Dendam Putri Pengganti

Zia mengedarkan pandangannya ke arah orang tuanya serta adik tirinya, sorot matanya menyimpan banyak luka yang tidak bisa di ucapkan dengan kata-kata.

"Aku selalu gak paham sama ucapan anak perempuan yang menganggap ayahnya sebagai cinta pertama." Zia menatap lurus Damian, lalu terkekeh pelan. "Cinta pertama apa? Nyatanya, Papi, ialah lelaki pertama yang buat aku patah hati se-patah-patahnya. Kalau ada julukan Ayah terburuk, mungkin Papi adalah juaranya tanpa perlu melakukan penilaian ulang."

Hening, Damian sama sekali tidak merespon ucapan putrinya. Dia masih tak percaya bahwa putrinya itu akan berani menjawab, bahkan mengoreksi keburukan dirinya. Selama ini Zia bukanlah gadis yang mampu melawan ucapan orangtuanya, terlebih Damian. Tapi saat ini, sebuah fakta baru saja menampar dirinya yang gagal menjadi sosok orang tua bagi Zia.

Dia tersenyum pahit menatap Damian. "Di dunia ini gak ada orang yang paling aku benci sedemikian besarnya selain kebencian yang aku rasakan sama Papi. Panggilan ‘Papi’ adalah toleransi terbesar yang aku kasih. Jadi, tolong jangan gak tahu diri dengan meminta lebih, apa lagi menyuruhku melakukan sesuatu yang merugikan harga diriku."

Zia berbicara datar dengan mata yang berkilat dingin. Damian terpaku menatap putrinya, tapi tak bisa dicegah hatinya berdenyut sakit mendengar segala kejujuran Zia.

Zia tersenyum pahit, karakter penjahat brengsek, egois, dan segala sifat busuk melekat pada dirinya. Hidupnya hanya diisi dengan kebencian dan rasa dengki, hingga membuat seluruh hatinya hitam. Tidak ada rasa belas kasih atau penyesalan ketika dia berbuat kejahatan, dia hanya akan merasa puas seolah hatinya yang kosong terisi penuh setelah melakukan kejahatan.

Sikap busuknya terbentuk bukan tanpa alasan, seperti pepatah yang mengatakan orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Zia dulu hanya anak kecil yang memimpikan sebuah keluarga bahagia yang mana dia adalah tuan putrinya.

Awalnya memang seperti itu, dia menganggap hidupnya sudah sempurna memiliki ayah dan ibu yang saling mencintai dan menyayanginya. Sampai di mana Zia mengetahui hidup sempurna yang selama ini dia bayangkan hanyalah semu. Sempurna adalah kata yang menutupi betapa cacat dan berantakan keluarganya.

Saat itu di hari ulang tahunnya, untuk pertama kalinya Zia merasa membenci kehadiran ayah angkatnya yang sebelumnya dia anggap sebagai ayah terbaik di dunia. Dia membenci Damian yang memilih hidup bersama selingkuhannya dan meninggalkan Mami angkatnya begitu saja. Dan di hari itu pula Zia mengetahui kisah pelik orang tuanya, mereka ternyata menikah karena perjodohan bukan cinta.

Damian dan Amanda, ibu Gaby dulunya adalah sepasang kekasih, entah karena alasan apa tiba-tiba Amanda pergi meninggalkan Damian yang saat itu sangat mencintainya. Damian patah hati, dia berusaha mencari Amanda tetapi tidak membuahkan hasil, Amanda menghilang. Hingga sampai di mana orang tua Damian menjodohkan Damian dengan anak temannya, Melisa, ibu angkat Zia sebelumnya.

Perjodohan mereka lancar, tapi tidak bertahan lama. Satu tahun setelah Zia di adopsi, tiba-tiba Amanda datang kembali dan menggoyahkan segala pertahanan Damian. Mereka berselingkuh di belakang Melisa, melakukan hubungan hingga menghasilkan Gaby yang usianya tidak jauh di bawah Zia.

Tidak ada satu pun Zia tidak mengingat bagaimana putus asa Maminya saat menjalani hidup setelah ditinggal Damian. Melisa seperti tidak mempunyai gairah hidup, dia melupakan segala hal termasuk Zia, bahkan Melisa sering berhalusinasi dan berbicara sendiri.

Sampai di mana Zia nyaris kehilangan kewarasannya ketika menemukan Maminya sudah terbujur kaku tidak bernyawa di kamar mandi dengan luka menganga di pergelangan tangan.

Zia mengalami trauma parah seolah kehilangan separuh hidupnya. Dia membutuhkan seseorang untuk menopang dan menguatkannya. Dia merasa berjalan di atas pecahan kaca, hidupnya berantakan, cahaya yang dia harapkan nyatanya tidak pernah ada.

Beberapa tahun kemudian gumpalan kebenciannya semakin menggunung saat Damian tiba-tiba memboyong Amanda dan Gaby ke rumah ini rumah yang di wariskan Melisa padanya. Seluruh hati Zia menggelegak, tidak ada lagi hidup penuh kasih bagi seorang Zia Angelina.

