Menyukai seseorang itu bukan hal baru untuk Bagas, boleh dibilang ia adalah seorang playernya hati wanita dengan background yang mumpuni untuk menaklukan setiap lawan jenis dan bermain hati. Namun kenyataan lantas menamparnya, ia justru jatuh hati pada seorang keturunan ningrat yang penuh dengan aturan yang mengikat hidupnya. Hubungan itu tak bisa lebih pelik lagi ketika ia tau mereka terikat oleh status adik dan kakak.
Bagaimana nasib kisah cinta Bagas? apakah harus kandas atau justru ia yang memiliki jiwa pejuang akan terus mengejar Sasmita?
Spin off Bukan Citra Rasmi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hipertenlove~ Bab 23
Rinduku akan semakin bertambah setiap harinya, bahkan sudah melebihi besaran gunung tangkuban perahu saat ini.
...Wilang...
...----------------...
Wilang memandang Sasi lekat nan intens, bahkan tak rela kehilangan satu detik pun demi melihat den raranya yang semakin tumbuh mempesona itu. Lalat nemplok di pipi saja tak ia hiraukan, saking tak tergoyahkannya.
Tak taukah Sasi, usaha yang ia lakukan selama ini, belajar bersungguh-sungguh, mendapatkan beasiswa adalah usahanya untuk memantaskan diri.
Abdi dalem mendapatkan seorang majikan ningrat-nya? Maka akan bermuara pada kemustahilan. Bukan ia meragukan takdir Tuhan, justru karena ia percaya tak ada yang mustahil bagi Allah, maka persepsi urban legend itu akan ia patahkan.
Kalau ia yang seorang abdi dalem, hanya seorang anak melarat yang diasuh oleh keluarga menak akan mampu memiliki putri ningrat pujaan hatinya.
"Den rara apa kabar?"
Gazebo samping menjadi tempat menyenangkan yang dipilih Sasi demi menggiring para sepupunya termasuk Wilang menjauh dari dunia orang dewasa dengan obrolan seberat palu thor mereka. Dan kini, meski sebagian memilih bermain ponsel dan menyelami dunia virtual, sepupu dan sanak saudaranya yang masihlah piyik disuguhi jamuan permainan tradisional milik Sasmita dan Asmi dulu.
Permainan-permainan itu senantiasa tersimpan rapi di satu ruangan, yang biasanya dijejali untuk Kelana dan Dara saat mereka berkunjung kesini.
Biji-biji kerang kecil sedikit berisik di telinga, kala Rai dan Raka bermain congklak.
"Udah mati ya, sekarang giliran Ai..." ujar gadis bocah berusia 6 tahun itu.
Bersama dengan suguhan awug beras buatan ambu Darmi, ibunda Wilang yang masih hangat menemani bandrek, bajigur dan kacang rebus, Sasi tak hentinya melahap dan senyap saat makan. Hanya sesekali menimpali Kemala bicara bersama Sedayu.
Hangatnya awug sehangat hati Wilang sekarang, setelah beberapa tahun ini hatinya terasa kosong, sebagian jiwanya tertinggal di Bandung, maka mulai hari ini serpihan hati itu mulai terkumpul kembali.
Bahkan kemanisan seorang raden rara Kemala Sari saja tak dapat menggeser sedikit pun tahta Arum Sasmita dari hatinya. Seolah nama Sasi telah terpatri sejak lama di palung hati dan tak akan pernah lekang oleh waktu.
Sasi melihat keseluruhan badannya dari ujung kaki ke ujung rambut sejenak demi menjawab pertanyaan Wilang, memastikan kalau jawabannya nanti adalah fakta, "sejauh ini sih makin cantik, makin bo hayyy, makin yahud!"
Kemala tertawa. Sasmita, sepupunya satu itu emang agak kurang waras. Tapi justru itulah yang membuat orang-orang menyukainya.
Arum Sasmita lah alasan Wilang menolak semua gadis di sekolah, termasuk dirinya yang sempat merasa terhina saat abdi dalem ini terang-terangan menolaknya. Arum Sasmita lah alasan, den bagus Surya Kembara, cucu dari priyai ternama di tanah Kuningan mati-matian berlatih demi mengikuti acara seren taun nanti.
Pemuda yang tak memiliki minta sedikitpun pada hal-hal berbau adat budaya dan lebih terbawa arus modernisasi nan kebarat-baratan itu berputar 180 derajat dari pecinta basket dan dunia kekinian ke arah sanggar budaya demi tampil memukau di depan Sasi.
Ia ingin seperti Sasi, dimana segala yang ada di diri Sasi dicintai orang-orang, bahkan celotehannya membuat orang riang tak terkira, membuat orang lain merasa hangat. Alih-alih membuat semua terpukau dan mengagumi, ocehan Kemala justru terdengar garing.
