Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Jangan Jadi Sampah Masyarakat
Setelah memastikan semua dokumen dan surat pernyataan bermaterai selesai diisi, Arga menyerahkan kembali KTP dan barang-barang Danu ke Bagong. "Ingat ya, Pak Bagong, surat pernyataan ini bukan formalitas. Kalau dia bikin ulah lagi, nggak ada ampun. Saya seret ke asrama rehabilitasi."
Bagong mengangguk penuh kesungguhan, sementara Danu tampak semakin ciut. Dengan langkah tergesa, mereka bertiga meninggalkan kantor polisi. Arga berdiri di depan pintu, memperhatikan mereka dengan pandangan lelah tapi lega.
Dari kejauhan, pemandangan yang terhampar membuat Arga tersenyum kecil. Bagong tampak seperti seorang pelatih sepak bola marah, menunjuk-nunjuk ke arah Danu sambil menggerak-gerakkan tangan seperti wiper mobil yang kepanasan.
"LU MAU JADI APA HAH?! POLISI?! PREMAN?! ATAU PATUNG DI MUSEUM?!" suara Bagong terdengar samar-samar sampai ke telinga Arga.
Yudha, si korban bullying yang ternyata saudara angkat Danu, mengikuti dari belakang sambil menahan tawa. Dia sesekali pura-pura menutupi mulutnya, tapi jelas dia menikmati saat-saat kakaknya kena omelan besar.
Danu, di sisi lain, tampak seperti burung yang baru saja kehujanan. Kepalanya menunduk, langkahnya berat, dan sesekali dia mencoba berkilah. "Tapi, Om, gue kan cuma bolos dua kali! Itu juga gara-gara temen gue ngajakin..."
"DIAM LO, DANU!" suara Bagong memotong seperti gergaji listrik. "DIAJAKIN APA AJA? NGELEM LAGI?! LO MAU HIDUNG LO NGELEMBUNG KAYAK BADUT?!"
Arga tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. "Bagong ini bisa jadi pelawak. Tapi serius sih, gue doain Danu beneran tobat." Dia kembali masuk ke kantornya, tapi sesekali melirik ke luar jendela, menikmati bagaimana Bagong terus ‘menggembleng’ Danu sepanjang jalan pulang.
Sesaat sebelum mereka hilang dari pandangan, Bagong tampak berhenti sejenak untuk menarik napas dan kemudian berkata dengan nada setengah bercanda, "Kalau gue dapet laporan lagi lo ngelem, gue lempar lo ke tangan polisi tadi! Tau kan apa yang dia bilang? LO BISA JADI TUKANG CABUT RUMPUT!"
Dan di situlah, di tengah kekacauan kecil malam itu, Arga tahu kalau setidaknya dunia ini masih punya sedikit harapan. Bahkan meski harapan itu berbentuk mantan preman bertato dengan cara mendidik yang... unik.
...****************...
Di tengah hiruk-pikuk komplek perkampungan kumuh yang lebih mirip labirin tanpa pintu keluar, Danu dan Yudha akhirnya sampai di rumah mereka. Komplek itu dipenuhi dengan suara anak kecil bermain bola plastik, ibu-ibu berteriak memanggil anaknya, dan beberapa bapak-bapak yang asyik nongkrong sambil main kartu di warung kopi yang aromanya lebih kuat dari parfum mahal.
Rumah Bagong berada di tengah, sepetak sederhana dengan tembok setengah bata, setengah tripleks yang sudah mulai melengkung seperti papan seluncur. Ada jemuran pakaian yang menggantung di terasnya—dominan baju olahraga dengan tulisan "KOMUNITAS ANAK JALANAN SEMANGAT 45" di bagian punggung. Di pintu, ada poster kecil bertuliskan "BUKAN PEWARIS TAPI PERINTIS."
Danu masuk duluan, membanting pintu kayu yang sudah reot. Yudha menyusul sambil menenteng plastik isi tahu goreng pemberian tetangga. Begitu mereka duduk di tikar lusuh yang jadi satu-satunya furnitur ruang tamu, Danu langsung menunjuk Yudha dengan wajah kesal.
