Rasa bersalah yang menjerumuskan Evelin, atlet renang kecil untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seluruh keluarganya. Kesepian, kosong dan buntu. Dia tidak mengerti kenapa hanya dia yang di selamatkan oleh tuhan saat kecelakaan itu.
Namun, sebuah cahaya kehidupan kembali terlihat, saat sosok pria dewasa meraih kerah bajunya dan menyadarkan dia bahwa mengakhiri hidup bukanlah jalan untuk sebuah masalah.
"Kau harus memperlihatkan pada keluargamu, bahwa kau bisa sukses dengan usahamu sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesal menyelamatkanmu dari kematian." Reinhard Gunner.
Semenjak munculnya Gunner, Evelin terus menggali jati dirinya sebagai seorang perenang. Dia tidak pernah putus asa untuk mencari Gunner, sampai dirinya tumbuh dewasa dan mereka kembali di pertemukan. Namun, apa pertemuan itu mengharukan seperti sebuah reuni, atau sangat mengejutkan karena kebenaran bahwa Gunner ternyata tidak sebaik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elsa safitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Musim dingin
...***...
Gunner membuka mata, terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Kepalanya berdenyut-denyut seperti dipukul palu godam. Dia memandang sekeliling, mencari tahu di mana dia berada. Kamar itu gelap, hanya cahaya remang dari jendela kecil. Dia melihat kasur yang tidak familiar, dinding yang tak dikenal, dan bau alkohol yang masih tercium.
Kenangan malam sebelumnya mulai muncul, membangkitkan rasa penyesalan. Dia ingat minum alkohol berlebihan di bar, wanita-wanita penghibur yang menemani, dan... lalu semuanya menjadi kabur.
"Ugh, kepalaku sakit sekali.
Dia memijat kepala dan menggeliatkan tubuh yang lelah. Lututnya mulai menekuk, menandakan kelelahan yang mendalam. Dia mencoba bangun, tapi badannya terasa berat seperti timbangan.
Saat Gunner berusaha bangun, pintu kamar terbuka. Seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang dan mata coklat memasuki kamar, membawa segelas air putih. Dia terkejut melihat Gunner sudah duduk, lalu mendekat dengan cepat.
"Gunner, kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?" Dia duduk di sampingnya, memegang pundaknya dengan lembut, menunjukkan kekhawatiran.
"Aku baik-baik saja, madam," jawab Gunner seraya mengambil segelas air dan meneguknya hingga tetes terakhir. Matanya terpejam sejenak, menikmati kesegaran air.
Wanita itu tersenyum lega. "Namaku Luna. Kita bertemu tadi malam di bar. Bagaimana kepalamu? Apakah masih sakit?"
Gunner berdiri, wajahnya masih pucat. "Sedikit," jawabnya singkat.
Dia melangkah menuju pintu, tetapi berhenti sejenak di ambangnya. Menoleh ke belakang, dia mengucapkan, "Terima kasih atas kemurahan hati Anda, madam."
Dengan senyum tipis, dia mengangguk hormat sebelum keluar dari kamar, meninggalkan Luna yang masih duduk di kasur dengan ekspresi khawatir.
*
*
*
Setelah liburan musim dingin selama satu bulan, mereka kembali ke kampus dengan semangat baru. Jaket tebal dan syal hangat melindungi mereka dari hawa dingin yang menyengat. Suasana kampus kembali hidup dengan langkah kaki mahasiswa yang bersemangat memulai semester baru.
Saat itu, Evelin dan Gunner berpapasan di koridor, tapi tidak ada senyum atau sapaan. Atmosfer tegang terasa ketika mata mereka bertemu sekilas. Evelin berlalu di samping Gunner tanpa menatapnya. Gunner menghentikan langkahnya, menunggu Evelin berbicara. Namun, dia hanya melanjutkan berjalan, meninggalkan Gunner dengan kebingungan.
Gunner menoleh, mata terpaku pada siluet Evelin yang semakin menjauh. Dia sangat ingin menghentikan langkahnya, namun kata-kata terasa terjebak di kerongkongannya. Rasa buntu dan keraguan menghimpit, membuatnya memilih meninggalkan tempat itu, meninggalkan kebimbangan yang menghantui.
Saat waktu makan siang tiba, Evelin berjalan sendirian menuju kolam renang. Dia duduk di tepi kolam, menatap ke arah air yang jauh dan berkilauan karena pantulan cahaya lampu. Dalam kepalanya terus tergambar adegan dimana dia menyudutkan Gunner dan mengungkapkan perasaannya.
"Itu memalukan. Seharusnya aku langsung pulang saat itu."
Dia bergumam sambil menunduk malu. Kenangan itu tak kunjung hilang dalam kepalanya dan membuat penyesalan semakin bertambah.
Meskipun merasa malu, Evelin juga merasa lega karena telah mengungkapkan apa yang memang harus dia ungkapkan. Dia menyadari bahwa Gunner akan segera pergi setelah lulus, sehingga dia tidak perlu khawatir tentang konsekuensi jangka panjang. "Kenapa aku harus malu? Lagian si bodoh itu akan pergi setelah lulus." katanya pada dirinya sendiri, mencoba menghibur hati yang masih terluka.
