"Assalamualaikum, boleh nggak Alice masuk ke hati Om dokter?" Alice Rain menyengir.
Penari ice skating menyukai dokter yang juga dipanggil dengan sebutan Ustadz. Fakhri Ramadhan harus selalu menghela napas saat berdiri bersisian dengan gadis tengil itu.
Rupanya, menikahi seorang ustadz, dosen, sekaligus dokter yang sangat tampan tidak sama gambarannya dengan apa yang Alice bayangkan sebelumnya.
Happy reading 💋
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan sweet!
Waktu?! Jadi waktu yang Alice keluhkan hingga keinginan cerai tercetus. Fachry beristighfar, tentu saja karena kalimat Alice cukup menyinggungnya.
"Aku tidak akan menceraikan mu."
Alice menghentak kaki polos tanpa alasnya, ia lantas berlari keluar gedung. Fachry hela napasnya berat, beristighfar sekali lagi.
Terkadang wanita senang berpikir terlalu rumit untuk hal yang sederhana. Andai wanita sebuah materi ujian, mungkin Fachry tak bisa lulus hanya karena tak menguasai rumusnya.
Sejauh ini, Fachry berusaha lebih tenang lagi, yah, ... emosi takkan menyelesaikan masalah yang sebenarnya tidak cukup berat. Sebab bagi Fachry, yang berat hanya bersyukur.
Alice yang masih dibalut amarah, wanita itu mengendarai mobilnya kembali, kali ini lebih ugal- ugalan. Mengebut, dan Fachry terpaksa harus mengimbangi laju kendaraan istrinya.
Cemas, khawatir, panik, di bibirnya hanya keluar doa yang Fachry rapalkan. Hingga ketika tiba di kediaman minimalis mereka, Alice menghentikan mobilnya.
Rupanya sudah ada ibu mertua yang berdiri di depan teras sana. Widya tampak lebih sumringah ketika tahu jika mobil yang terparkir di depan pagar rumah putranya, tidak lain ialah menantu Barbie-nya.
"Cah ayu!" sapanya seraya berlari mendekat.
Sontak, Alice meraih abaya hitam miliknya kembali lalu memakaikannya dengan serampangan saja. Dia lupa mengganti pakaian setelah ice skating saking kesalnya.
Alice keluar setelah rapi, secara bersamaan Fachry pun tiba. Mobil mereka tak bisa masuk garasi, sebab, sudah ada mobil yang terparkir di sana rupanya.
Mungkin, mobil yang membawa Widya ke Jakarta atau, entah lah, karena sepertinya mobil itu masih baru.
Ada pita merah besar yang membungkusnya, tipe mobil yang tidak murah, tipe mobil yang sama dengan mobil milik Alice sebelumnya.
"Assalamualaikum." Alice mencium punggung tangan ibu mertuanya. Dan langsung mendapat pelukan hangat wanita itu.
"Wa'alaikumusalam."
Widya rindu gadis Barbie ini, makanya dia bela- bela datang ke Jakarta, meninggalkan rumahnya di Semarang hanya untuk memeluk Alice.
"Gimana kabar mantu Ibu?"
Masha Allah, Alice terpegun, sedari kecil dia ingin sekali memiliki kesempatan untuk melihat bagaimana cara seorang ibu rindu dan menanyakan kabarnya.
"Sudah makan?" tanya Widya. Dan goyangan tangan Widya membuyarkan lamunan Alice.
"Alhamdulillah, baik." Sebaik ini mertua Alice, dia jadi tidak rela bercerai. "Ibu gimana?"
"Baik sekali lah!" Widya lalu menepuk atap mobil mahal di sisinya. "Lihat, mobil barunya, kamu suka nggak, Mantu?"
"Mobil baru?" Alice lebih tercengang. Maksud dari kata mobil baru ini, apakah itu berarti dia yang memilikinya sekarang?
"Ini Fachry yang beli, buat kamu!" Widya lalu tertawa bahagia. "Akhirnya, setelah bertahun- tahun menabung, Fachry minta uang yang dititipkan ke ibu lagi buat beliin kamu ini!"
Alice sempatkan untuk melirik suaminya di belakang kanan. Di sana Fachry tampak diam tak memberikan statement apa pun selain menatapnya dengan raut tenang.
Kalau mobilnya datang hari ini. Bukankah, itu berarti, Fachry sudah lama memesannya, atau bahkan sudah lama memikirkannya? Tapi di sisi yang lain, Alice justru menganggap Fachry tak mencintainya.
Benar- benar tak ada suara Fachry sama sekali meski sang ibu telah datang. Mungkin, pria itu masih shock setelah Alice mendadak meminta sebuah perceraian yang tidak pernah diduganya sebelumnya.
"Kamu suka tah? ... Ini mobilnya sudah atas nama Alis awur awuran."
Alice tertawa walau sedang tidak ingin, Widya sangat lucu sekali. "Ellish, Awrhorhaaa Prwinsiss Rwein, Ibu mertua ku...," protesnya.
"Iya itu!" Keduanya terkakak bersama.
