Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sérvantis
Kaivorn bangkit perlahan, meskipun tubuhnya masih terasa berat.
Dia menghela napas, memandang ke arah celah gua yang terbuka. "Ayo kita pergi."
Raivan dan Calista tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran mereka.
Mata mereka mencerminkan rasa cemas yang selama ini terpendam.
Calista menggigit bibirnya, sementara Raivan, yang biasanya tenang, terlihat sedikit tegang.
"Kau yakin, Tuan Muda?" Raivan akhirnya bersuara, dengan nada yang sedikit lebih serius dari biasanya. "Kau tadi pingsan selama satu jam penuh."
Calista mengangguk beberapa kali, seolah-olah ingin menekankan kekhawatirannya.
"Iya, kau belum pulih sepenuhnya, Kaivorn." katanya cemas. "Mungkin kita harus menunggu sebentar lagi."
Kaivorn memandangi Raivan, mata tajamnya menangkap sesuatu di balik kekhawatiran itu.
"Raivan," suaranya rendah, namun penuh makna, "Kau tidak mungkin tidak menyadarinya, kan?"
Raivan terdiam sejenak, tatapannya kosong sebelum sebuah senyuman tipis muncul di sudut bibirnya.
Dia menggeleng pelan, seperti menyadari sesuatu yang hanya dia dan Kaivorn yang tahu.
Calista, yang sejak tadi kebingungan dengan sikap kedua pria di hadapannya, akhirnya mengerutkan kening. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"
Raivan mengabaikan pertanyaan itu, dia meregangkan tubuhnya dengan malas, melenturkan otot-ototnya seolah sedang mempersiapkan diri.
"Biarkan aku saja yang mengurus ini, Tuan Muda." suaranya tenang, tapi penuh keyakinan. "Kau istirahat saja. Ini bukan pertarungan yang kau perlukan sekarang."
Kaivorn memicingkan mata, ada sedikit keraguan di sana. "Apa kau yakin bisa melakukannya sendiri?"
Raivan berhenti di ambang pintu gua, menoleh ke belakang.
Tatapannya tidak berubah, tetap santai namun menusuk. "Apakah sekarang kau meragukanku, Kaivorn?"
Kaivorn menghela napas panjang, lalu menutup matanya sejenak, membiarkan senyum tipis terbentuk di wajahnya.
"Tidak," gumamnya lembut, "Aku tidak pernah meragukanmu."
Raivan tersenyum lebar, kali ini senyum yang sepenuhnya miliknya, penuh kepastian dan sedikit rasa main-main.
Tanpa berkata lebih, dia melangkah keluar gua dengan langkah tenang, tanpa beban.
Angin dingin pagi hari menerpa wajahnya yang tengah tersenyum lebar.
Di luar, puluhan monster raksasa berkulit hijau—orc—berdiri menunggu.
Masing-masing dari mereka adalah raksasa berotot dengan kulit kasar dan senjata besar yang menonjolkan kekuatan brutal mereka.
Tanah bergetar setiap kali salah satu dari mereka bergerak.
Raivan hanya memandang mereka dengan tenang, seolah-olah sedang melihat segerombolan binatang liar yang tidak terlalu menarik perhatiannya.
Calista berjalan mendekat ke Kaivorn, masih tampak khawatir. "Dia benar-benar akan melakukannya sendiri? Puluhan orc...Mereka bukan musuh yang mudah, apalagi untuk satu orang," bisiknya.
Kaivorn memandang Raivan yang kini berdiri beberapa meter di depan gua. "Jangan khawatir," jawabnya, nada suaranya tenang meski ada kelelahan di matanya. "Raivan selalu tahu apa yang dia lakukan. Baginya, ini mungkin hanya latihan ringan."
Calista masih tampak ragu. "Latihan ringan?" gumamnya, tak percaya.
Raivan berhenti tepat di depan para orc, yang kini mulai bergerak mendekat.
Salah satu dari mereka, yang tampak lebih besar dan lebih menakutkan dari yang lain, maju selangkah.
Giginya yang besar terlihat mengancam saat dia menatap Raivan dengan niat membunuh.
"Kau manusia bodoh!" seru orc itu dengan suara beratnya, "Beraninya kau melawan kami sendiri?"
Raivan hanya tertawa kecil, seakan-akan lelucon besar baru saja dilemparkan kepadanya.
Dia meregangkan lehernya, lalu bahunya, dan memutar-mutar pergelangan tangannya dengan santai.
"Aku tidak berencana melawan kalian," ucap Raivan ringan. "Aku hanya ingin bersenang-senang sedikit."
Orc itu menggeram marah, lalu melontarkan pukulan besar ke arah Raivan.
Tapi sebelum pukulan itu mengenai, Raivan sudah menghilang dari pandangan, bergerak jauh lebih cepat dari suara.
Dia muncul di samping orc itu dan dengan gerakan yang elegan namun mematikan, dia menendang lutut orc dengan kekuatan yang cukup untuk membuat makhluk besar itu jatuh berlutut.
"Aku bilang aku hanya ingin bersenang-senang, bukan?" kata Raivan sambil tersenyum tenang.
Orc itu meraung kesakitan, tapi sebelum dia sempat membalas, Raivan sudah melanjutkan gerakannya.
Dengan langkah ringan dan lincah, Raivan menari di antara para orc, menghindari serangan mereka yang lambat tapi kuat.
Setiap kali mereka mencoba menangkapnya, dia sudah berpindah tempat, seolah-olah bermain dengan mereka.
Tangan Raivan dengan cepat meraih batu kecil dari tanah, dan dengan satu gerakan cepat, dia melempar batu itu ke kepala salah satu orc, tepat di antara matanya, membuat orc itu terhuyung mundur.
