Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Informasi tentang Ghio
"Nak Rain!"
Rain menoleh ke belakang. "Ibu panggil saya?"
"Ya, siapa lagi di komplek ini yang bernama Rain?"
Bu Jumi berjalan ke arah Rain. Di ketiaknya masih terselip kemoceng.
"Ada apa Bu Jumi panggil saya?" tanya Rain dengan alis naik.
Bu Jumi mendekatkan wajahnya ke arah Rain. Matanya menyipit, memandang Rain dengan teliti.
Rain yang ditatap seperti itu sedikit waspada. Apa ia melakukan kesalahan? Atau tersangka kasus pencurian di komplek ini? Mata Rain berkedip.
"Nak Rain ngomong sama siapa?" tanya Jumi.
Rain diam sebentar. "Maksudnya? Ya, ngomong sama Bu Jumi lah. Apa Rain salah?" Kali ini Rain yang menelisik Bu Jumi. Ditatapnya paru baya itu. "Ini Bu Jumi, kan? Bukan cenayang, kan?"
"Lambe mu. wong wujud nyata begini di bilang cenayang."
"Lha?"
Bu Jumi berdecak. "Bukan itu maksud ibu. Itu Lo." Jumi menunjuk atas kontrakan Rain. "Kamu ngomong sama siapa di sana?"
Rain diam membatu. Matanya kelayapan, mencari jawaban yang tidak mencurigakan. Sepertinya ini bukan Bu Jumi, mungkin saja memang betulan cenayang.
"Mak-sud ibu apa, ya? Saya ngomong sama siapa?" tanya Rain sambil melemparkan raut bingung. Tapi jantungnya sudah tidak aman lagi.
"Itu loh, saya tadi lihat kamu ngomong disana. Ngomong sama siapa? Ibu lihat kamu cuma sendirian," kata Bu Jumi dengan wajah penasaran. Sama seperti ibu-ibu yang baru mendengar gosip baru namun belum jelas.
"Di atas?" Rain menunjuk rooftop kontrakannya. Rupanya, memang masih terlihat dari sini walaupun tidak keseluruhan. "ohh... itu... itu kucing. Ini loh Bu, akhir-akhir ini, ada kucing yang sering mampir ke rumah. Kasihan kucingnya, kelaparan gitu. Makanya saya kasih makan, sekalian di ajak ngomong."
Rain merasa sangat berdosa. Tapi, apa boleh buat. Ia berbohong untuk kebaikan. Tak mungkin juga ia berkata jujur. Pastinya Bu Jumi akan menganggap Rain gila.
"Oalah. Tak kirain apa."
Rain tertawa paksa. "Iya Bu." Rain sedikit lega.
Tapi, Jumi tiba-tiba mendekatkan kepalanya kembali.
Rain berkedip.
"Saran saya, jangan sering-sering ke sana."
"Lho? Kenapa, Bu?"
"Begini..."
"Bu!"
Panggilan dari arah belakang mengagetkan kedua insan itu. Baik Rain maupun Bu Jumi sama-sama menoleh.
"Apa to, pak? Ganggu orang aja."
Ternyata suami Bu Jumi. Paru baya itu seperti uring-uringan, menggaruk kepalanya, dan wajah kusut.
"Mana kopi bapak? Ditungguin dari tadi gak muncul-muncul."
Bu Jumi berkacak pinggang. "Tunggu sebentar. Ada yang mau ibu omongin sama nak Rain. Sana! Jangan ganggu perempuan lagi ngobrol," omelnya.
Lantas, suami Bu Jumi pergi dengan wajah kesal.
Bu Jumi tak kalah kesal. "Ganggu aja." Ia berbalik menatap Rain. "Jadi begini..."
Rain menggulum tawa. Wanita paru baya itu nampak lucu di matanya. Bisa-bisanya wanita itu terlihat biasa saja saat ingin kembali bercerita. Padahal, tadi wajahnya sudah penuh keriput saking kesalnya.
"Di sana ada penghuninya."
Rain berkedip. Sepertinya pembahasan ini serius.
"Sering sekali ada hantu bertubuh tinggi, baju hitam, duduk di atas sana."
Rain menggigit bibirnya. Ciri-ciri itu sepertinya mendefenisikan Ghio.
"Ibu pernah lihat?"
Bu Jumi menggeleng.
"Trus?"
"Bukan ibu yang lihat, tapi si bapak. Seperti yang ibu bilang, kontrakan itu ada penghuninya. Itu emang betul. Suami saya sering melihat hantu itu di atas sana. Duduk tenang, diem bae deh pokoknya."
Rain percaya itu, tapi lain dengan mulutnya. "Halusinasi kali itu Bu. Semenjak saya tinggal, gak ada tuh yang ganggu saya." Rain berbohong lagi.
"Ye, dibilangin malah ngeyel. Bentar, saya panggil bapak dulu. Pak! Bapak!"
