"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily membuka matanya perlahan saat pria itu menurunkannya dengan hati-hati ke ranjang. Suasana di sekitarnya terasa kabur, suasana kamar hotel itu sunyi meski di luar sana dunia masih berdengung dengan gemuruh malam. Lampu di kamar itu redup, menciptakan bayangan samar yang menyelimuti perabotan mewah di sekitarnya.
Namun satu hal yang bisa ia rasakan dengan jelas adalah tangan pria yang tetap memegangi tubuhnya dengan lembut, tapi tegas.
Sekilas ia merasakan kehangatan tubuh pria itu, dan meskipun pikirannya kabur karena alkohol, ia tahu bahwa ini adalah momen yang tidak biasa, jauh dari apa yang pernah ia bayangkan sebelumnya.
Namun, di dalam kegelapan ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya remang-remang, Lily tidak memperhatikan kemewahan sekitar.
Yang ia rasakan hanya ketidakpeduliannya terhadap apapun lagi. Hatinya hancur, jiwanya kosong, dan ia hanya ingin melupakan semuanya, termasuk pria yang telah mengkhianatinya dengan Daisy.
Ketika pria itu melepaskan sedikit pelukannya dan menghadap, Lily merasakan dorongan kuat untuk tidak menahan diri lagi.
Dengan penuh tekad, ia mendekatkan bibirnya ke bibir pria itu, dan menciuminya tanpa ragu. Namun, ia merasakan keheningan, pria itu tidak menolaknya, tidak bergerak, hanya berdiri diam dengan wajah datar.
Tapi Lily tidak peduli. Rasa sakit hati yang ia pendam terlalu besar, dan kini ia ingin merasakan kebebasan, meskipun itu berarti mengorbankan dirinya.
Dalam keadaan setengah sadar, dengan kecepatan yang hampir impulsif, ia mulai membuka kemeja putih pria itu. Satu tarikan, dua tarikan, kancing demi kancing terbuka dengan cepat.
Tubuh pria itu tampak atletis, jauh lebih berbeda dengan tubuh Hugo.
Lily menatap pria itu, matanya terfokus pada tubuh yang kekar dan atletis. Tanpa bisa ditahan, ia menghela napas, hampir terpesona.
"Wow," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Kamu punya tubuh yang sangat... kuat."
Pria itu menatap Lily tetap diam, seakan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dalam keadaan bingung Lily sedikit terhanyut, mulai berbicara lebih lanjut, meskipun suara hatinya mulai tercampur dengan kekacauan emosional.
"Berbeda dengan Hugo, tunanganku," ucapnya pelan, sedikit tersenyum pahit. "Hugo memang pria yang baik, tapi tubuhnya... tidak sekuat ini. Dia punya tubuh ideal, tapi... ototnya hampir tidak kelihatan." Lily tertawa kering, menundukkan kepala sejenak. "Mungkin dia lebih fokus pada hal-hal lain."
Pria itu hanya diam, tidak memberikan komentar. Tapi matanya yang tajam menatap Lily seolah mencoba membaca pikirannya.
Lily melanjutkan, "Aku tau, ini gila. Aku sendiri tidak tau kenapa aku mengucapkan ini... Tapi kadang, kita butuh melihat perbedaan itu ya?"
Pria itu tetap tidak berkata apa-apa, hanya mengamati dengan perhatian yang mendalam, seperti mencoba memahami kenapa Lily merasa seperti itu.
Hampir tak terdengar, suara pria itu berbicara pelan, seakan menahan kekhawatiran. "Nona," ucapnya dengan suara yang rendah, "Apakah kamu pernah tidur dengan tunanganmu itu?"
Lily terdiam sejenak, seolah ada jarak antara kata-kata dan kenyataan. "Tidak," jawabnya tegas. "Aku menjaga diriku untuk suamiku nanti." hatinya terasa hancur saat mengenang Hugo. "Aku hanya memberinya pelukan dan pegangan tangan. Itu saja."
Lily melanjutkan, meluapkan segala perasaan yang sudah lama terpendam. "Hugo… dia selalu menjaga aku. Dia baik, sangat baik. Tapi ternyata dia menghancurkan aku dengan cara yang paling menyakitkan. Aku memberikan kesempatan padanya. Aku selalu percaya bahwa dia akan berubah, tapi ternyata dia tidak pernah berubah. Hugo terus mengecewakanku tanpa ampun."
Suara pria itu yang semula datar kini mulai menunjukkan keraguan. "Nona, mengapa kamu ingin melakukan ini padaku? Kita bahkan belum saling mengenal."
Tatapan pria itu tajam, seolah mengerti apa yang ada di balik perilaku Lily. "Aku hanya ingin menikmati hidup."
