Pernikahannya dengan Serka Dilmar Prasetya baru saja seminggu yang lalu digelar. Namun, sikap suaminya justru terasa dingin.
Vanya menduga, semua hanya karena Satgas. Kali ini suaminya harus menjalankan Satgas ke wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste, setelah beberapa bulan yang lalu ia baru saja kembali dari Kongo.
"Van, apakah kamu tidak tahu kalau suami kamu rela menerima Satgas kembali hanya demi seorang mantan kekasih?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Tidak Sadar Keceplosan
"Boleh kami duduk di meja yang sama?" tanya Dilmar mengurai keterkejutan Vanya dan keharuan Sidik yang kini bisa melihat Vanya kembali setelah lima tahun tidak bertemu.
"Abang." Vanya berbisik memberi kode dengan colekan di tangan Dilmar. Akan tetapi Dilmar tidak menghiraukan kode dari Vanya, sebab dia ingin menyelesaikan semua di sini. Agar Sidik tidak mengganggu Vanya lagi.
"Sayang duduklah," ujar Dilmar mempersilahkan Vanya. Vanya duduk di sebelah Dilmar dan mereka berdua kini berhadapan dengan Sidik.
Sejenak Dilmar menatap lekat ke arah Sidik, pemuda yang lebih muda darinya. Sidik memang mempunyai kelebihan darinya, lebih muda, wajah tampan serta bersih, dan sepertinya jabatan yang dipegang di perusahaan Migas, merupakan jabatan lumayan tinggi dan tentu saja gaji yang tinggi. Dilmar akui kalah dalam dua segi itu, jika Vanya belum menikah, tentu saja dia akan lebih memilih Sidik.
"Jadi, ini siapa Van? Apakah ...."
"Perkenalkan nama saya Dilmar Prasetya, saya suami dari Vanya Anjani. Kami sudah menikah kurang lebih 10 bulan yang lalu," ujar Dilmar memotong ucapan Sidik. Dilmar memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangannya ke arah Sidik.
Sidik mengerutkan keningnya dalam sambil menggenggam tangan Dilmar. Wajah Sidik terlihat tegang dan memerah setelah mendengar perkenalan Dilmar barusan.
Vanya hanya diam saja, dia tidak berani menyalami Sidik. Hatinya benar-benar gelisah, kenapa Sidik sampai menyusulnya kemari dan bertemu di sini.
"Abang, jadi kejutan yang Abang bilang ini adalah A Sidik?" Vanya berbisik di telinga Dilmar. Dia betul-betul tidak kuasa harus berhadap-hadapan dengan Sidik, mantan pacarnya dulu saat masih belajar di bangku SMK.
"Iya, dan yang balas chat kamu itu adalah saya, bukan istri saya," lanjut Dilmar seraya menatap Sidik. Sidik terpaku dan hilang kata-kata. Untuk sejenak ia tidak bicara.
Lima tahun berlalu, Sidik menduga Vanya belum menikah, sehingga ia memutuskan mencari Vanya dengan maksud akan melamarnya.
Sebuah buket bunga dan kotak cincin teronggok di depan Sidik. Tadinya buket bunga dan cincin itu akan Sidik persembahkan untuk Vanya hari ini. Tapi kini harapannya hancur sudah, Vanya yang akan ia lamar ternyata sudah menikah dan memiliki pasangan dari kalangan aparat negara.
"Kamu benar sudah menikah, Yang, maksudku, Van?" Akhirnya Sidik memberanikan diri bertanya setelah beberapa saat sempat terpaku.
Dilmar menatap kesal ke arah Sidik, sudah dijelaskan diawal, tapi masih belum percaya juga. Tapi Dilmar sedikit memberi kesempatan untuk Sidik berbicara dengan Vanya selama ada dirinya di hadapan mereka.
"Iya, Vanya sudah menikah 10 bulan yang lalu, dan ini suami Vanya," ujar Vanya seraya menunjukkan Dilmar dengan jarinya.
Sidik nampak sangat kecewa, mukanya berubah memerah, pertanda ia kecewa berat.
"Aa pikir kamu belum berubah, tapi kenapa secepat itu kamu berubah Van? Tidakkah kamu ingat janji Aa yang akan datang menemuimu suatu saat, dan hari ini Aa memenuhi janji itu," ungkap Sidik mulai berkaca.
"Maaf, mungkin kita belum jodoh A. Aa telat mendatangi Vanya. Seandainya sepuluh bulan yang lalu Aa mendatangi Vanya, mungkin saja kita jodoh," balas Vanya.