"Kau tahu," Raivan berbicara seakan-akan sedang dalam percakapan biasa, "pertarungan akan menjadi sangat menyenangkan jika kita menikmatinya seperti ini."
Dia menendang orc lain di perut, memanfaatkan momentum mereka untuk menghempaskannya ke tanah.
Kaivorn, yang memperhatikan dari jauh, tidak bisa menahan senyumnya.
"Seperti itulah Raivan," gumamnya pada Calista. "Dia bertarung seperti sedang menari, dia selalu menikmati setiap momennya."
Calista mengerutkan kening. "Tapi, bukankah ini terlalu berisiko? Puluhan orc… satu kesalahan saja dan dia bisa terbunuh."
Kaivorn hanya menggeleng, matanya fokus pada Raivan. "Raivan tidak pernah membuat kesalahan dalam hal seperti ini."
Pertarungan di depan gua semakin memanas.
Orc-orc yang lebih besar mulai menyerang Raivan dengan serangan yang lebih ganas, mengayunkan senjata mereka dengan liar.
Tapi Raivan tetap tenang, menghindari setiap serangan dengan kelincahan yang hampir tidak manusiawi.
Dia menggunakan segala hal di sekitarnya—batang pohon, batu besar, bahkan tanah licin—untuk menjatuhkan musuh-musuhnya.
Dia melompat ke atas batu besar, menggunakan tingginya untuk melompat ke udara dan menendang dua orc di wajah secara bersamaan, sebelum mendarat dengan lembut seperti kucing.
Tangan Raivan kemudian meraih sebuah ranting dari pohon yang sudah tumbang, dan tanpa berpikir panjang, dia menggunakannya sebagai senjata.
Dengan gerakan cepat dan presisi, dia menghantam orc di kepala dengan ranting itu, menghancurkan helm logam orc tersebut.
Raivan tertawa kecil lagi, masih tenang meski darah dan keringat mulai menodai pakaiannya.
"Aku harus akui, kalian memberikan sedikit tantangan." serunya penuh semangat. "Aku suka."
Salah satu orc yang tampak seperti pemimpin mereka maju dengan kapak raksasa di tangannya.
"Kau akan mati sekarang!" teriaknya, mengayunkan kapak itu dengan kekuatan penuh.
Raivan melompat ke samping, membuat kapak itu menghantam tanah dengan keras, menciptakan retakan di permukaan tanah.
Dengan kecepatan kilat, Raivan bergerak di belakang orc itu dan menendang bagian belakang lututnya, membuat orc itu jatuh berlutut.
Sebelum orc itu sempat bangkit, Raivan memukul tengkuknya dengan keras, menjatuhkannya ke tanah tak bergerak.
"Aku akan mati?" Raivan mengulangi kata-kata orc tadi dengan nada bercanda. "Kurasa tidak hari ini."
Dia menarik napas dalam-dalam, matanya menyapu medan pertempuran yang penuh dengan tubuh orc yang tergeletak.
Beberapa orc yang tersisa mulai ragu, langkah mereka melambat, dan mereka saling berpandangan dengan ketakutan.
Raivan memandang mereka dengan senyum tipis, seolah-olah mengundang mereka untuk melanjutkan perlawanan.
"Aku tidak ingin menghentikan kalian," kata Raivan, masih dengan nada tenang. "Tapi kalau kalian tidak ingin melanjutkan, itu juga bukan masalah bagiku."
Para orc yang tersisa mundur perlahan, ketakutan mulai menguasai mereka.
Melihat ini, Raivan hanya tertawa kecil lagi, lalu meregangkan tubuhnya seolah-olah baru selesai berolahraga ringan.
Kaivorn berjalan mendekat, diikuti oleh Calista yang masih tampak terkesima.
"Kau selesai?" tanya Kaivorn, nadanya netral tapi matanya menyiratkan kekaguman.
Raivan menoleh dan mengangkat bahu. "Yah, aku kira begitu." balasnya. "bagaimana seni beladiri Sérvantis ku?"
Calista akhirnya berbicara, nada suaranya masih dipenuhi rasa tak percaya. "Kau… kau benar-benar menikmati ini, ya?"
Raivan tertawa kecil. "Tentu saja. Hidup ini terlalu singkat untuk terlalu serius. Bahkan dalam pertempuran seperti ini, selalu ada sesuatu yang bisa dinikmati."
Kaivorn menatap temannya dan menggeleng pelan. "Kau memang tidak pernah berubah, Raivan."
Raivan mengedipkan mata sambil tersenyum lebar. "Kalau aku berubah, aku tidak akan menjadi Raivan lagi, kan?"
Kaivorn tertawa kecil, lalu menatap mayat orc yang berserakan di sekitar mereka.
"Ayo, kita lanjutkan perjalanan," ujar Kaivorn dengan nada tegas dan percaya diri, meskipun wajahnya masih sedikit pucat.
Raivan, yang sejak tadi berdiri santai, mengangkat satu alisnya dengan ekspresi datar namun penuh arti.
"Tuan Muda, kau seharusnya beristirahat," katanya sambil melipat tangan. "Aku sudah susah payah menghadapi banyak orc supaya kau bisa punya waktu untuk pulih."
Kaivorn mendengus, matanya berkilat, jelas tidak terkesan.
"Susah payah? Jangan bercanda." balasnya, mengingat bagaimana Raivan menari-nari di tengah medan pertempuran, menghabisi orc seakan hanya untuk hiburan.
Calista, yang berdiri di samping mereka, menutup mulutnya dengan tangan kecilnya.
Dia berusaha menyembunyikan tawa lembut yang muncul tanpa sadar, matanya berkilat nakal di balik wajah tenangnya.