Zira terjebak dalam tawaran Duda saat dimalam pertama bekerja sebagai suster. Yang mana Duda itu menawarkan untuk menjadi sugar baby dan sekaligus menjaga putrinya.
Zira yang memang sangat membutuhkan uang untuk biaya kuliah dan juga biaya pengobatan bibinya terpaksa menerima tawaran gila itu.
"Menjadi suster anakku maka konsekuensinya juga mengurus aku!" Ucap Aldan dengan penuh ketegasan.
Bagaimana cara Zira bertahan disela ancaman dan kewajiban untuk mendapatkan uang itu?
follow ig:authorhaasaanaa
ada visual disana.. ini Season Dua dari Pernikahan Dadakan Anak SMA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Haasaanaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
00030
Penglihatan Zira sangat buram, ia tidak tahu siapa orang yang berdiri dihadapannya. “Apa yang sebenarnya mau kau lakukan?” Suara itu bertanya kepada Zira yang masih berusaha memfokuskan apa yang ia lihat.
Meskipun sedikit kabus, Zira yakin kalau yang ia lihat adalah Aldan. Pria itu berdiri dihadapannya dengan menatapnya sangat tajam, melihat kearah bawah dimana kaki Zira berpijak.
“Kau menginjak pecahan kaca itu, Zira. Astaga,” Aldan langsung bergegas menyelamatkan kedua kaki Zira.
Bahkan Zira tidak tahu harus apa, sakit kepala ini membuatnya tidak fokus berpikir. Aldan membawa kedua kaki Zira untuk naik kembali keatas tempat tidur, ia terkejut melihat kaki Zira yang mana pecahan gelas itu ada sebagian yang menancap.
“Apa tidak sakit?” tanya Aldan, dengan sangat mudahnya Aldan menyingkirkan pecahan gelas itu dengan kakinya beralaskan sendal. “Menghalangi saja!” Bahkan Aldan terlihat tidak terluka hanya karna pecahan gelas itu.
Aldan duduk di pinggir ranjang, membawa kedua kaki Zira menuju pangkuannya. Hati Aldan sangat sakit melihat luka di kaki Zira, ia menoleh kearah Zira yang hanya menunduk dengan air mata yang mengalir.
“Kau tahu sekali bukan.. Kalau aku suka mencium telapak kakimu ini sewaktu kita melakukan hubungan panas itu?” tanya Aldan dengan tatapan kesal kearah Zira.
Apa yang Aldan tanyakan membuat Zira langsung mendongakkan kepalanya, ia mengangguk ragu sebagai jawaban.
“Lalu kenapa tidak kau jaga dengan baik? Ck, kau selalu saja membuatku marah!” Aldan kesal sekali.
“Kenapa kau marah?” tanya Zira begitu saja, bahkan aktivitas Aldan yang ingin membersihkan luka itu menjadi terhenti. “Lagian yang terluka itu aku, yang merasakan sakit juga aku. Tidak ada alasanmu marah itu karna apa, Tuan?” tanya Zira lagi.
Aldan termenung sebentar sambil melanjutkan untuk membersihkan luka ditelapak kaki Zira. Sebenarnya apa yang ditanyakan Zira membuat Aldan sangat berpikir keras. Ia juga memikirkan kearah sana, ntah mengapa luka di kaki Zira ini benar-benar menyakiti hati kecilnya.
“Kau tahu arti dari sebuah benda kesayangan?” tanya Aldan balik kepada Zira, sekalipun kepala Zira masih sangat pusing tapi ia dapat mengerti apa yang Aldan tanyakan.
“Maksudnya?”
“Setiap orang yang memiliki benda kesayangan atau benda favorit.. Akan tidak suka melihat bendanya itu rusak, atau bahkan lecet sedikit saja.” ucapan Aldan membuat Zira bingung awalnya.
Tangan kanan Aldan meraih dagu Zira, dengan itu ia bisa membuat wajah Zira mendongak hingga menatap penuh kearahnya. Terlihat tatapan mata Zira sangat tajam dan seakan tidak suka dengan arti apa yang Aldan katakan tadi.
“Seperti itulah aku terhadapmu, aku tidak suka milikku.. Lecet sedikitpun!” Per jelas Aldan lebih detail lagi.
Jari telunjuk Aldan mengelus bibir Zira yang mana tiba-tiba saja wanita itu ingin mengigit jari Aldan. “Berani sekali kau?” Aldan kesal, ia menggelengkan kepala saja melihat tingkah Zira yang bagaikan ikan piranha.