"Apa?" Dilmar terkejut dengan kalimat yang barusan Vanya lontarkan pada Sidik. Vanya langsung menutup mulutnya, ia tidak sadar sudah melontarkan kata-kata yang seharusnya tidak ia katakan di depan Dilmar.
Dilmar mendilak, hatinya kesal dan kecewa dengan Vanya. Jadi, kini jelas sudah jawaban Vanya. Harusnya tadi saat dia menanyakan kepada Vanya, seandainya Vanya belum menikah dengannya, siapa yang akan dipilih Vanya, tapi Vanya justru memilih tidak keduanya. Tapi barusan Vanya benar-benar keceplosan, dan kalimat barusan merupakan sinyal kalau sesungguhnya jawaban Vanya adalah lebih memilih Sidik daripada dirinya.
Dilmar benar-benar kecewa dengan ungkapan Vanya yang barusan keceplosan. Jangan-jangan saat ini Vanya memang sedang berpura-pura mencintainya imbas dari foto kebersamaan dirinya dan Sela.
"Aa menyesal pengajuan pindah Aa ke kota Bandung baru di acc bulan ini. Sebetulnya Aa sudah mengajukan pindah ke Bandung setahun lalu. Akan tetapi atasan Aa baru acc nya bulan ini di tahun ini," ungkapnya penuh sesal.
"Maaf, apakah kalian masih belum selesai bicaraya. Kalau masih belum selesai, silahkan dilanjutkan," ucap Dilmar seraya bangkit lalu membalikkan badan dan bergegas meninggalkan meja yang barusan ia tempati.
Vanya dan Sidik terkejut. Vanya segera berdiri lalu mengejar Dilmar. "Abang, tunggu," tahannya dengan penuh rasa bersalah.
"Yang," teriak Sidik.
"A, Vanya mohon maaf, Vanya harus pergi dan menyusul suami Vanya. Mengenai pembicaraan Aa itu, lupakan. Karena Vanya sudah tidak sendiri lagi. Sekali lagi Vanya minta maaf, semoga Aa bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik dari Vanya," ujar Vanya sambil berlalu. Vanya berlari kecil menyusul Dilmar yang pergi dengan kecewa.
Sidik menatap kepergian Vanya dengan sedih dan kecewa. Ia meremas buket bunga dan kotak cincin yang tadinya akan ia persembahkan untuk Vanya, yang terpaksa harus gagal.
"Vanya, kenapa kamu harus menikah dulu dan tidak menunggu Aa? Aa mencintai kamu, Van," ucapnya terdengar sangat menyedihkan. Sidik menangis di sana, ia tidak kuasa kehilangan Vanya.
"Kamu tidak tahu perjuangan Aa saat Aa berkuliah demi mendapatkan pekerjaan mapan supaya bisa melamarmu. Tapi kini setelah Aa mendapatkan semua, kamu justru menikah dengan yang lain," sesalnya terisak. Lelaki semapan dan setampan Sidik menangis gara-gara kehilangan Vanya.
Sidik mulai berdiri membenahi kemejanya yang kusut, dia meninggalkan Kafe Daun dengan hati yang teramat kecewa. Saat melewati tong sampah, Sidik meremas buket bunga itu dan membuangnya.
***
Sementara itu Vanya masih terus berlari kecil mengejar Dilmar yang kini sudah memasuki mobilnya. Vanya yakin, Dilmar pasti meninggalkannya karena kecewa dengan ucapannya tadi yang keceplosan.
"Abang tunggu," tahannya lagi pada mobil yang masih belum Dilmar jalankan. Vanya menarik handle pintu mobil yang langsung terbuka, ternyata Dilmar tidak menguncinya dan dugaannya ternyata salah. Dilmar tidak meninggalkannya.
"Kenapa harus menyusul aku, kenapa tidak kamu kejar saja laki-laki itu? Dia lebih segalanya dari aku, kan?" oceh Dilmar melampiaskan kemarahannya pada Vanya. Vanya tidak menjawab, dia kembali memikirkan ucapannya tadi yang betul-betul tidak disadarinya. Vanya benar-benar lupa kalau Dilmar berada bersamanya.
"Maafkan Vanya Bang, Vanya salah," ucap Vanya mengakui.
"Kamu tidak salah, justru yang kamu katakan tadi adalah jawaban sesungguhnya dari hati kamu. Kenapa tidak kamu jawab dari awal saat aku memberi pertanyaan jika kamu belum menikah kamu pilih lelaki itu atau aku? Kamu menjawab tidak keduanya, tapi pernyataanmu tadi sudah menjelaskan sebuah jawaban dari pertanyaanku. Ternyata kamu juga munafik," umpat Dilmar seraya menghidupkan mesin mobil dan melajukannya dari parkiran itu dengan kencang.