perasaan saja, tetapi juga tentang prinsip. Banyak bangsawan yang memiliki istri sah tetapi tetap memelihara selir. Aku tidak akan pernah menerima itu.”
Piter menatapnya dengan intens, lalu mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Evelyne yang tergeletak di atas meja. “Evelyne, dengarkan aku baik-baik. Aku bukan pria yang terbiasa berbagi, baik itu dalam politik maupun dalam hubungan. Jika aku memilih seseorang, maka itu hanya satu orang. Aku tidak memiliki minat untuk menambah orang lain di dalam hidupku.”
Evelyne menatapnya, mencari tanda-tanda kebohongan dalam matanya. Tapi yang ia lihat hanyalah ketegasan dan kejujuran.
Piter tersenyum lebih dalam. “Dan kalau kita berbicara soal keuntungan, syarat yang kau ajukan itu justru sangat menguntungkan bagiku.”
Evelyne sedikit terkejut. “Menguntungkan?”
Piter mengangguk. “Tentu saja. Karena dengan begitu, aku tak perlu bersusah payah menyingkirkan orang-orang yang berusaha masuk di antara kita. Aku hanya perlu memastikan bahwa aku cukup baik untuk membuatmu tetap memilihku.”
Evelyne terkesiap mendengar pernyataan itu. Ada sesuatu dalam nada suara Piter yang begitu yakin dan kuat, seolah ia tak pernah ragu sedikit pun tentang perasaannya.
Piter menatapnya lebih dalam, lalu menambahkan dengan nada yang lebih lembut, “Jadi, jika kau khawatir aku akan mendua, singkirkan kekhawatiran itu. Karena aku tidak akan memberi kesempatan bagi siapa pun untuk merusak apa yang akan kita bangun bersama.”
Evelyne menunduk sesaat, menyembunyikan senyumnya yang nyaris tak tertahan. Ini adalah pertama kalinya ia merasa benar-benar yakin bahwa keputusannya tidak akan membawa penyesalan.