Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Bab 23. Merawat mertua.
Aku melirik arloji di lenganku. Jarum jam menunjuk di angka dua belas. Sudah tengah malam. Astaga, aku ketiduran di sisi pembaringan menjaga ibu mertua. Kurasakan leherku kaku, lenganku juga kebas, akibat kujadikan sebagai bantal saat tidur.
Kulihat ibu mertua yang tertidur pulas. Kuedarkan pandanganku. Mery juga tengah tertidur pulas di sofa. Aku tidak menemukan sosok Arbian. Mungkin saja dia berjaga di luar.
Kurentangkan kedua lenganku agar tubuhku terasa lebih rileks. Aku berdiri perlahan dan hampir saja jatuh karena kakiku juga kebas dan kesemutan, karena terlalu lama menggantung. Aku menguap panjang mengumpulkan separuh nyawaku yang masih terbang.
Setelah kekuatanku pulih semua, kuayunkan langkah ini ke arah pintu. Kubuka pintu. Angin menerobos masuk, terasa dingin menembus kulitku. Mendadak aku merasa kedinginan, tapi berusaha kulawan.
Di sudut gedung ini ada posko jaga. Para perawat yang yang bertugas tengah berjaga. Lalu dari arah pos jaga, sesosok tubuh dengan jaket hitam muncul dan berjalan ke arah aku berdiri.
Karena penerangan yang agak temaram, aku tidak jelas mengenali sosok itu. Jarak antara kami semakin dekat, segera kututup pintu kamar. Namun, pintu yang barusan kututup diketuk dari luar. Aku kaget luar biasa. Siapa sosok itu, kok malah mengetuk pintu yang barusan ku tutup.
"Ra, bukain pintunya dong."
Hah, itukan suara Arbian? Bergegas aku membukakannya.
"Kok malam ditutup tadi pintunya, padahal sudah melihatku datang." protesnya seraya meletakkan kantong kresek hitam di atas meja.
"Maaf, aku tidak mengenalimu tadi," tukasku jujur.
"Bukannya sengaja? Masak tidak mengenaliku."
"Iya, aku tidak jelas melihatnya karena barusan bangun tidur," ucapku rada kesal karena sepertinya Arbi sengaja mengejekku.
"Oh."
"Kenapa, oh?" kejarku. Entah kenapa rasa kesalku malah memuncak. Lupa kalau suaraku bisa membuat ibu mertua terjaga.
"Sssstttt!" jari telunjuk Arbian spontan menempel di bibirku.
"Apaan sih!" protesku makin kesal.
"Pelankan suaramu, nanti Mama terjaga!" bisiknya perlahan. Lalu membongkar isi tas kresek yang barusan dia bawa. Ternyata isinya beberapa camilan dan minuman kaleng.
"Ambil, kalau kamu lapar dan haus." Tawarnya.
"Kalau tidak!"
"Terserah!" sahutnya acuh.
Aku mengacak isi kantong kresek. Mengambil beberapa jenis camilan juga minuman keleng. Mata Arbi melotot, karena aku mengambil separuh isi, kantong kresek itu.
"Aku lapar dan haus." tegasku sebelum dia komplein. Arbi menatap pasrah sementara aku cuek bebek.
"Aku juga lapar, kira-kira dong ngambilnya. Belinya butuh perjuangan karena warung terdekat sudah tutup," ungkapnya memelas.
Hampir saja aku ngakak kalau tidak ingat lagi dimana dan sudah jam berapa. Ntar penghuni kamar lain mengira ada Mbak Kunti yang lagi kesurupan.
"Halah, makanya jangan pelit. Belinya kok cuma sedikit begini." ejekku seraya memamerkan roti coklat kesukaannya. Entah kenapa tadi aku usil mengambil semua roti coklat itu. Padahal cuma tiga bungkus. Camilan yang lain masih ada, aku sisakan satu kek. Ini malah ambil semuanya.
"Bukan pelit tapi cuma sisa yang itu." Arbi menyeruput minuman kaleng di tangannya.
Aku keras kepala tidak mau membaginya. Rasain, sesekali kamu perlu dibalas, batinku. Kuhabiskan roti coklat itu, karena aku memang lapar. Aku sempat melirik Arbian, sepertinya dia berharap aku membagi roti itu. Aku tersenyum puas saat melihatnya merasa kecewa. Hatiku bersorak, eh keterlaluan kamu, Ra.
"Dasar rakus." Umpatnya seolah pada dirinya sendiri.
Aku mendengar umpatannya. Tapi aku acuh tak menanggapi. Aku sengaja menguap panjang supaya dia tambah kesal. Benar saja, Arbi melirik tajam ke arahku. Dan pura-pura menutup hidungnya. Tapi tidak kuladeni ejekannya itu.