"Ini semua salah lo, Yud! Kalau lo nggak sok ngadu-ngadu, gue nggak bakal kena marah Bang Bagong tadi!" Danu memekik seperti ayam yang gagal bertengger.
Yudha yang biasanya pendiam tiba-tiba melawan. "Eh, salah gue? Salah gue, Dan? Yang ngelem siapa? Yang bolos sekolah siapa? Yang ketangkep polisi siapa?!" Dia menirukan gaya Danu saat di kantor polisi tadi.
"Ya tapi lo kan nggak harus ngomong ke Bang Bagong! Lo bisa diem aja, pura-pura nggak tau!" Danu mulai berusaha membela diri sambil mengusap lutut yang tadi terantuk meja di kantor polisi.
"Pura-pura nggak tau? Gue pikir lo yang nggak tau malu, Dan!" Yudha memutar bola matanya sambil mengunyah tahu goreng, santai seperti orang yang baru memenangkan penghargaan.
Tiba-tiba, pintu terbuka keras. Bagong muncul dengan wajah masam sambil membawa gulungan tikar. Dia melangkah masuk seperti gladiator yang baru selesai bertarung. "SIAPA YANG NGAJAK RIBUT LAGI?! KAGAK BISA DAMAI, HAH?!"
Danu dan Yudha langsung diam, seperti dua anak ayam yang terjebak di kandang macan. Danu mencoba melirik ke Yudha, berharap adiknya yang bakal kena semprot. Tapi sayangnya, Bagong sudah hafal pola.
"Danu, lo pikir hidup ini sinetron?! Nyalahin orang terus! Dan Yudha, lo jangan kebanyakan ngomong kalau lagi makan, ntar keselek!" Bagong mengomel sambil menjatuhkan diri di tikar. Dia menghela napas panjang. "Gue capek, tau nggak? Gue tadi ngomel sepanjang jalan kayak motivator MLM. Tolong dong, jangan bikin gue tambah stres. Gue ini mantan preman, bukan pawang badai!"
Keduanya terdiam. Tapi tiba-tiba, Yudha bersin keras, dan tahu goreng yang dikunyahnya terbang ke arah Danu.
Bagong menatap mereka berdua dengan tatapan tak percaya. "YA ALLAH! KALIAN MAU BIKIN GUE PINDAH RUMAH APA GIMANA?!"
Dan di bawah lampu remang-remang rumah sepetak itu, Bagong akhirnya tertawa kecil sambil menggeleng. "Dasar anak-anak zaman sekarang. Ribut, ngelawan, tapi nggak bisa ninggalin satu sama lain. Mau jungkir balik, kalian tetep keluarga gue. Tapi inget, satu kata lagi soal ngelem atau bolos sekolah, gue beneran seret kalian ke polisi!"
Danu dan Yudha mengangguk serempak, akhirnya menyadari satu hal: Bagong mungkin kasar, tapi dia satu-satunya orang yang mau peduli pada mereka di tengah kekacauan dunia ini.
...****************...
Di bawah lampu gantung rumah yang mulai berkedip seperti diskotek, Bagong duduk dengan gaya dramatis. Tikar digulung dan diletakkan di samping, sementara Danu dan Yudha duduk bersila di depannya seperti dua murid yang siap kena damprat guru killer.
Bagong menghela napas panjang, mencoba memasang ekspresi serius. "Dengerin gue baik-baik, kalian berdua. Gue ini capek ngomong, tapi kalau nggak gue omongin, kalian bakal tambah bandel! Jadi, tolong, kupingnya dibuka lebar-lebar kayak pintu minimarket."
Danu mengangguk malas, sementara Yudha pura-pura fokus sambil memainkan ujung tikarnya.