Alva memutuskan untuk pulang, setelah magrib dan makan malam menemani keluarga besar Rashmi.
"Akang tungguin Sasi ih!" serunya keluar kamar dengan membawa tas gendong saat menemukan Alva melengos pamit, bersiap menyalakan mobil.
"Eh, mau kemana ini?" tanya amih, begitupun dengan semua mata yang mendarat pada gadis cantik bersurai panjang nan hitam yang baru saja keluar kamar dengan hebohnya nan tergesa itu. Sasi membawa serta tas kain berisi buku dan baju seragam.
"Si, *bade kamana geulis*?" (mau kemana cantik) enin dan para uwa kebetulan masih bersantai meski rombongan keluarga sudah terpencar di setiap sudut kediaman Kertawidjaja.
"Mau kemana, Si? Aku kesini kamu malah kesana..." tanya Mala.
"Mau ikut akang ke rumah teteh." Sasi menyalami satu persatu sepuh di rumah itu dan bergegas menyusul Alva yang baru sampai di gawang pintu. Meski sedikit kebingungan, enin dan para uwa tak urung menerima salim itu.
"Harr! Ai si neng...masa keluarga besar kesini, tuan rumahnya malah pergi?" ujar Uwa Ageng.
Sasi tersenyum, "nemenin teteh jaga lilin, wa."
Bagaimana tidak, Kemala sampai menyemburkan makanan di kunyahannya saat mendengar Sasi berbicara sembrono begitu.
Melihat wajah horor amih, Sasi langsung meralatnya, "maksudnya jaga lilin di deket kuburan plasentanya Alit."
Enin menggeleng, kenapa gen semprul putranya harus turun dan tumplek semua pada Sasi, tidak...bukan hanya Sasi saja melainkan Candra juga.
Apih Amar memang putranya yang paling somplak diantara putra putri lainnya. Bahkan ia sempat tak percaya jika wanita yang ia perjuangkan adalah Sekar Taji, seorang gadis ronggeng yang terkenal judes nan galak.
Sempat menduga Amar akan berjodoh dengan salah satu anak gadis menak. Nyatanya ia justru memperjuangkan cinta gilanya terhadap Sekar Taji yang hanya seorang gadis ronggeng turunan sikep sentana.
Padahal dulu sekali, anak gadis menak banyak sekali yang menyukai Amar muda karena kepribadian humble, pintar, menyenangkan, hangat dan humoris, ditambah paras apih Amar yang memang rupawan menjadikannya nilai plus meski minusnya sebagai manusia adalah nakal, paling berbeda, paling frontal dan paling sering kena hukuman keluarga kasepuhan.
Alva mengangguk, "kirain ngga jadi nginep?"
Wilang baru saja tiba dari dapur membantu ibu membawa serta nampan camilan setelah makan malam mereka, ia lantas ikut mendaratkan ketidakpercayaannya melihat Sasi yang memutuskan untuk pergi.
"Loh, loh...kok begitu?!" amih Sekar menaruh sejenak cangkir kunyit asam miliknya.
Apih Amar berdehem melepas rasa tak nyaman, pasalnya ialah yang meng-acc kepergian Sasi.
"Apih yang ijinin kok..." ketus Sasi.
Setelah perdebatan dan penjelasan apih, akhirnya Sasi bisa lolos pergi dari rumah bersama Alvaro.
"Apa saya harus ikut den rara, raden nganten?" tanya Wilang, meski harus merasa malu karena terkesan mengemis namun sepertinya ia harus bertanya seperti itu, tak mau dianggap tak becus menjalankan tugas yang tempo hari raden nganten Sekar Taji tugaskan untuknya.
Yap! Waktu lalu, den nganten meminta pada dirinya dan ibunya untuk pindah ke Bandung demi kembali menjadi pengawal Sasi.
Bagas baru saja sampai di rumah, tapi ibun sudah kembali menyuruhnya bersiap.
"Cepet atuh Gas..."
"Udah ngga usah mandi, ngga usah siap-siap lagi....gitu aja udah cakep!"
"Bentar atuh bun, meni kameumeut sama cucu. Liatin Bagas aja atuh, sama unyu nya sama Alit..."
Ganis merotasi bola matanya, "kamu mah udah kebanyakan dosa. Males ibun liatnya...cepet!"
Bahkan gorengan masih di mulutnya, Bagas sudah harus kembali memakai helm, saking ibunnya itu memburunya.
Sampai tak sadar ia naik motor dengan sandal jepit milik ibun, "ya udah hayuk atuh!"
.
.
.
.
.
sedih aku kalau ingat kamu Lang, tapi mohon maaf, restu aku sudah kuberikan pada a' Bagas. kamu sama yang lain aja ya 🙏🙏🙏
haturnuhun updatenya teh Sin, semoga selalu sehat dan dilancarkan urusannya 🤲🤲😇