Menyukai seseorang itu bukan hal baru untuk Bagas, boleh dibilang ia adalah seorang playernya hati wanita dengan background yang mumpuni untuk menaklukan setiap lawan jenis dan bermain hati. Namun kenyataan lantas menamparnya, ia justru jatuh hati pada seorang keturunan ningrat yang penuh dengan aturan yang mengikat hidupnya. Hubungan itu tak bisa lebih pelik lagi ketika ia tau mereka terikat oleh status adik dan kakak.
Bagaimana nasib kisah cinta Bagas? apakah harus kandas atau justru ia yang memiliki jiwa pejuang akan terus mengejar Sasmita?
Spin off Bukan Citra Rasmi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hipettenlove~ Bab 28
~Kemala~
Sampai acara berakhir, Sasi tak jua muncul, amih semakin meradang dibuatnya. Namun apa daya, di depan keluarga besar ia tak bisa menunjukan kemarahan itu.
Kemala mencari keberadaan Sasi, sejak semalam kepergiaannya. Ia tak lagi bisa menemukan Sasmita. Sudah bertanya pun, jawabannya hanya sedang keluar sebentar.
Ia sangat tau jika Sasi tak ada selama acara den Alit berlangsung, bahkan sampai mereka memutuskan untuk kembali ke kediaman Kertawidjaja, Sasi belum muncul juga.
Tak sengaja, saat ia hendak ke dapur. Kemala mendengar obrolan bernada kesal dengan suara yang sedikit meninggi dari bi Sekar. Langkahnya terhenti, saat ia mengurungkan niatan untuk mengambil piring.
Satu hal yang ia tau, Sasi memang tak berada disini saat ini. Entahlah, ada perasaan iba, bercampur tak habis pikir yang menggantung di ulu hati. Namun setengah dirinya mengatakan ia, senang.
Mengetahui kelemahan Sasi satu itu, setidaknya ia bisa merasa di atas angin sekarang.
"Menguping itu ngga baik, den rara..."
"Astagfirullah!" Hampir saja Kemala terperanjat hingga menyembulkan diri, kala seseorang memergokinya tengah menguping. Siapa lagi jika bukan, Wilang...
Bibirnya manyun, bahkan riasan saja tak bisa menutupi wajah tak sukanya saat Wilang menegur, "ngga sengaja denger." Singkatnya ketus dan melengos meninggalkan Wilang yang menatapnya dengan sorot mata mencecar.
"Tau deh, yang ayangnya lagi diributin...siap-siap aja Sasi kena hukum bi Sekar. Kamu bisa jadi hero udah ini, jadi nanti den....gampang aku taklukin."
Kemala menghentikan langkahnya dan menoleh, "sama satu lagi. Siapa nama adeknya a Alvaro teh? Yang ganteng?" senyum Kemala begitu genit menyebutkan deretan nama lelaki itu. Wilang menggeleng prihatin.
"Masih mau kamu, Lang? Sama putri pembangkang? Lagian jalan kamu ngga akan mudah kalo menyangkut sama bi Sekar...bibi tuh orang dengan level gengsi tertinggi di keluarga, kamu pasti tau itu." Kemala benar-benar meninggalkan Wilang bersama pikirannya.
.
.
.
"Si...udah ini bener pulang, ya?" Bagas sudah membujuknya berulang kali agar si adik manis ini mau pulang. Banyaakkkk sekali permintaannya setelah mereka akhirnya berhasil minta ijin pulang duluan.
Seblak, cakwe odading, chessecuit, dan terakhir....gadis ini meminta jalan-jalan ke mall. Dengan dalih lagi butuh sesuatu dan ngga bisa dinanti-nanti.
Bahkan ancamannya begitu nyata, aa kalo mau pulang, pulang aja. Sasi bisa sendiri....
Hingga akhirnya, Bagaslah yang menuruti kemauan Sasi meskipun ujung-ujungnya Bagas juga ikut setuju dan hanyut dalam kebersamaan.
Layaknya sepasang kekasih, Bagas selalu menggandeng bahkan merangkul Sasi.