"Lo pikir hidup itu gampang?" Bagong mulai berkhotbah. "Hidup itu keras, Yud, Dan. Lebih keras dari kepala lo berdua digabungin jadi satu! Lo mau kayak gue? Gue ini mantan preman, Danu. Mantan! Tapi apa hasilnya? Gue sekarang cuma bisa kerja jadi kuli bangunan. Itu juga kalau bosnya lagi nggak rese! Mau gue tunjukin tangan gue? Nih!"
Bagong dengan bangga mengangkat tangannya yang penuh kapalan, tapi malah disalahartikan oleh Danu. "Wah, keren, Bang. Mirip Hulk."
"Keren dari mananya?! Ini kapalan, ngerti nggak?! Ini bukti gue kerja banting tulang buat makan kita semua. Lo pikir gue tiap hari olahraga buat bikin tangan kayak begini?!" Bagong menunjuk-nunjuk Danu dengan jarinya, tapi Yudha malah terkikik kecil.
"Lo juga, Yud!" Bagong berbalik ke Yudha, yang langsung pura-pura serius. "Jangan mentang-mentang lo jadi anak baik, lo pikir lo nggak salah. Lo ngadu-ngadu soal Danu ngelem itu bagus, tapi abis itu? Jangan lupa kalau lo sama Danu cuma punya satu sama lain sekarang! Orang tua kalian udah nggak ada. Kalau kalian nggak akur, siapa lagi yang bisa jaga kalian?"
Yudha akhirnya menunduk, sadar omongan Bagong ada benarnya.
Bagong melanjutkan, suaranya naik turun seperti penyanyi dangdut yang kehabisan napas. "Lo pikir gue bangga sama masa lalu gue? Keluar masuk penjara kayak pintu putar mall? Hidup itu bukan soal gaya-gayaan atau berantem-berantem. Lo mau masa depan yang cerah? Mau makan di restoran mewah, bukan di warung nasi yang sambelnya lebih pedes dari komentar tetangga? Ya lo harus sekolah, harus kerja keras!"
Bagong menatap mereka dengan serius. "Gue nggak peduli lo mau jadi apa. Mau jadi polisi kayak tadi yang tilang kita? Mau jadi dokter? Atau mau jadi chef? Terserah! Asal lo jangan jadi gue, ngerti? Gue ini contoh buruk. Lo belajar dari kesalahan gue. Jangan jadi sampah masyarakat."
Danu akhirnya angkat bicara, suaranya kecil. "Tapi, Bang, lo kan sekarang udah baik. Lo udah nggak preman lagi."
Bagong terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Ya, itu benar. Tapi lo pikir gampang gue sampai di titik ini? Gue udah nyesel, Dan, tapi nggak ada tombol undo dalam hidup. Lo cuma punya satu kesempatan. Jadi jangan main-main!"
Yudha menepuk pundak Danu dengan cengiran. "Tuh, Dan, Bang Bagong udah bilang. Jangan ngelem lagi. Kalo nggak, lo jadi sampah masyarakat beneran."
"Eh, lo juga jangan sok suci! Kalau lo nggak ngadu, gue nggak bakal dipermaluin!" balas Danu.
Bagong mengangkat tangannya lagi, kali ini lebih dramatis. "Cukup! Gue nggak mau denger kalian ribut lagi. Gue mau kalian janji, di depan gue sekarang, lo berdua nggak akan saling nyakitin lagi. Janji, atau gue panggil polisi tadi buat balik lagi ke sini!"
Danu dan Yudha akhirnya saling melirik, lalu dengan terpaksa berjabat tangan.
Bagong tersenyum puas, lalu menepuk bahu mereka keras-keras. "Bagus. Sekarang, tidur. Besok pagi lo bangun, cuci muka, dan mulai hidup baru. Kalau gue denger ada yang ngelem lagi, gue sumpahin lo makan sambel tetangga tiap hari!"
Dan di bawah langit malam komplek kumuh itu, Bagong tersenyum kecil sambil melihat dua bocah itu akhirnya diam. "Ah, begini ternyata rasanya jadi motivator. Gimana, ya, kalo gue bikin seminar?" gumamnya sambil terkekeh sendiri.
...****************...