keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Ketakutan Aza
Aza terbangun dengan kaget saat mendengar suara azan Subuh berkumandang. Matanya masih berat, dan ia masih setengah sadar, tapi instingnya langsung mencari sosok Gus Zidan di sampingnya. Kosong. Gus Zidan tidak ada di sana. Ia duduk perlahan, tubuhnya gemetar, dan rasa takut mulai merayap dalam pikirannya.
"Kemana dia perginya?" gumamnya pelan nyaris tidak terdengar.
Rumah baru itu masih belum sepenuhnya terisi, dan banyak bagian yang belum selesai direnovasi. Beberapa ruangan tampak gelap dan kosong, membuat bayangan-bayangan aneh seolah menari di sudut-sudut ruangan. Udara pagi yang dingin masuk melalui celah-celah jendela yang belum tertutup sempurna, menambah rasa tidak nyaman yang mulai menguasai Aza.
"Gus Zidan?" panggil Aza pelan, berharap suaminya segera muncul. Tapi hanya ada kesunyian. Ia menoleh ke arah pintu, yang masih tertutup rapat, dan tiba-tiba perasaan merinding menjalar di sepanjang tulang punggungnya.
Tanpa berpikir panjang, Aza menarik lututnya ke dada, melipat tubuhnya dan memeluk erat dirinya sendiri.
"Kenapa dia tega banget sih ninggalin aku, aku kan takut." gumam Aza. Ia menundukkan kepala, menutup matanya, berusaha menghilangkan rasa takut yang mulai merasuki. Namun, dalam kesunyian itu, setiap suara terdengar lebih nyaring: suara angin yang berdesir, bunyi atap kayu yang mungkin mengembang karena perubahan suhu.
"Apa yang sedang terjadi? Kenapa aku sendiri di sini?" pikir Aza sambil menggigit bibirnya, berusaha keras untuk tetap tenang. Tapi ketakutan itu semakin besar.
Ada suara-suara samar yang tidak dikenalnya, suara langkah kaki atau mungkin hanya bayangannya sendiri yang mulai membesar-besarkan segalanya.
Beberapa saat kemudian, Aza mendengar suara pintu depan terbuka. Langkah kaki terdengar semakin mendekat, Itu siapa yang datang? Bagaimana kalau orang jahat? Batin Aza semakin takut.
"Assalamualaikum, Aza." sapa dengan suara lembut, dan ia langsung tahu siapa itu.
Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, tubuhnya spontan melompat dari tempat tidur, berlari menuju suara itu, dan tanpa ragu berhambur ke arah sosok Gus Zidan yang baru saja masuk.
"Gus Zidan!" teriaknya dengan suara yang dipenuhi ketakutan. Aza langsung memeluk Gus Zidan erat, meremas kain bajunya dengan gemetar.
Gus Zidan yang baru saja pulang dari masjid tampak terkejut sejenak, tapi begitu merasakan tubuh Aza yang gemetar dalam pelukannya, ia segera membalas pelukan itu dengan erat, menenangkan istrinya. "Mazaya Farha Kaina, ada apa? Kamu kenapa?" tanyanya lembut, meskipun jelas ada kekhawatiran dalam suaranya.
Aza tidak bisa menjawab langsung, hanya terisak kecil di dada Gus Zidan, matanya terpejam erat. "Aku takut," gumamnya pelan, suaranya bergetar. "Rumah ini... aku sendirian... dan kamu tidak ada..."
Gus Zidan mendesah pelan, menyadari bahwa ia mungkin terlalu terburu-buru meninggalkan Aza di rumah yang belum sepenuhnya selesai. Rumah baru mereka ini masih terasa asing dan sepi, apalagi di malam hari. Perasaan bersalah mulai merayap dalam dirinya.
“Maaf, aku tidak bermaksud meninggalkan kamu sendirian,” ujar Gus Zidan lembut, membelai rambut Aza untuk menenangkannya. "Aku pikir kamu masih tidur, jadi aku ke masjid dulu. Tapi aku seharusnya memberitahu kamu."
Aza masih memeluknya erat, belum mau melepaskan diri. “Aku takut kegelapan, aku takut sendirian, aku nggak mau sendirian...,” katanya pelan, suara masih gemetar.
Gus Zidan menatap Aza dengan penuh kasih sayang, merasa bertanggung jawab atas ketakutan yang dialami istrinya.
"Tidak apa-apa, Aza. Ini rumah baru, suasana baru, wajar kalau kamu merasa tidak nyaman. Tapi sekarang aku di sini. Kamu aman," katanya, berusaha menenangkan.
Aza perlahan mulai merasa lebih tenang dalam pelukan Gus Zidan, tapi ia masih tidak mau melepaskannya. Ada rasa lega yang menyebar saat merasakan keberadaan suaminya di sana, tapi juga masih tersisa sedikit ketakutan di sudut hatinya.
“Jangan tinggalkan aku lagi sendirian, Gus Zidan. Aku nggak suka perasaan ini," pintanya dengan lirih.
Gus Zidan tersenyum tipis, menunduk dan mencium puncak kepala Aza. “Aku janji. Lain kali aku akan pastikan kamu tahu kalau aku pergi, dan aku tidak akan meninggalkan kamu sendirian begitu saja.”
Aza akhirnya melepaskan pelukannya, meskipun masih berdiri sangat dekat dengan Gus Zidan, seolah ingin memastikan ia benar-benar ada di sana. "Kenapa mencium keningku? Tanpa ijin lagi," protesnya saat baru menyadari jika Gus Zidan baru mencium keningnya, meski masih ada sedikit kekhawatiran di matanya.
Gus Zidan menarik sudut bibirnya ringan, "Astaghfirullah hal azim, padahal tadi kayaknya sudah romantis."