Tangan Sasi sudah penuh oleh kresek jajanan, dan Sasi...memilih duduk-duduk di taman kota demi menghabiskan jajanannya itu.
"Aa sengaja ijin ngampus?"
"Iya. Ngga ada mata kuliah penting juga...tugas udah dikasiin." Bagas ikut mengunyah jajanan miliknya di bangku taman, tepat di samping Sasi duduk seraya menikmati teriknya matahari di bawah lindungan pepohonan besar. Meski cuaca panas, namun rimbunnya dedaunan diantara taman pinggiran kota membuat hawa sejuk tetap terjaga.
Bukan hanya mereka saja yang memilih taman kota ini sebagai persinggahan, beberapa warga lain, anak sekolah, remaja kampus, bersama pedagang asongan ikut mengisi keramaian.
"Perut kamu kaya karet, Si. Mau nyamain si luppy."
Sasi tersenyum, "mamayu..." jawabnya singkat mengundang decakan Bagas, "kapan sakitnya?"
"Tiap hari." Kembali lirihnya singkat, Bagas hanya menggeleng meski ia tau Sasi sedang jujur, "ucapan adalah do'a. Mau gitu, sakit tiap hari?"
Sasi hanya memandangnya mencibir, "udah kok."
"Ngaco."
"Abis ini kita pulang, a...kayanya acara di rumah teh Asmi juga udahan." Dan demi apa? Ucapan Sasi barusan menyadarkan Bagas, jika sebenarnya sejak tadi, gadis ini memang sedang mengulur waktu agar tak menghadiri acara di rumah.
"Ck..ck...bukan main bungsunya apih Amar. Kamu teh sengaja?" alis Bagas terangkat sebelah dan menjewer telinga Sasi.
Sasi tertawa bercampur mengaduh, "iya ihh! Aww...udah ah. Biar ngga ketemu amih sama yang lain, lah...males."
Bagas masih menggeleng, "harusnya tadi teh, a Bagas seret kamu, Si...ck. Makin aja kamu teh nanti di hukum amih, Si...ngga bosen kamu?" rasa kasihan, khawatir, tak tega bercampir jadi satu kini di hati Bagas, perih rasanya ketika ia harus menyadari satu hal, Sasi akan kembali tersakiti.
Pernah satu waktu, Bagas mendapati kaki Sasi yang tergores di bagian dekat mata kaki, dengan alasam jatuh dan tergores yang Sasi ucapkan, Bagas tak percaya. Karena sesaat setelahnya, teh Asmi mengatakan padanya jika ia mendapatkan laporan dari ambu Endah, jika amih menjepret kaki Sasi dengan sapu lidi akibat mengacaukan arisan grup sosialita amih sekaligus membuat amih malu di acara pertemuannya dengan anak-anak sahabat amih, sebab ia yang menonjok anak sahabat amih yang sudah menggoda dan genit padanya hingga terluka dan berda rah.
Sasi membalas Bagas dengan senyum lebar namun menggoreskan lukanya, "udah biasa, a."
"Makanya, hari ini Sasi milih buat keluar...karena Sasi ngga tau, setelah ini masih bisa keluar apa engga. Amih aja udah bawa Wilang kesini, Sasi tau...bukan amih yang mau pendidikan Wilang lebih bermutu di Bandung, sampe bela-belain mau jamin sekolah Wilang sampe universitas...tapi amih mau, Wilang balik lagi jadi penjaga Sasi..." lirihnya mengutarakan isi hati. Semilir angin siang ini begitu lembut, bahkan terlalu lembut untuk mengiris hati yang telah terluka.
"Kalo kita anggap amih ngga tau sama konser a Bagas yang Sasi datengin tempo hari, kita salah...she is, the eye of the world-nya Sasi."
Bagas mengerjap, dan mengeraskan rahangnya demi kenyataan yang luput ia sadari itu.
"Jadi, daripada Sasi dihukum cuma karena ikut tanding. Sekalian aja Sasi abisin hari ini...toh tetep sama-sama dihukum, kan?"
Bagas menatapnya getir, meraih Sasi ke dalam pelukannya, "ngga bisa kah kamu ngga bikin ulah yang bikin kamu dihukum terus, Si?"
Sasi tertawa dalam air mata yang telah menetes, dan ia berucap lirih dengan bergetar, "ngga bisa, a."
Keduanya tertawa dengan Bagas yang memeluk Sasi lebih erat lagi, "my girl..." ucapnya.
"A..." Sasi mengurai pelukannya. Tanpa harus berujar, Bagas sudah menatap Sasi demi mendengar apa yang akan dikatakannya dengan penuh harap, namun Sasi mengukir senyum usilnya, "pulang yuk...mules eummm kekenyangan."
Bagas berdecak dan mendorong jidat Sasi, "kamu mah! Kaya burung cangkurileng! Abis makan terus buang aer!"
***
Dan benar, ketika Sasi dan Bagas sampai di rumah Asmi. Kondisi rumah kakaknya itu sudah lebih sepi. Tak ada keramaian yang kentara layaknya hajatan atau acara selametan. Itu artinya mereka sudah kembali menyisakan ruang carport yang menyatu dengan halaman rumah Asmi berserakan oleh sampah.
Dan ambu Lilis serta mang Eka, tengah saling menggoda dan bercanda tawa seraya membereskan sisa-sisa acara.
Entah, katanya acara den Alit...akan digelar pula di kasepuhan, cirendeu dan cigugur nantinya, setelah drn Alit berusia lebih dari 40 hari.
"Den rara!"
"Aduhh aden, kamana wae atuh! Dari tadi pada dicariin..." ambu Lilis menyeru dengan mang Ujang dan mang Eka ikut menyerbunya datang.
"Si neng ikutan lomba dulu, ambu..." jawab Bagas yang memarkirkan motornya.
"Disini aja den," tunjuk mang Ujang memberikan ruang pada motor Bagas.
Sasi turun dan melangkah lebih dalam, "tinggal siapa di dalem, bu?" tanya Sasi berbisik, pasalnya ia masih melihat dua mobil di sana.
"Masih ada----"
"Bagus! Jam segini baru balik, bikin yang lain susah." Suara dingin nan kelam Bajra menyambut kedatangan Sasi di gawang pintu.
Sasi langsung nyengir menatap kakak pertamanya yang bersender di gawang pintu sambil mendekap dada.
"Aa--kuhh, yang ganteng...lama tak berjumpa, aa! Sehat, a?" Sasi meraih punggung tangan Bajra dengan paksaan lalu menyalaminya takzim, hendak memeluk sang kakak namun Bajra lantas menghindar meski ujungnya Sasi berhasil memeluk Bajra.
"A, Sasi ngga najiss ih!" cebiknya.
"Neng!" tegur Bajra jelas sedang tak ingin bermain-main pada adik bungsunya yang sifat pembangkangnya itu mengalahkan Candra.
"Emang a Candra sama teh Katresna ngga bilang gitu, a?" tanya Sasi.
"Kamu tau, amih marahnya kaya apa tadi, neng?" cecar Bajra lagi.
Sasi menghela nafasnya menatap Bajra dengan tatapan kosongnya, "alhamdulillah Sasi capek hari ini, tadi Sasi lolos babak penyisihan pencak silat tingkat SMA sekota Bandung, ngalahin anak-anak sekolah lain, yang tangguh itu dari SMA negri XX. Tapi alhamdulillah Sasi bisa masuk perdelapan final..." jawab Sasi kemudian melengos masuk ke dalam seketika membuat Bajra terdiam, Bagas yang menyusul hanya bisa merasa getir dan mang Ujang...hhufft, ikut miris.
.
.
.
.
.
Kamu kemanaaaa....
ko' gak nongolllll.....
tp kasian jugaa ya
semangat mbksin bikin sasi vs amih membara yah! 😉
beugh, sasi masih sma udah terjal aja jalan hidupnya, masih dengan amih yang sama ternyata....