Saat Evelin hendak pergi setelah menyelesaikan makan siang, pintu tiba-tiba terbuka dan membuatnya terkejut. Dia menoleh dan menemukan Luke dan Fanny berdiri bersama di ambang pintu.
"Senior?" Evelin bertanya dengan heran.
"Evelin, apa yang kamu lakukan di sini?" Fanny bertanya, mendekat dengan langkah ringan. Luke mengikuti dari belakang, menatap Evelin dengan rasa ingin tahu. Fanny mengenakan pakaian renang dan kacamata renang, menunjukkan bahwa dia siap berlatih renang untuk lomba musim semi.
"Aku baru selesai makan siang." Evelin memandang Fanny dan Luke dengan rasa penasaran. "Apa senior akan berlatih renang?"
Fanny mengangguk dengan percaya diri dan naik ke atas papan renang. "Aku harus mencetak rekor baru untuk lomba musim semi."
"Sayang, berikan aba-aba!" Fanny meminta pada Luke dengan semangat.
Luke mengangguk, mengangkat tangannya, dan berteriak, "Siap... Mulai!" Suara tersebut menggema di sekitar kolam, memberikan semangat pada Fanny untuk melompat ke air dan memulai latihannya.
Fanny berenang dengan gaya dada yang sempurna, meninggalkan jejak kecepatan di permukaan air. Gerakannya harmonis dan anggun, seolah-olah tubuhnya menjadi satu dengan air. Evelin dan Luke terpikat pada pemandangan itu, takjub akan ketepatan dan kekuatan Fanny dalam setiap gerakan.
Saat Fanny berenang dengan fokus, Luke mendekati Evelin dengan langkah santai. "Kau yang beberapa hari lalu berada di depan bar, kan?" Dia tiba-tiba bertanya, namun pandangannya tetap lurus ke depan.
Evelin menoleh, terkejut dengan pertanyaan tersebut. Dia terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. Sebelum dia berkesempatan menjawab, Luke melanjutkan, "Kau tahu? Setelah kau bicara dengannya, dia jadi sangat berbeda. Sebenarnya apa yang kalian bicarakan saat itu?"
Evelin terlihat terkejut dan bingung. Dia memang bertemu Gunner di koridor, tapi pria itu tampak biasa saja, seolah tidak terjadi apa pun. Rasa penasaran dan keheranan memancar dari wajahnya.
Evelin mencari kejelasan dengan bertanya, "Apa maksudmu, senior?"
Namun, Luke langsung mendekati Fanny yang sedang naik dari kolam, meninggalkan Evelin dengan rasa penasaran. "Sayang, berapa kecepatanku kali ini?" Fanny bertanya dengan napas terengah-engah.
Luke tersenyum bangga, menunjukkan stopwatchnya. "Kecepatanmu bertambah 8 detik!"
"Hufft.. Aku harus lebih berusaha."
Setelah naik dari kolam, Fanny mendekati Evelin dengan langkah santai dan senyum lebar. Dia menepuk pundak Evelin sekali, membuatnya terkejut dan bingung. "Giliranmu sekarang! Ayo berenang sebelum kelas selanjutnya dimulai!" Fanny terlihat bersemangat dengan mata yang bersinar menantang. Evelin masih terdiam, belum pulih dari keheranan.
Evelin menggelengkan kepala dengan yakin. "Tidak, kelas selanjutnya akan di mulai sebentar lagi. Aku tidak bisa masuk terlambat."
Fanny tidak menyerah. Dia menarik tangan Evelin dengan lembut, membawanya mendekati kolam. "Lihat, airnya sejernih kristal! Kau tidak tergoda untuk berenang?" Fanny bertanya dengan senyum menggoda, mata bersinar menantang.
Evelin terpesona oleh keindahan kolam renang yang begitu jernih dan menyegarkan. Airnya yang biru cerah memancarkan kesegaran, membuatnya ingin segera terjun ke dalamnya. Setiap ombak kecil menciptakan efek kilauan yang menarik, seperti ribuan berlian yang berkilauan. Keindahan kolam itu tetap memukau, bahkan dari jarak jauh, mengundang hati untuk menikmati kesegaran dan keindahan yang tak terhingga.
Evelin berlari cepat ke ruang ganti, mengganti pakaian dengan setelan renangnya. Dia memasang topi renang dan kacamata, lalu melompat ke dalam kolam dengan cepat.
"Haha... Dasar maniak renang!" Fanny mengejek secara terbuka.
Sementara itu, Luke menatapnya takjub, memuja keindahan gaya bebas Evelin. Setiap gerakan tubuhnya harmonis, seperti tarian di dalam air. Keindahan itu memanjakan indera penglihatan, mempesona semua yang menyaksikannya.
Sementara itu, Fanny berlari ke ruang ganti, siap membersihkan tubuh dan berganti pakaian. "Sayang, pergilah ke kelas duluan. Aku akan menyusul setelah ganti baju."
Luke mengangguk lalu pergi dari tempat itu, meninggalkan Evelin sendirian di dalam kolam. Dia tetap berfokus pada renang, tak mempedulikan waktu yang terus berjalan. Meskipun kelas selanjutnya sudah dekat, Evelin terlupa akan semua itu, terhanyut dalam kegembiraannya saat dia mengayuh kaki dan tangan. Air jernih dan gerakan tubuhnya yang harmonis menciptakan keselarasan yang sempurna.