Aldan kembali fokus dengan tugasnya untuk membersihkan luka ditelapak kaki Zira. Zira terus memperhatikan setiap gerak-gerik Aldan, ia memikirkan setiap arti kata yang Aldan katakan tadi.
“Benda? Benda seperti apa maksudnya? Apa aku benar-benar hanya pelampiasan nafsu dia saja?” Zira bertanya di dalam hati.
Memikirkan semua itu membuat kepala Zira semakin sakit, bertanya hanya membuat Zira semakin sakit kepala dengan jawaban Aldan nanti. Jadi, Zira lebih memilih diam saja dengan argumennya sendiri.
Tidak berapa lama akhirnya Aldan selesai mengobati luka Zira, ia memerban hingga memungkinkan Zira tidak akan bisa berjalan untuk satu hari.
“Sudah..” Aldan tersenyum puas melihat kaki Zira yang sudah ia obati.
Zira menatap kedua kakinya yang diperban itu, ia tersenyum tipis tanpa sepengetahuan Aldan. “Terimakasih, Tuan..” ucap Zira, ia menatap intens pria dihadapannya itu.
“Berterimakasih dengan cara yang baik dong,” balas Aldan, ia menarik tangan Zira. Masih terasa tubuh Zira yang masih sedikit panas, bisa dikatakan hangat. “Hem, kepalamu masih sakit?” tanya Aldan sembari mengarahkan Zira untuk duduk di pangkuannya.
“Sudah tidak terlalu.. Terimakasih sudah membawa dokter untukku,” ucap Zira lagi.
“Begitu banyak hal yang aku lakukan untukmu malam ini, bukankah kau harus berterimakasih dengan cara yang lebih besar lagi?” tanya Aldan disertai senyuman smirknya.
Kedua mata Zira mengarah pada jam dinding, sudah larut malam pantas saja Aldan sangat berubah tidak seperti sore tadi. Zira menghela napas panjang saja, ia tidak tahu sebenarnya apa maksud perkataan Aldan.
“Kau adalah orang yang paling tidak bisa ikhlas yang pernah aku dengar, Tuan..” ujar Zira dengan sangat asal.
Apa yang dikatakan Zira membuat Aldan terkekeh, tangannya melingkar pada pinggang ramping Zira. “Aku ikhlas.. Hanya saja menyenangkan suami itu tidak salah, Zira..” Aldan membela diri sendiri.
Zira berdecak sebal, ia melihat dengan jelas Aldan yang mengigit bibirnya sendiri seakan sebagai kode untuk Zira. “Aku tahu kalau kau itu sangat pandai, Zira. Pasti kau mengerti apa yang aku inginkan ini,” ucap Aldan lagi.
Karena sebenarnya Zira tidak tahu caranya memulai duluan, ia canggung untuk melakukan itu. Jadi, tangan Zira hanya memegang dagu Aldan saja bahkan jarinya mengelus bibir pria itu.
“Kau kira hanya dengan menatap dan mengelus saja sudah cukup bagiku?” Aldan bertanya karna sudah tidak sabar mendapatkan hal yang sangat ia inginkan.
“Kau mau aku memulai duluan?” Tanya Aldan lagi, dengan keraguan Zira mengangguk. Langsung timbul senyuman puas diwajah Aldan, tangan Aldan meraih tengkuk Zira hingga bisa dengan mudah melumat habis bibir itu.
Tangan Zira spontan mengalungkan pada leher Aldan, tangan Aldan yang dipinggang perlahan naik menuju punggung belakang Zira. Membawa tubuh itu untuk lebih dekat dengannya, hingga merasakan kedua dada Zira menempel ditubuhnya.
Pergulatan bibir itu sangat dinikmati oleh Aldan maupun Zira, apa lagi Aldan melakukannya dengan sangat lembut karena Zira juga masih sakit. Merasakan pasokan oksigen sudah mulai menipis, Aldan melepas tautan bibir itu.
“Rasa obat, pahit..” ujar Aldan yang mana membuat Zira tersipu malu.
Tiba-tiba saja kode alam menghampiri Zira, wanita itu langsung spontan ingin turun dari pangkuan Aldan. “Eh, mau kemana?” Aldan kembali menarik tangan Zira untuk menuju pangkuannya kembali.
dah sakit aja baru
tp kenapa yaaaa...si aila bisa seegois ituu 😞🙈pdhl dh liat tuhh papa nya nangis bombay di tgl ultahnya aila