Karena bosan dengan kehidupan yang dijalani selama ini, Rania gadis cantik berusia 25 tahun yang telah menyelesaikan s2 di luar negeri ingin mencoba hal baru dengan menjadi seorang OB di sebuah perusahaan besar.
Tapi siapa sangka anak dari pemilik perusahaan tersebut justru menginginkan Rania untuk menjadi pengasuhnya.
Sedangkan Raka duda berusia 40 tahun ,CEO sekaligus ayah dari 3 orang anak yang belum move on dari sang mantan istri yang meninggal pasca melahirkan anak ke 3 nya.
Bagaimana perjalanan Rania dalam menghadapi tantangan yang dibuatnya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak dalam hujan
Rania memandang ke luar jendela mobil dengan cemas. Hujan deras mengguyur jalanan, menciptakan suara gemuruh yang bercampur dengan hembusan angin kencang. Di depan mereka, sebuah pohon besar tumbang, menghalangi jalan utama. Beberapa kendaraan lain juga terhenti, pengemudinya sibuk mencari jalan alternatif atau menunggu bantuan.
Raka menghela napas panjang dari kursi kemudi. “Sepertinya kita tidak bisa lewat sampai besok pagi.”
Rania menoleh, ragu. “Mungkin bisa cari jalan lain, Pak?”
Raka menggeleng. “Di sekitar sini tidak ada jalan alternatif yang cukup aman di tengah hujan deras seperti ini. Kita tunggu saja sampai hujan reda dan petugas membersihkan jalan.”
Rania menggigit bibirnya. Bermalam di dalam mobil bersama Raka? Itu bukan skenario yang pernah ia bayangkan. Tapi apa boleh buat, situasi tidak memberi mereka pilihan lain.
Angin semakin kencang, membuat suhu di dalam mobil menurun drastis. Rania tanpa sadar merapatkan kedua lengannya, mencoba menghangatkan diri. Raka yang duduk di sampingnya memperhatikan itu, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melepas jaketnya dan menyerahkannya ke Rania.
“Pakai ini.”
Rania menatap jaket itu sejenak, ragu. “Tidak apa-apa, Pak? Nanti Bapak malah kedinginan.”
Raka mendesah pelan. “Saya tidak selemah itu, Rania. Pakai saja.”
Akhirnya, Rania menerima jaket itu dan mengenakannya. Kehangatan segera menyelimuti tubuhnya, membawa aroma khas yang samar-samar menenangkan. Entah mengapa, jaket itu membuatnya merasa sedikit lebih aman dalam situasi yang serba tak pasti ini.
Beberapa menit berlalu dalam diam. Rania akhirnya mulai merasa kantuk menyerang. Matanya semakin berat, dan tanpa sadar, kepalanya bersandar sedikit di jendela mobil.
Raka yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya melirik ke samping. Ia mendapati Rania sudah tertidur, napasnya teratur, wajahnya terlihat lebih lembut dalam cahaya redup lampu mobil.
Entah kenapa, ada getaran aneh yang merayap di dadanya. Sesuatu yang asing, yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Matanya tak bisa lepas dari wajah Rania untuk beberapa saat. Cara gadis itu tertidur dengan damai, bagaimana helaian rambutnya jatuh ke pipinya, bahkan suara napas pelannya terdengar begitu tenang.
Raka menghela napas pelan dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
“Apa yang aku pikirkan…” gumamnya pelan, mencoba menepis gejolak aneh yang muncul.
Namun, meski ia berusaha menepisnya, perasaan itu tetap ada. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Raka merasa bahwa kehadiran Rania di hidupnya mungkin akan mengubah segalanya.
*****
Cahaya matahari pagi yang mulai menembus kaca mobil perlahan membangunkan Rania dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, merasa sedikit kaku karena tidur dalam posisi duduk semalaman.
Saat kesadarannya pulih, ia menoleh ke samping dan melihat Raka masih terlelap di kursi pengemudi.
Untuk pertama kalinya, Rania melihat pria itu tanpa ekspresi seriusnya. Garis wajahnya yang tegas terlihat lebih lembut, rahangnya kokoh namun santai, dan napasnya teratur. Dalam tidur, Raka tampak jauh lebih muda, lebih damai, lebih... manusiawi.
Rania diam-diam tersenyum kecil. Siapa sangka pria yang biasanya terlihat dingin dan tegas bisa tampak seperti ini?
Namun, senyum di wajahnya langsung menghilang saat tiba-tiba sepasang mata itu terbuka.
Raka menatap langsung ke arahnya.
Rania membelalakkan mata, panik karena ketahuan sedang memperhatikannya. Ia buru-buru menunduk, pura-pura merapikan jaket yang masih melingkupinya.
“Kamu ngapain?” suara Raka terdengar serak karena baru bangun tidur.
“Eh... A-anu, Pak. Saya baru bangun,” jawab Rania gugup.
Raka mengangkat alis, lalu menyandarkan kepalanya ke jok sambil mengusap wajahnya. “Kelihatannya bukan cuma itu.”
Pipi Rania terasa hangat. “Tidak, Pak! Saya hanya… hanya—”
“Melihat aku tidur?” Raka menyelesaikan kalimatnya sendiri, nada suaranya terdengar sedikit menggoda.
Rania semakin salah tingkah. “Bukan begitu, Pak. Saya—”
Alih-alih menunggu penjelasan, Raka malah tersenyum tipis. “Kalau kamu tertarik, bilang saja.”
Mata Rania membulat. “Pak Raka!”
Raka hanya terkekeh pelan lalu meregangkan tubuhnya, seolah menikmati bagaimana Rania mati-matian mencari alasan.
“Kita harus segera kembali. Aku akan lihat apakah jalan sudah bisa dilewati,” katanya akhirnya, mencoba mengakhiri momen canggung di antara mereka.
Rania mengangguk cepat, meski jantungnya masih berdegup tak karuan.
Satu hal yang ia tahu pasti—ia harus lebih hati-hati. Karena semakin lama, ia semakin menyadari bahwa pria ini bukan hanya sekadar bosnya. Dan itu berbahaya.