Dia tak bisa melawan kala itu, usianya yang masih belia membuatnya hanya bisa tunduk dan merundung Gaby di belakang ayahnya sebagai bentuk pelampiasan kemarahannya.

"Segala kemarahan Papi terhadap kelakuanku gak sebanding dengan luka yang Papi kasih untuk aku, luka yang mungkin seumur hidupku gak akan bisa sembuh," ujar Zia dengan mata bergetar menahan air mata yang enggan jatuh. "Aku gak akan pernah tahu cara menyembuhkannya."

Kalimat Zia membuat Damian semakin merasa bersalah. "Zia ..." lirih Damian.

Zia menatap satu per satu orang yang ada di ruangan ini, kemudian matanya berhenti pada Amanda yang masih memeluk Gaby.

"Manusia paling buruk adalah manusia yang merasa menjadi korban padahal dia adalah penjahatnya," kata Zia dengan nada dingin.

"Terus terang Tante Amanda, jangan merasa jadi orang yang paling tersakiti di sini, gak pantas. Karena nyatanya Tante adalah penyebab seorang istri memilih mengakhiri hidupnya karena kehilangan suami, dan Tante juga penyebab kehancuran seorang anak kecil yang memimpikan keluarga bahagia. Jangan jadi orang yang gak tahu diri, gak ada toleransi pembenaran untuk itu," lanjutnya tenang, tapi mampu membuat Amanda tersentak dengan wajah pucat.

Zia mengusap tangannya yang tadi dicengkeram Damian, dia menarik sudut bibirnya kemudian pergi dari ruangan itu.

Gaby menggigit bibirnya setelah melihat kepergian Zia. Dia menggenggam tangan Papinya yang terlihat murung.

"Papi, mungkin aku belum bisa jadi adik yang baik untuk Kak Zia. Tapi aku janji, aku akan selalu berusaha lebih keras lagi supaya Kak Zia bisa terima aku," ucap Gaby sambil tersenyum.

Damian menghela napas lalu mengusap lembut rambut Gaby. "Jangan di pikirin, kakakmu cuma lagi marah."

"Mas, kata-kata Zia sangat menusuk. Bagaimana menurutmu? aku nggak nyangka dia bakal berbicara seperti itu." Kata Amanda seraya menggelengkan kepalanya.

"Semua salahku, aku yang gagal menjadi sosok ayah yang dia impikan."

Amanda menatap Damian yang tampak kehilangan arah. Ia mendekat, meletakkan tangannya di atas bahu pria itu dengan lembut namun sarat maksud.

"Mas, aku tahu kamu merasa bersalah... tapi sampai kapan kamu biarkan Zia bersikap seperti itu? Dia udah terlalu jauh," ucap Amanda pelan, seolah khawatir, tapi ada nada halus yang menyusup di balik suaranya.

Damian menunduk, wajahnya dipenuhi rasa sesal. "Dia cuma butuh waktu. Luka Zia terlalu dalam, aku paham itu."

"Tapi luka gak bisa jadi alasan untuk terus menyakiti orang lain, Mas," potong Amanda cepat, matanya berkilat samar. "Dia menghina aku di depan Gaby, bahkan di depan kamu. Anak seperti itu harus dikasih pelajaran. Kalau dibiarkan, dia gak akan pernah belajar menghargai siapa pun termasuk kamu sebagai ayahnya."

Damian terdiam. Kalimat itu menancap tajam, menimbulkan keraguan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Aku cuma... gak mau kehilangan dia juga," bisiknya nyaris tak terdengar.

Amanda menarik napas panjang, menunduk dengan ekspresi pura-pura sedih. "Mas, aku juga gak mau jadi penyebab keretakan ini. Tapi kamu lihat sendiri, Zia udah bukan anak kecil yang polos lagi. Kata-katanya penuh kebencian. Kalau dia benar-benar sayang sama kamu, dia gak akan ngungkit masa lalu Mami-nya terus. Dia cuma mau bikin kamu merasa bersalah seumur hidup."

Ucapan itu seperti racun yang disamarkan dalam kelembutan. Damian menghela napas berat, kepalanya terasa penuh. Dalam benaknya, wajah Zia kecil berkelebat dulu begitu manis dan lembut, kini berubah dingin, penuh amarah.

Amanda menatapnya, lalu menambahkan dengan nada yang lebih lembut, "Aku cuma takut, Mas... jangan sampai Gaby tumbuh dengan bayangan kebencian yang sama. Dia masih kecil, dia butuh kasih sayang, bukan suasana rumah yang dipenuhi dendam."

Damian memejamkan matanya. Dia tahu ada kebenaran dalam ucapan Amanda, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menolak sepenuhnya mempercayai perempuan itu. Namun, rasa bersalah dan kebingungannya menutup logika.