Naura memilih kabur dan memalsukan kematiannya saat dirinya dipaksa melahirkan normal oleh mertuanya sedangkan dirinya diharuskan dokter melahirkan secara Caesar.
Mengetahui kematian Naura, suami dan mertuanya malah memanfaatkan harta dan aset Naura yang berstatus anak yatim piatu, sampai akhirnya sosok wanita bernama Laura datang dari identitas baru Naura, untuk menuntut balas dendam.
"Aku bukan boneka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh
Restoran itu dipenuhi oleh aroma masakan yang menggugah selera. Suasana hangat dan romantis menyelimuti tempat tersebut, dengan lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip di sepanjang dinding. Namun, di sudut ruangan, sepasang kekasih terlihat sedang terlibat dalam pertikaian.
"Kamu benar-benar mengusirku?" tanya Weny dengan suara keras.
Suara Weny yang besar membuat orang yang berada di raung VIP itu memandangi mereka. Pasti marah karena merasa terganggu padahal mereka sengaja memilih ruangan yang mahal ini agar bisa lebih privasi.
"Tentu saja, jika memang kamu tak bisa diomongi!" seru Alex.
"Aku tidak mengerti, Alex! Kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini? Kamu tega mengusirku?" Weny meledak, suaranya bergetar menahan emosi. "Kamu bisa lihat, kan? Dia tersenyum dan tertawa seolah semuanya baik-baik saja!"
Alex, yang sebelumnya santai, sekarang merasakan ketegangan yang semakin meningkat. "Weny, dia hanya sahabatku. Kamu tidak perlu cemburu seperti ini."
"Cemburu?!" tanya Weny dengan suara tinggi, membuat beberapa pengunjung restoran menoleh ke arah mereka. "Ini bukan soal cemburu. Ini soal menghormati aku! Kamu tidak bisa terus saja bersikap seperti tidak ada yang salah!"
Laura yang mendengar keributan itu hanya menatap dengan senyum, seolah menikmati drama yang terjadi di hadapan mereka. Detak jantung Alex mulai berpacu; ini bukan pertama kalinya Weny menunjukkan sikap tidak percaya diri yang berujung pada amarah.
"Weny, ayo kita keluar sebentar," ujar Alex, berusaha menjaga ketenangannya sambil menarik tangan Weny. "Kita bisa bicarakan ini di luar."
"Wajar kamu melindungi dia, ya?" Weny menarik tangannya. "Kamu selalu memenangkan hatinya! Dia itu Laura bukan Naura? Kenapa kamu antusias dengannya?"
Alex berusaha menahan sabar meski hatinya menggemuruh. "Aku tau itu. Kamu yang tak percaya saat aku katakan dia Laura!" seru Alex.
Kemudian, Weny berbalik menghadap Laura yang kini mengangkat gelas minumnya, seolah merayakan kemenangan. "Dan kamu, Laura! Apa kamu mau menarik perhatian Alex dengan bersikap sok manis begini?" tanya Weny dengan geram.
Laura, tidak kehilangan akal, hanya mengangkat bahu. "Maaf, Weny. Bukan salahku kalau Alex mengajakku makan. Mungkin dia butuh orang yang lebih mengerti dirinya."
Satu kalimat itu mampu menggores luka di hati Weny, seperti tusukan pisau. Dia menggeram, "Cukup! Aku tidak terima lagi!"
Alex berusaha menarik Weny ke arah keluar restoran, mencoba menenangkan suasana. "Weny, sudah cukup. Mari kita pulang," pintanya, tapi nada suaranya mulai terdengar serius.
"Tidak! Aku tidak mau pulang!" Weny berteriak, menarik tangan Alex hingga mereka berdua terlihat seperti sedang berdebat di tengah restoran. "Aku tidak mau pergi sebelum semuanya jelas!"
"Weny, ini memalukan!" Alex merasa frustrasi. "Kamu sedang melakukan ini di depan banyak orang!"
"Apakah kamu lebih peduli pada orang-orang di sini dari pada perasaanku?" Weny menatap tajam, air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya. "Bagaimana jika aku merasa tidak dihargai? Apa kamu tidak peduli sama sekali?"
Tak pernah dia menangis untuk seorang pria dan itu sangat memalukan.
"Ini bukan tentang peduli atau tidak. Tapi kamu itu sudah sangat memalukan. Apakah kamu tak bisa menjaga sikapmu?"
"Jadi? Ini semua salahku sekarang?" Weny melotot, langkahnya terasa berat saat dia menghadapi kenyataan. "Apakah aku harus terus bersembunyi di balik sikap manis dan sabar mu setiap kali Laura di dekatmu?"
Tanpa berpikir panjang, dalam sekejap, Weny melayangkan tamparan ke pipi Alex. Suara kerasnya membuat suasana di restoran sejenak hening. Semua orang tertegun, beberapa tampak terkejut, dan yang lainnya berbisik satu sama lain.
Tangan Alex terdiam di udara. Rasa marah, kecewa, dan sakit hati menghujam perasaannya. "Bagaimana kamu bisa melakukannya?" tanyanya dengan nada rendah, seolah tidak percaya pada tindakan Weny.
Jika saja mereka tidak sedang berada di resto, pasti dia akan membalasnya jauh lebih keras.
Naura yang ternyata mengikuti mereka mendekati Alex. Dia ingin membuat pria makin marah atau kecewa dengan Weny.
"Weny, beruntung sekali kamu memiliki Alex. Jika pria lain pasti tadi dia langsung membalas menamparmu kembali. Tapi dia tak melakukan karena masih menghormati seorang wanita. Bukan begitu, Alex?"
Naura bertanya sambil tersenyum. Sengaja membuat Alex merasa bangga karena pujiannya.
"Aku tak pernah mau menyakiti wanita apa lagi melakukan kekerasan. Jika kamu melihat aku sedikit emosi, memang karena aku merasa Weny sudah keterlaluan," jawab Alex.
"Sebenarnya Weny ini siapa kamu? Apakah istri atau tunangan kamu, Lex?" tanya Naura dengan suara lembut.
Weny tampak tak suka dengan pertanyaan wanita itu. Dia menatap Alex, berharap pria itu menjawab sesuatu yang membuat dia senang.
"Dia mantan kekasih saat kami sama-sama masih remaja," jawab Alex pelan.
Weny yang mendengar jawaban Alex menjadi sedikit emosi. Tak menyangka jika pria itu akan menjawab demikian. Padahal dia baru mengenal Laura, pikir wanita itu.
Dalam hati Naura tertawa. Dulu aku yang tak diakui istri dan kamu selalu di puji, sekarang giliran kamu yang akan dicampakkan, ucap Naura dalam hatinya.
"Apa mantan kekasih? Kamu katakan aku hanya mantan kekasihmu? Setelah setiap malam kita berbagi peluh?" tanya Weny dengan suara penuh penekanan.
Wajah Weny memerah karena menahan marah. Naura pura-pura terkejut mendengar ucapan wanita itu.
"Maksudnya apa, ya?" tanya Laura dengan wajah yang lugu.
"Jaga ucapanmu! Apa kamu mau diakui sebagai istri? Ingat, Weny. Di antara kita tak ada hubungan apa pun. Istri bukan kekasih juga. Kita hanya pernah menjalin hubungan di masa lalu!" seru Alex.
Tangan Weny terangkat ingin menampar kembali wajah pria itu. Tapi Alex menangkapnya dan mencengkram dengan kuat.
"Jangan pernah menyentuhku lagi dengan tanganmu! Jangan buat aku melakukan hal kasar. Aku tak mau mengotori tanganku dengan melawan wanita!" ucap Alex dengan ketus.
Weny sedikit meringis karena tangannya terasa sakit. Saat matanya bersitatap dengan Naura, wanita itu tersenyum mengejek. Membuatnya menjadi emosi lagi.
"Kenapa kau tersenyum? Kau ingin mengejekku? Kau pikir dirimu lebih hebat dariku hanya karena saat ini Alex lebih membelamu. Dengarkan wanita ja-lang, hubunganku dengan Alex lebih dari suami istri. Mantan istrinya saja meninggal karena tak tahan melihat kedekatan kami. Dia meninggalkan istrinya karena lebih memilih aku, jadi kamu jangan bangga dulu. Dia pasti mendekati kamu hanya karena penasaran dengan wajahmu yang mirip mantan istrinya!"
"Jaga ucapanmu, Weny!"
Alex lalu menampar wajah Weny dengan cukup keras. Naura meledek dengan memegang pipinya sambil tersenyum.
"Alex, lain kali saja kita makannya. Selesaikan dulu masalahmu dengan Weny. Aku tak mau dikatakan sebagai wanita perusak hubungan seseorang!" ujar Naura dengan tegas.
Naura lalu berjalan menuju parkiran. Saat baru melangkah tangannya di tahan oleh Alex.
"Kamu jangan pergi dulu. Weny, aku harap kamu minta maaf pada Laura sekarang juga!" perintah Alex.