Masak sih, aroma napasku sampai tercium ke dia. Dengan jarak kami yang lebih dua meter. Dia hanya coba cari pasal biar aku merepet atau tersinggung.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Arbian melihat layar ponselnya. Melirikku sekilas juga ibu mertua. Hem, mungkin panggilan dari Gladys, dugaku. Tengah malam begini ulat bulu itu belum tidur?
Arbian berdiri dari duduknya lantas bergegas keluar untuk menerima panggilan itu. Aku diam saja.
"Aku lagi di rumah sakit, menjaga Mama."
Lamat-lamat aku mendengar suara itu. Benarkan dugaanku, itu pasti Gladys. Entah apa saja yang mereka bicarakan, percakapan itu hanya sebentar. Saat masuk kembali, aku melihat raut wajah Arbian yang menahan kesal.
"Rania, kamu balik saja ke rumah. Biar aku saja yang pergi kalau kamu merasa tak nyaman lagi."
Tiba-tiba Arbian berbicara. Aku memang sedang mencari tempat kost karena tidak ingin menyusahkan Bastian lagi. Bastian melarangku pindah dengan alasan dia sering ke luar kota. Jadi rumahnya sering ditinggal pergi. Namun, tetap saja membuatku merasa tidak enak.
Sekarang Arbian malah menawarkan agar aku kembali ke rumah dan dia yang pergi. Itu artinya dia memang ingin selekasnya berpisah denganku. Atau dia merasa khawatir aku ngekost diluar sana.
"Tidak, aku lebih nyaman ngekost saja," sahutku singkat.
"Ra, aku sungguh-sungguh meminta maaf. Malam itu aku khilaf karena dipengaruhi minuman." Sesal Arbi.
"Sudah, jangan ungkit lagi masalah itu," sahutku geram.
"Tapi, Ra."
"Cukup Arbi, jangan bahas masalah itu disini. Nanti Inang mendengarnya!" ucapku tegas, melirik ke arah ibu mertua yang tertidur pulas. Aku takut beliau terjaga karena ucapanku yang lumayan keras.
"Kalau begitu kita keluar sebentar. Aku ingin bicara denganmu."
"Apalagi yang mau kau bicarakan, Bi. Semua sudah cukup jelas kalau kita harus bercerai." Arbi menarikku ke luar, membuka dan menutup pintu perlahan. Kami duduk di balkon.
"Aku tidak mau bercerai, Ra. Kamu akan tetap jadi istriku sampai kapan pun." Arbi menatapku tajam. Ada ancaman dibalik manik matanya. Belum pernah aku melihat sinar itu sejak aku mengenalnya.
"Ka-mu e-egois," sendatku lirih. Aku tidak takut pada ancaman itu. Aku hanya kecewa dengan pola pikirnya yang tidak aku mengerti. Sebenarnya apa maunya sih. Sampai mempermainkan aku seperti ini.
"Kalau kamu tidak mau menceraikan aku. Aku yang akan balik menuntut cerai." kutatap balik matanya dengan tajam. Ucapanku penuh penekanan kalau serius dengan ucapanku. Beberapa saat mata kami saling bertaut. Hingga akhirnya dia menunduk.
"Tapi kita tetap tidak bisa bercerai. Kamu tau itu."
"Trus kamu mau memerangkap aku dengan status gak jelas seperti ini, begitu! Kamu benar-benar egois!"
"Tapi, Ra!"
"Tidak ada tapi-tapian, Bi. Harusnya kamu bisa mikir lebih dari hal ini. Ceraikan aku biar kamu bisa menikahi Gladys. Terlepas dari izin Inang atau tidak. Jangan menggantung statusku dan Gladys. Aku sudah capek!" sentakku kasar. Segera aku kembali masuk ke kamar tempat ibu mertua di rawat.
"Rania, kamu kenapa?" sapa ibu mertua uang terjaga dari tidurnya.
"Tidak apa-apa kok Inang. Cuma habis ngobrol sama Bang Arbi di luar. Inang haus ya?" aku bergegas mengambil air putih lalu mencampurnya dengan air panas dari termos. Lalu membantu ibu mertua minum.
"Arbi ngomong apa sama kamu. Kenapa wajahmu sepertinya kusut begitu." Ibu mertua menelisik wajahku lekat.
"Eh, Rania habis tidur, Inang. Jadi wajar mukanya kusut kayak benang." Candaku menutupi hal yang sebenarnya.
"Gitu ya?" aku tersenyum meyakinkan ibu mertua. Lalu aku membetulkan selimut, menutupi hingga ke leher beliau. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor