"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 | Sejak Kapan Kalian Pacaran?
“Aku penasaran,” Edo tiba-tiba membuka suara, memecah keheningan yang sempat terasa. “By the way, Aura, kenapa kamu nggak pernah ikut olahraga?” tanyanya sambil melirikku.
Aku langsung merasa seluruh perhatian tertuju padaku. Nara tercengang, matanya yang semula fokus pada makan kini menatapku tajam, seperti mencari kebenaran dari pertanyaan Edo. Begitu pula dengan Ryan dan dua teman lainnya, yang ikut menatapku penuh rasa ingin tahu.
“Nggak pernah ikut olahraga?” ulang Nara dengan nada terkejut.
Aku menundukkan kepala, mencoba menghindari pandangan mereka. Rasanya, seperti diserang pertanyaan yang tidak ingin kujawab. Jantungku berdebar lebih cepat, dan aku tahu wajahku pasti memerah saat itu.
“Ehm, aku... anu... lagi sakit,” jawabku akhirnya dengan suara pelan, berusaha terdengar meyakinkan meskipun jelas ada nada gugup dalam jawabanku.
Ryan yang sejak tadi menikmati makanannya, tiba-tiba meletakkan sendok dan garpunya dengan bunyi yang cukup keras.
“Iya, sayangku ini memang punya daya tahan tubuh yang lemah,” katanya santai.
Aku tersentak mendengar kata-katanya. Napasku tertahan beberapa detik, dan aku segera menatap Ryan dengan ekspresi tidak percaya.
“Ryan!” seruku dengan nada protes, wajahku kini memerah sepenuhnya.
“Sayang?!” teriak Nara sambil menatap kami berdua dengan mata membelalak, seolah baru saja mendengar kabar paling mengejutkan di dunia.
“Ck! Mulai lagi nih bocah!” Edo ikut bersuara, memandang kami berdua dengan ekspresi kecut, seolah merasa terganggu dengan drama yang baru saja muncul di meja ini.
“Sejak kapan kalian pacaran?” Nara bertanya dengan semangat, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Aku dan Ryan langsung bereaksi hampir bersamaan.
“Enggak!” seruku cepat, sambil menyilangkan lengan di depan dada, mencoba membantah keras-keras.
“Sejak seminggu yang lalu,” jawab Ryan dengan nada santai, bahkan menambahkan senyum jahil di wajahnya. “Eh, tapi benar, kan?” tanyanya padaku sambil memiringkan kepala, seolah sengaja ingin memancing reaksiku.
“Ryan! Aku belum menerimamu!” Aku melotot ke arahnya, mencoba menunjukkan bahwa aku benar-benar tidak suka dengan candaan ini.
Nara langsung terbahak mendengar reaksiku. “Jadi... Ryan nembak kamu?” tanyanya penuh rasa penasaran.
Ryan malah tertawa kecil, menikmati situasi ini. “Iya, aku nembak dia,” katanya dengan nada tenang, seolah tidak ada hal yang lebih santai daripada mengakui perasaannya di depan banyak orang.
“Dua kali malah. Tapi Aura ini masih jual mahal,” lanjutnya sambil melirikku dengan senyum jahil.
Aku melirik Ryan, yang masih tersenyum seolah dia baru saja memenangkan sesuatu.
“Ah, aku jadi males di sini, jadi obat nyamuk.” Nara menggoda sambil tersenyum lebar.
Aku merasa ingin menghilang dari tempat ini. Semua orang tampak menikmati situasi yang bagi mereka mungkin lucu, tapi bagi diriku sangat memalukan.
“Ryan, cukup!” seruku sambil menatapnya tajam.
“Oke, oke,” jawabnya sambil mengangkat tangan, seolah menyerah.
Senyumnya tetap tidak hilang. “Tapi serius, Aura, kamu harus lebih jaga kesehatan. Aku nggak mau sakit,” tambahnya dengan nada serius yang tiba-tiba mengubah suasana menjadi sedikit lebih tenang.
