Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Baru Beberapa Jam
Dave meminta Maya mengambil alih Carla dariku dan berpesan untuk tetap menjaga Carla di kamar. Aku dan Dave bergegas keluar diikuti mbok Darmi. Otakku tak berhenti berpikir barang aneh apa yang dimaksud oleh mbok Darmi.
Sesampainya di muka pintu, Dave tiba-tiba berhenti sehingga aku menabrak punggungnya. Dave berbalik lalu merangkulku ke depan. Hidungku sedikit sakit tapi sakitnya tak ku hiraukan saat melihat spanduk dengan ukuran cukup besar di pagar rumah.
Kedua netraku membulat. Gila. Lelaki betina itu benar-benar gila. Jadi, barang aneh yang dimaksud mbok Darmi adalah spanduk dengan gambar Noel dan Dave sedang tidur di dalam kamar. Keadaan mereka setengah bugil. Bagian bawah ditutupi dengan selimut.
Posisi Dave tidur dengan memeluk bantal dan Noel memeluknya dari atas sambil mendaratkan kecupan di pipi suamiku.
"Dia benar-benar gila," ucapku geram.
Dave mengeratkan pelukannya dan berkata pada pak Ujang, "Pak, tolong dilepas!"
"Baik, tuan," ucap pak Ujang.
Pria paruh baya itu segera menjalankan perintah Dave meski dengan wajah mengkerut. Aku yakin banyak pertanyaan dan kebingungan di pikiran pak Ujang.
Nada suara Dave datar seperti biasa. Seolah tak ada emosi di sana. Pembawaannya juga tenang. Bukankah seharusnya saat ini Dave marah?
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku pada Dave.
Dave menoleh dan menatapku dari samping. Dia tersenyum dan berkata, "Aku baik-baik saja. Kau sendiri?"
"Aku murka. Rasanya ingin aku kuliti," jawabku geram.
Tangan Dave yang merangkul beralih mengusap punggungku berulang kali. Keadaannya kini berbalik. Tadi siang aku yang menenangkan Dave. Sekarang giliranku yang ditenangkan olehnya.
Itulah bedanya pria dan wanita. Saat mendapat sebuah pukulan mental, mereka akan menyelesaikannya saat itu juga. Mencari solusi adalah jalan terbaik. Bukan berkutat pada masalah itu.
Tidak seperti wanita yang selalu membawa masalah itu kemana-mana. Bahkan, kejadian beberapa tahun terakhir pun mampu diingat dan diungkit lagi.
"Kita sudah tahu akan seperti ini. Biarkan saja!" ucap Dave pelan.
"Aku tidak mengira saja secepat ini. Baru juga beberapa jam. Lagipula dari mana dia bisa mencetak spanduk malam-malam begini?"
"Mungkin tadi siang."
"Benar-benar sangat niat," jawabku.
"Tenangkan dirimu, babe! Ronde pertama baru dimulai," ucap Dave.
Matanya melirik ke pak Ujang dan mbok Darmi. Aku mengerti maksud suamiku itu. Ronde pertama yang dimaksud adalah pak Ujang, mbok Darmi, dan Maya. Mereka pasti bingung dan menuntut penjelasan.
Mau tidak mau, aku dan Dave harus menjelaskan duduk perkaranya malam ini juga. Tidak bisa jika menunggu besok. Mana tahu besok kami akan menghadapi ronde kedua, ketiga, entah berapa ronde yang akan kami hadapi.
"Maaf tuan, ini mau diapain?" tanya pak Ujang sambil menunjuk spanduk yang sudah dilipatnya.
"Taruh dulu di pos. Besok pagi baru bapak bakar di belakang. Tidak enak sama tetangga sekitar. Takut asapnya kemana-mana," jelas Dave.
"Baik tuan," jawab pak Ujang sambil undur diri.
"Pak Ujang!" panggil Dave sebelum pria itu berlalu dari hadapannya.
"Setelah ini saya tunggu di ruang keluarga, ya," ucap Dave santai.
"Baik tuan," ucap pak Ujang.
"Mbok juga ikut ke ruang keluarga tapi saya minta mbok tolong panggilkan Maya juga," titah Dave pada mbok Darmi.
Wanita paruh baya itu dari tadi sudah kasak-kusuk. Bahkan, sesekali ku dengar mbok Darmi melafazkan istigfar.
Mbok Darmi berbalik hendak menuju kamar Carla tapi beliau berbalik lagi dan berkata, "Tapi tuan, kalo non Carla belum bobok atau rewel gitu gimana?"
"Bawa saja mbok. Nanti biar saya yang urus Carla," jawabku.
"Baik nyah."