Rain menggaruk kepalanya. Astaga! Kenapa harus dipanggil? Panjang ini ceritanya.
Rain melirik jam tangannya. Sepertinya ia akan terlambat masuk kelas.
"Bapak!"
"Apa to, Bu? Tadi aja bapak datang dimarahin. Sekarang dipanggil buat apa?" Si bapak datang dengan wajah kesal.
"Bapak sini. Benar kan kalau bapak pernah lihat hantu di atas itu?" tanya Bu Jumi sambil menunjuk kontrakan Rain.
"Bukannya bapak udah cerita? Kenapa ditanya lagi?"
"Ini, nak Rain gak percaya kalau di situ ada hantunya."
Rain sebagai tersangka hanya mampu mengedipkan mata. Posisinya masih duduk di atas motor.
"Kenapa gak percaya, neng? Saya melihat mata saya sendiri. Di atas itu sering sekali anak itu duduk," kata bapak dengan wajah serius.
Rain turun dari motornya. Lantas, ia menatap suami Jumi serius. "Bapak beneran? Rupanya gimana?"
"Masnya ganteng, badannya tinggi, pakai baju-eh, jaket hitam. Dia suka di sana, tunjuknya ke atap rumah Rain.
Ciri-ciri itu memang ciri-ciri Ghio. Paru baya ini benar.
"Dia memang suka tempat itu. Dulu saja, dia sering sekali di sana," lanjut si bapak.
Telinga Rain seolah menajam. "Dulu? Maksud bapak?"
"Itu, waktu masnya masih hidup, dia suka di sana."
Dahi Rain berkerut. Raut penasaran terpampang jelas di wajahnya.
Melihat itu, si bapak bertanya. "Neng gak tahu?"
"Tahu apa, pak?"
"Sebelum kontrakan itu menjadi angker, dulu masnya tinggal disana."
"Masnya? Maksud bapak hantu itu?" tanya Rain.
Si bapak mengangguk. "Iya. Beberapa bulan lalu lah kisarannya. Setelah itu, dia tak kelihatan lagi, tak ada kabar. Ehh, tiba-tiba kami denger dari Bu Halidah, masnya kecelakaan."
"Kecelakaan?"
"Iya. Tapi, waktu saya gak percaya neng, soalnya saya masih sering lihat dia di atas sana."
Bu Jumi menimpal. "Betul. sayangnya, si bapak ngeliat, tapi saya enggak. Makanya dari situ kami tahu kalau yang dilihat si bapak itu hantu."
Rain diam berpikir. Jadi, Ghio pernah tinggal di sana? Rain menatap kontrakannya. Ghio dulunya penghuni kontrakan itu. Ghio meninggal kerena kecelakaan? Lalu, bagaimana dengan keluarganya? Bagaimana Rain menemukan keluarganya? Bagaimana cara Rain menemukan mama Ghio?
Bapak mengangguk. "Hantu si masnya masih tetap tinggal di sini. Makanya gak ada yang berani tinggal di sana. Neng yang pertama gak ada keluhan. Emang gak di ganggu ya, neng?"
Rain menggeleng. awalnya memang iya. Tapi, sekarang hantu itu bahkan sudah jadi keluarganya.
keluarga? Astaga! Rain lupa, itu hanya penenang untuk Ghio. Keluarga sebenarnya di mana?
Kantor polisi.
Rain kepikiran satu ide.
Sepertinya, ia bisa mencari keberadaan keluarga Ghio dengan bertanya ke kantor polisi. Polisi menyimpan data-data kejadian kecelakaan, kan? Mereka pasti menyimpan itu.
"Kecelakaan di mana, pak, kalo boleh tahu?" tanya Rain penuh harap.
"Apa, neng?"
"Masnya kecelakaan di mana?"
"Kalau itu saya kurang tahu, neng. Saya cuma tahu kalau masnya kecelakaan."
Rain menghela napas. Langkah awal saja sudah sesulit ini. Harapannya pupus. Siapa yang akan ia tanya.
Mata Rain terbuka. Sepertinya ia tahu. "Bu Halidah pasti tahu kan?"
"Tanya Bu Halidah aja, neng. Bapak juga kurang tahu," kata si bapak.
Rain mengangguk. Ya, dia akan menanyakan Bu Halidah.
"Makasih informasinya, pak. Kalau gitu, Rain pergi kuliah dulu. Mau telat ini," pamit Rain.
"Lho? Mau berangkat kuliah? Trus kenapa masih di sini? Ibu?" Bapak melirik Bu Jumi.
Bu Jumi tersenyum penuh salah. "Aduhh... Maaf, nak Rain. Ibu gak tahu. Yaudah. Berangkat aja sekarang, berangkat!" katanya.
Rain tertawa, lalu menyalakan motornya dan tancap gas dari sana.
Informasi hari ini cukup. Setidaknya Rain tahu alasan Ghio tinggal di kontrakan itu.