"Yo wes, kita makan ya! ... Ibu sudah buatkan masakan yang enak." Widya mengajak sang mantu masuk dengan merangkul, tapi Fachry justru mengangkat teleponnya.
Tampak, pria berkemeja putih itu menjauh dan berbicara di telepon. Widya lalu bertanya setelah Fachry menyelesaikannya.
"Ada apa, Le?"
"Fachry harus ke kampus lagi." Fachry menyatroni ibunya, mencium punggung tangan dan kening, lalu beralih meraih kepala Alice untuk dikecup kening serta pipinya.
Alice ingin menolak, tapi, tak enak jika Widya harus menyaksikannya, maka yang Alice lakukan hanya pasrah meski sebal. Lihat saja, Fachry bahkan pulang lagi ke kampus setelah dia meminta cerai.
"Mobil sudah boleh kamu coba." Alice juga akhirnya tak enak mendengar kalimat ustadz yang satu ini. Seolah mereka tak pernah ada pertengkaran sebelumnya. "Ini mobil pribadi kamu."
"Hati hati, Le." Widya melambaikan tangan, ketika Fachry masuk kembali ke mobilnya untuk melaju pergi secara perlahan.
Widya mendesah ke udara. "Padahal ibu masih kangen, Le, tapi kamu ini memang susah sekali diam di rumah buat nyenengin ibu. Apa lagi semenjak menikah, ibu minta waktu buat liburan bareng- bareng mantu wae, bilangnya lagi nggak bisa libur, soalnya lagi banyak pengeluaran bulan- bulan ini!"
Alice tercenung mendengar gerutuan Widya, jadi rupanya ada sesuatu yang terlewat untuk dia simak. Yaitu, alasan di balik kerja keras dan waktu seorang Fachry.
...🎬🎬🎬...
🎬🎬🎬
^^^🎬🎬🎬^^^
Seperti biasanya, Fachry akan pulang pagi karena sudah memberikan pesan pulang telat lagi, tapi kali ini Alice tak kesepian karena sudah ada ibu mertua yang bisa dikatakan jika mereka berada di frekuensi yang sama.
Sama- sama tak suka dengan jiwa penolong yang tertanam di diri Fachry. Keduanya bergosip, ya hanya seputar nama Fachry.
Kadang tertawa, kadang sedih, yang pasti Alice cukup menikmati waktu bersama ibu mertua yang sudah seperti ibunya sendiri.
Rambut pirang Alice dibelai di pangkuan paha Widya, di sofa, mereka sambil menonton film bersama. Masha Allah...
Alice baru pernah merasakan kehangatan tubuh dan perilaku seorang ibu, ternyata hal itu sangat menyenangkan, sama persis seperti yang selama ini dia bayangkan.
Alice tertidur pulas di sofa, dan pagi saat ingin shalat subuh, Alice sudah mendapati tubuhnya di ranjang. Mungkin, Fachry yang memindahnya ke sana.
Belum ada percakapan, Alice masih belum ingin membuka obrolan. Namun, setelah rapi dengan abaya miliknya, Fachry menyodorkan lembaran- lembaran kertas pada istrinya.
"Itu formulir pindah fakultas."
Alice menerima kertas tersebut, membacanya, dan dia tahu ini tidak murah untuk seorang Fachry yang memiliki banyak tanggung jawab di luar kewajiban nafkahnya.
"Ini mahal banget, kan?" tanya Alice.
Biaya pindah fakultas pun mahal, apa lagi universitas untuk manusia sekelas Alice yang sedari dulu serba mahal, tak mungkin juga Fachry memberikan yang gratis via beasiswa.
Sejatinya, Alice sendiri tak enak karena baru kemarin Fachry membelikannya mobil yang sangat- sangat mahal bahkan sama persis dengan mobil yang dia punya sebelumnya.
Tabungan Fachry banyak, jelas karena selama ini kehidupan Fachry dan orang tuanya tidak dengan bermewah- mewah meski sudah bisa dikatakan berlebihan dari segi uang.
"Kedokteran bukan passion kamu." Fachry sudah putuskan ini sedari kemarin. "Kamu pilih ke mana pun fakultas yang kamu mau, jangan siksa diri kamu lebih jauh."
Alice termenung, ah, entah juga kenapa dia tidak bisa menjawab omongan suaminya, yang kemarin masih membuatnya ingin meminta cerai saja.
Yang lebih membuat Alice terdiam tak berkutik lagi adalah, kecupan manis seorang Fachry kepada kening dan bibirnya.
"Selama Mas belum bisa mengurangi jam kerja, Mas, ... Kamu boleh lakukan hal yang menurut kamu tidak membosankan. Kamu boleh ice skating, kamu boleh main sama Dewi ke mana pun, Mas nggak akan larang kamu. Asal..."
Fachry memeluk tubuh Alice dengan serta kedamaian yang dia punya. "Jangan lagi meminta ku menceraikan mu."
Alice mencebik bibir memelas. "Sweet, banget sih ni orang! Kalau gini ceritanya, rasanya sayang banget buat cerai, godaan apa lagi yang kau dusta kan, Lice?"