Lily yang kini semakin lelah dengan semua emosi yang bertumpuk, menatap pria itu dengan mata yang penuh kebingungan. "Dunia ini hancur, dan aku ingin merasa bebas," ucapnya dengan suara gemetar. "Aku hanya ingin merasakan kebebasan, meskipun hanya sebentar. Dan aku ingin membalas kebaikanmu yang sudah memberikan topi itu untukku."
Pria itu ingin berbicara, Namun Lily menutup mulut pria itu, matanya masih dipenuhi kebingungan dan rasa sakit yang mendalam.
Ia menatap pria itu seolah mencari jawaban, sebuah pengertian yang bisa memberi sedikit ketenangan pada hatinya yang terluka.
"Aku akan memberikan uang sebagai balasan," ucapnya, suaranya sedikit bergetar, namun penuh tekad. "Aku mungkin tidak punya banyak, tapi cukup untuk membeli sesuatu yang bisa kamu inginkan. Aku tidak banyak, hanya sedikit yang aku bawa, tapi itu cukup untukku... untukmu."
Pria itu mendengus pelan, tatapannya tajam dan penuh pertanyaan. "Berapa banyak?" tanya pria itu dengan suara tenang, meski ada sedikit keraguan yang bisa ia rasakan.
Lily menghela napas pelan, merasa hati dan pikirannya bertabrakan. "Aku tidak punya banyak uang," jawabnya pelan. "Aku yatim piatu. Hanya ada nenekku di kampung. Tapi, aku punya cukup uang untuk membelikanmu sesuatu... sesuatu yang mungkin kamu inginkan. Meski tidak mahal, itu yang bisa aku beri."
Pria itu hanya menatap Lily dalam diam, wajahnya begitu datar. Tidak ada tanda-tanda penolakan, namun juga tak ada tanda-tanda persetujuan.
Tatapannya hanya mengunci Lily dalam kebingungannya. "Apakah ini terlalu kurang... atau mungkin dia merasa aku tidak cukup puas?" pikir Lily dalam hati, meskipun ia tetap menunggu jawaban dari pria itu dengan sabar. Tidak ada yang terucap dari bibir pria itu, hanya diam yang semakin menekan.
Akhirnya, setelah beberapa saat yang terasa begitu panjang, pria itu berbicara. "Jangan menyesal ketika semuanya sudah dilakukan," ucapnya, suaranya begitu berat, namun ada nada peringatan yang tersembunyi di dalamnya.
Lily terkekeh, seolah suara pria itu hanya menambah ironi pada situasi yang sudah sangat kacau ini. Ia tidak bisa menahan tawa yang hampir terdengar seperti ejekan. "Menyesal?" jawabnya dengan nada tinggi. "Aku tidak akan menyesal dengan keputusan yang sudah aku buat. Semua ini sudah menjadi pilihanku."
Lily memandang pria itu dengan tatapan tajam, namun di dalam hati, ia tahu bahwa keputusan ini, apapun yang akan terjadi, adalah miliknya sendiri.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lily merasa sedikit lebih bebas, meski kebebasan itu datang dengan harga yang sangat mahal.
Lily yang bergerak secara impulsif menarik pria itu dan mencium begitu intens, gerakan tubuh mereka berunjung pada nafas di udara yang penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan.
Mereka saling merasakan adanya dorongan fisik, tapi tetap menahan perasaan dan membuat pilihan berdasarkan situasi mereka.
Detak jantung yang semakin cepat, kegelisahan yang mulai meningkat, dan perasaan cemas yang berubah menjadi ketertarikan.
Setiap langkah mereka seperti dua magnet yang semakin mendekat, meski keduanya berusaha menahan daya tarik yang ada.
Sentuhan tangan yang berunjung pada sebuah desahan menjadi keributan suasana di sana. Lily tak kuat sampailah ia berdesis kesakitan yang tak tertahankan di bagian intimnya.
Seperti ada benda besar yang merobek kulit dalamnya dan membuatnya mendorong pria itu lebih kuat.
Dengan nada rendah dan tenang pria itu kembali memeluk Lily dalam dekapannya. "Awalnya memang terasa asing dan mungkin menyakitkan, tapi seiring berjalannya waktu, semuanya bisa berubah menjadi pengalaman yang lebih bermakna."
Lily mendengarkan dengan penuh perhatian, sedikit bingung. "Apakah hidupku yang penuh rasa sakit ini juga bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih baik, lebih berarti?"
Pria itu tersenyum tipis, sebuah senyuman yang sedikit misterius namun penuh pengertian. "Semua tergantung pada bagaimana Nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Namun, pria itu bergerak seolah memberikan kepastian bahwa setiap gerakannya membuat Lily kembali mendesah hebat malam itu.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