Mbok Darmi segera undur diri. Aku melihat mbok Darmi setengah berlari menuju kamar Carla. Mungkin baginya ini adalah masalah besar. Mbok Darmi dan pak Ujang baru melihat dari gambar saja. Tak bisa kubayangkan jika mereka melihatnya secara langsung. Bisa-bisa wanita paruh baya itu terkena serangan jantung.
"Ayo!" Dave menuntunku masuk ke dalam rumah menuju ruang keluarga.
Untung saja dalam perjalanan pulang tadi, aku dan Dave sempat membahas apa saja yang akan kami utarakan pada mereka. Bagian mana yang harus diceritakan dan mana yang tidak harus diceritakan.
Memberi penjelasan juga harus diukur. Jika itu aib sebaiknya jangan diumbar. Cukup garis besarnya saja.
Pak Ujang lebih dulu menyusul kami di ruang keluarga. Tinggal menunggu mbok Darmi dan Maya.
"Lho, kenapa duduk di bawah pak?" tanya Dave saat melihat pak Ujang duduk di lantai.
"Tidak apa-apa tuan," jawab pak Ujang sungkan.
"Duduk diatas pak," ucap Dave sambil mempersilahkan pak Ujang duduk di sofa yang bersebrangan dengan kami.
"Iya pak. Tidak baik orang tua duduk di bawah sedangkan kami yang muda duduk di atas," aku menimpali.
"Tapi tuan ..."
"Bapak itu tetap orang tua. Supir itu cuma profesi saja, pak," jelas Dave.
"Baik tuan. Saya permisi duduk di atas," ucap pak Ujang sambil menundukkan kepala.
"Silahkan pak," Dave mempersilahkan pak Ujang duduk dengan sopan.
"Mama! Hoam!" seru Carla sambil menguap.
Aku bangkit mengambil alih putriku dari gendongan Maya. Putri kecilku mengantuk. Kasihan Carla. Aku harus menyita waktunya lagi.
"Mbok Darmi dan Maya duduk di dekat pak Ujang. Jangan duduk di bawah!" perintah Dave saat melihat kedua wanita beda usia itu hendak mendaratkan tubuhnya ke lantai persis yang dilakukan oleh pak Ujang tadi.
"Baik tuan," ucap mbok Darmi dan Maya serempak.
Aku kembali duduk di samping Dave. Carla aku baringkan dengan lenganku sebagai bantal kepalanya. Aku mengukir wajahnya agar dia terlelap.
"Maya mungkin tidak tahu apa yang dilihat kita tadi. Besok mbok Darmi bisa jelaskan ke Maya. Saya ingin menjelaskan duduk perkaranya," ucap Dave pelan.
Dave jeda sejenak lalu melanjutkan ucapannya, "Saya dan Noel memang memiliki hubungan ..."
"Astaghfirullah," sela mbok Darmi.
Dave sempat terhenti sebentar saat mbok Darmi tanpa sengaja menyelanya. Dave tidak marah. Dia tahu itu adalah hal yang wajar.
"Hubungan kami sebatas teman. Namun, sangat disayangkan hubungan pertemanan ini harus diakhiri karena Noel memiliki perasaan khusus terhadap saya."
"Astaghfirullah," ucap mbok Darmi.
"Astaga!" seru Maya.
"Oalaa," ucap pak Ujang.
"Gambar di depan itu memang benar saya sedang menginap di hotel bersamanya. Berhubung kamar hotel penuh, jadi saya berbagai tempat tidur dengannya. Toh, Noel laki-laki. Jadi, bagi saya tidak masalah. Saya tidak tahu saat saya tidur dia melakukan hal itu."
"Oalaa, dasar! Mbok udah mikir macam-macam," seru mbok Darmi.
"Sst, mbok! Dengerin dulu penjelasan tuan!" sela pak Ujang.
Mbok Darmi tersenyum malu saat ditegur pak Ujang.
"Maaf tuan. Silahkan dilanjutkan. Mbok tutup mulut," ucap mbok Darmi sambil memperagakan menutup mulut dengan ibu jari dan telunjuknya.
"Beberapa waktu terakhir, Noel menunjukkan gelagat yang menurut saya diluar nalar. Menurut saya perbuatannya sudah kelewat batas."
"Oh, makanya tadi tuan Noel itu ngepak barangnya karena diusir sama tuan!" seru mbok Darmi lagi.
"Mbok!" seru pak Ujang dan Maya bersamaan.
Mbok Darmi tersenyum malu.
"Maaf kelepasan tuan," ucapnya sambil memukul mulutnya.
"Aduh, ini mulut kok nda bisa ngerem!" ucap mbok Darmi kesal.