"Romantis gimana sih, aku kan takut." keluh Aza.
Gus Zidan pun mengangguk dengan mantap. “Ya sudahlah, segeralah ambil wudhu atau sekalian mandi. setelah itu , kita sarapan aku akan memesan sarapan untuk kita."
Aza menghela napas panjang, "Yang benar saja, ini masih dingin. Aku nggak mau mandi."
"Baiklah, enaknya kamu gimana, aku temani di sini atau ikut ke kamar mandi?" tanya Gus Zidan kemudian membuat Aza mengerutkan keningnya.
"Enak aja, mau curi kesempatan ya?"
"Katanya tadi takut, ya udah kalau gitu aku tinggal aja." ucap Gus Zidan dan hendak meninggalkan Aza tapi dengan cepat Aza menahan tanganya.
"Ada apa?"
Aza pun akhirnya tersenyum kecil, meskipun ia masih sedikit merinding dengan ingatan ketakutannya barusan. "Oke, Gus Zidan di sini ya. Jangan ke mana-mana aku akan ke kamar mandi." jawabnya, mencoba untuk melepaskan ketegangan yang masih tersisa.
Setelah selesai sholat shubuh ternyata langit sudah terang dan Gus Zidan juga sudah membersihkan satu lagi ruangan yang sedikit terbuka dengan jendela kaca yang lebar hingga mereka bisa melihat pemandangan luar dari kaca jendela itu, di sana Gus Zidan juga sudah menggelar tikar karakter dan pesanan makanannya juga sudah datang.
Aza pun segera ikut bergabung karena memang perutnya sudah sangat lapar, semalam ia tidak makan apapun sebelum pergi dan Gus Zidan sepertinya juga lupa mengajak Aza makan di luar.
"Gus Zidan cuma pesan dua porsi ya?" tanya Aza penasaran.
Sepertinya Gus Zidan sudah mulai faham dengan istrinya, ia pun mengeluarkan satu bungkus lagi dari balik pungungnya, "Ini kan yang kamu cari?" tanyanya kemudian.
Ihhh, dia mengira aku rakus ya..., batinnya gengsi. "Aku sebenarnya tidak begitu lapar, jadi ini saja sudah cukup. Itu makan aja untukmu."
Gus Zidan mengerutkan keningnya, "Kamu serius?" tanyanya masih tidak percaya.
"Iya, memang aku tampak begitu rakus hingga makan dua porsi?" tanya Aza meyakinkan.
"Ya sudah kalau kamu tidak mau, mungkin bisa aku berikan sama tukang yang datang nanti." jawab Gus Zidan sembari menyimpan kembali makanan itu di belakangnya.
Tapi ini kayaknya enak, porsinya juga cuma sedikit, kalau porsinya seperti biasa aku pasti juga sudah kenyang satu porsi saja, tapi ini kan sedikit ...., batin Aza sambil terus melirik ke arah kotak nasi yang berada di belakang Gus Zidan.
Akhirnya Aza menghabiskan makannya dan sesekali ia menelan salivanya sambil melirik ke arah satu kotak lagi makanan yang belum kemakan tapi ia tidak punya keberanian untuk meminta.
"Gus Zidan," akhirnya Aza membuka suara.
"Hmmm?" gua Zidan yang belum selesai makannya segera mendongakkan kepalanya menatap Aza, "Ada apa?"
"Aku pengen jalan-jalan sebentar. Jadi kita kembalinya ke pesantren besok atau lusa saja ya? Aku akan masih punya Dispen sampai besok, lagipula kamu kan cucu pemilik pesantren, masak nggak bisa kasih tambahan sih." bujuk Aza.
Gus Zidan menatap Aza dengan sedikit senyum di sudut bibirnya, menyadari bagaimana istrinya sedang mencoba membujuknya. "Aza, kamu tahu kan kita nggak bisa lama-lama di luar pesantren," jawabnya lembut, sambil menatap Aza yang masih terlihat bersemangat.
Aza mengerucutkan bibirnya, tidak puas dengan jawaban suaminya. "Tapi kan Gus Zidan, kamu sendiri yang bilang mau ngajak jalan-jalan. Ini kesempatan langka, Gus. Pumpung kita lagi di luar pesantren, nggak ada yang tahu," katanya sambil memainkan ujung rambutnya, berharap bujukannya kali ini berhasil.
Gus Zidan tertawa kecil, melihat betapa keras kepala istrinya bisa jadi saat dia menginginkan sesuatu. "Ya, tapi tetap saja, kamu harus kembali ke pesantren. Lagipula, kamu masih punya hukuman anyaman bambu yang harus diselesaikan, kan?"
Mendengar itu, Aza langsung mendesah panjang, wajahnya seketika berubah masam. "Kenapa harus diingatkan soal itu sih? Lagi pula, aku juga bisa kerjakan nanti malam. Sekarang aku cuma pengen jalan-jalan refreshing," katanya sambil menatap Gus Zidan dengan penuh harap.
Gus Zidan menahan tawa dan menggelengkan kepala. "Kamu ini benar-benar pandai membujuk, ya. Tapi janji sampai nanti sore saja ya." Nada suaranya menunjukkan sedikit kelonggaran, meskipun dia tetap menjaga sikap tegas.
Aza tersenyum lebar, tahu bahwa Gus Zidan sudah setengah setuju. "Janji ya, nanti sampai sore saja." katanya dengan nada penuh kemenangan,
Meskipun mereka tidak bisa terlalu lama di luar pesantren, Gus Zidan ingin menyenangkan hati istrinya. Setelah semua yang mereka lalui, rasanya tidak ada salahnya menikmati waktu sebentar bersama sebelum Aza kembali ke rutinitas pesantrennya.
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....