Aku terdiam sejenak. Meski ucapan Ryan itu terdengar seperti perhatian yang tulus, aku masih merasa malu dengan semua candaan sebelumnya. Tapi aku juga tahu, di balik sikap jahilnya, Ryan memang peduli padaku. Edo yang sejak tadi diam, akhirnya mengganti topik pembicaraan kami.
“Aura, serius deh... kamu kenapa nggak pernah ikut olahraga?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut, berbeda dari sebelumnya.
Aku menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Lidahku kelu, dan dadaku terasa sesak. Aku tidak ingin mereka tahu alasanku sebenarnya, karena aku tahu, itu hanya akan membuat suasana semakin canggung. Tepat saat aku sedang berusaha mencari jawaban yang tepat, Ryan tiba-tiba angkat bicara.
“Sudah, ayo balik ke kelas,” ucapnya dengan nada tegas, memotong percakapan yang mulai mengarah ke hal yang membuatku tidak nyaman.
Ryan, dia telah menyelamatkanku dari situasi ini.
“Iya, aku juga mau balik ke kelas,” sahut Nara sambil berdiri dari tempat duduknya.
Tanpa menunggu kami, dia berjalan meninggalkan kantin, terlihat masih kesal dengan sesuatu, entah itu karena Ryan atau karena aku.
Aku hanya mengangguk, lalu berdiri mengikuti langkah kedua teman sekelasku, Ryan dan Edo. Mereka berjalan di depan, berbincang santai, sedangkan aku mengikuti di belakang dengan langkah yang lebih lambat. Ada sesuatu yang terasa berat di dadaku, tetapi aku tidak tahu bagaimana cara melepaskannya.
...»»——⍟——««...
Saat kami sampai di kelas, suasana di dalam sudah mulai ramai. Beberapa teman perempuan terlihat sedang merapikan seragam mereka di meja, sementara suara obrolan kecil terdengar dari sudut kelas.
Ryan dan Edo segera menuju tas mereka untuk mengambil seragam ganti. Aku memandang mereka sebentar, lalu mengalihkan pandanganku ke luar jendela, di mana langit terlihat mulai mendung. Awan kelabu menggantung berat, seperti mencerminkan suasana hatiku yang sedang kacau.
“Aura, aku ke toilet dulu, ya,” ucap Ryan tiba-tiba, membuyarkan lamunanku.
Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ryan segera keluar kelas bersama Edo, meninggalkan aku sendirian di mejaku.
Aku duduk dan menopang dagu di atas tangan, mataku tetap menatap ke luar jendela. Langit yang tadi cerah, kini berubah menjadi abu-abu pekat. Aku tidak tahu kenapa, tetapi pemandangan itu membuatku merasa semakin tenggelam dalam pikiranku sendiri.
Apa yang sebenarnya kurasakan?
Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku. Aku tahu, alasan aku tidak bisa menerima Ryan menjadi pacarku adalah aku tidak ingin dia merasakan kehilangan saat aku meninggalkannya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya.
Aku menghela napas panjang, mencoba mengusir pikiran itu. Tapi, seperti langit mendung di luar sana, pikiran-pikiran itu tetap menggantung, menolak pergi. Rasanya berat, seperti ada beban yang tak bisa kujelaskan.
“Aduh! Sepertinya akan turun hujan,” gumamku pelan sambil melirik ke arah jendela.
Awan gelap mulai memenuhi langit, dan suara angin yang bertiup kencang terdengar samar-samar dari luar.
Kring!
Bel tanda istirahat berbunyi, memecah lamunanku. Aku menghela napas lega, setidaknya bel ini memberiku alasan untuk memecah keheningan di pikiranku.
Aku membuka tas dan mengeluarkan bekal yang sudah disiapkan pagi tadi. Sebuah kotak makan berisi nasi, ayam goreng, dan sedikit tumisan sayur. Aromanya langsung tercium ketika kubuka, membuatku sedikit lupa pada suasana hati yang tadi sempat kacau.
Namun, saat aku hendak mulai makan, sebuah suara menginterupsi. Suara yang membuatku langsung merasa tidak nyaman.
“Eh, Aura jelek, apa yang kamu makan itu? Makanan babi?”
...^^^»»——⍟——««^^^...