Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Rahasia CEO
Adara memasuki kantornya lebih awal dari biasanya. Hari itu terasa sedikit berbeda, meskipun dia tidak tahu mengapa. Ia meletakkan tasnya dan membuka laptop, mulai memeriksa email dan agenda harian, mempersiapkan segala kebutuhan Arga yang biasanya mulai masuk kantor sekitar pukul sembilan pagi. Tetapi, ada satu hal yang mengusiknya sejak beberapa hari terakhir: sebuah pertanyaan tak terjawab yang terpendam dalam hati.
Arga Pratama, CEO muda yang disegani, terlihat begitu misterius. Setiap hari, Adara menyaksikan sisi profesional Arga yang dingin, tegas, dan tak terpengaruh oleh tekanan apa pun. Namun, Adara merasakan bahwa di balik sosoknya yang tampak sempurna, tersembunyi sesuatu yang mendalam—sebuah rahasia yang membuat Arga berbeda dari orang-orang lain yang pernah ia temui.
Kebetulan, hari ini Arga tak kunjung muncul di kantor, dan hal ini membuat Adara semakin penasaran. Ia membuka catatan yang pernah ia buat, mencoba mencocokkan jadwal Arga dengan berbagai aktivitasnya selama minggu-minggu terakhir. Dari pertemuan bisnis, rapat tertutup, hingga perjalanan mendadak yang bahkan tidak ia ungkapkan kepada tim lainnya. Seolah ada sesuatu yang selalu ia sembunyikan.
Perhatian Adara terhenti saat ia melihat sebuah file yang tertinggal di atas meja Arga. File berwarna cokelat itu terlihat biasa saja, namun karena posisinya yang terbuka sedikit, Adara bisa melihat judul berkas tersebut: Proyek Lingkaran. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya dari kata-kata itu. Meskipun ada perasaan bersalah yang merayap di pikirannya, rasa penasaran Adara lebih kuat.
"Apakah ini salah satu proyek yang sedang dia kembangkan? Mengapa tidak ada yang pernah mendengar tentang proyek ini?" pikirnya. Penasaran semakin kuat saat dia mencoba mengingat apakah nama proyek ini pernah muncul dalam diskusi atau rapat manapun—namun tidak ada catatan tentang itu.
Pikirannya terganggu ketika telepon di mejanya berdering. Arga menghubunginya dari nomor pribadi yang jarang ia gunakan.
“Adara, aku perlu kamu ke tempat lain hari ini. Bisakah kamu datang ke alamat yang aku kirimkan di email?” suara Arga terdengar lembut, berbeda dari nada tegas yang biasa ia gunakan.
“Baik, Pak Arga. Apa ada yang khusus yang perlu saya bawa atau persiapkan?” tanya Adara, mencoba memahami situasi ini.
“Hanya diri kamu. Dan... ingat, jangan bicarakan ini pada siapa pun. Ini rahasia,” ucap Arga sebelum menutup telepon.
Jantung Adara berdegup kencang. Kalimat terakhir Arga menguatkan instingnya bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi. Ia merasa seolah-olah akan masuk ke dunia lain yang hanya bisa disentuh oleh mereka yang Arga percayai.
Setelah memeriksa kembali email yang berisi alamat yang diberikan Arga, Adara segera berangkat. Alamat itu mengarahkannya ke sebuah gedung yang tak jauh dari kantor, tapi sama sekali bukan bagian dari kantor atau tempat umum yang biasa. Itu adalah bangunan tua, agak tersembunyi di antara gedung-gedung tinggi di tengah kota, dan tampaknya tidak memiliki tanda atau nama perusahaan.
Ketika Adara tiba, ia disambut oleh seorang pria berpakaian rapi yang sepertinya sudah menunggu.
“Adara, saya Yanto. Silakan ikuti saya. Pak Arga sudah menunggu di dalam,” katanya sambil menunjukkan jalan.
Adara mengikuti Yanto, mereka menaiki lift yang hanya memiliki dua pilihan tombol: Lantai Dasar dan Lantai 5. Di lantai 5, mereka keluar dan masuk ke dalam sebuah ruang kantor kecil yang terlihat jauh berbeda dari kantor utama perusahaan Arga. Tempat itu terlihat sederhana, hanya dilengkapi dengan beberapa meja, kursi, dan papan tulis berisi coretan-coretan tak jelas.
Arga berdiri di sana, menatap papan tulis itu dengan ekspresi serius. Ketika ia melihat Adara masuk, ia tersenyum kecil, seolah lega melihatnya di sana.
“Adara, maaf sudah mengganggu hari kerja kamu. Tapi, ada hal yang ingin aku bicarakan secara langsung,” ucap Arga sambil mempersilahkannya duduk.
Adara merasakan ketegangan di ruangan itu, seolah ada beban yang berat yang ingin disampaikan oleh Arga. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya, mengapa CEO yang begitu percaya diri bisa terlihat setegang ini?
“Ada sesuatu yang sedang aku kerjakan. Proyek yang sangat pribadi dan penting bagiku. Proyek ini bisa mengubah banyak hal, bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga untuk orang-orang yang selama ini terlupakan oleh sistem yang ada,” kata Arga sambil memandang jauh, seolah sedang menatap masa depan yang ingin ia ciptakan.
“Proyek Lingkaran?” tanya Adara pelan, mengira-ngira.
Arga mengangguk. “Ya, Proyek Lingkaran. Ini proyek yang... bukan proyek biasa. Aku ingin membangun sebuah sistem di mana kesejahteraan masyarakat menjadi fokus utama, bukan sekadar keuntungan bagi perusahaan. Aku tahu, ini terdengar gila, terutama di dunia bisnis yang begitu kompetitif. Tapi ini adalah mimpi yang sudah lama aku miliki.”
Adara terdiam. Ini pertama kalinya ia melihat sisi Arga yang begitu idealis dan penuh semangat. Di balik sikap dinginnya, ternyata ia adalah seseorang yang memiliki visi besar yang berbeda dari pebisnis pada umumnya.
“Kenapa Anda tidak pernah membicarakannya di rapat-rapat atau kepada tim manajemen lainnya?” tanya Adara penasaran.
“Karena proyek ini belum tentu diterima oleh semua orang, Adara. Banyak yang mungkin berpikir aku membuang-buang waktu dan uang. Mereka tidak mengerti betapa pentingnya ini bagiku,” jelas Arga. “Selain itu, jika proyek ini bocor sebelum saatnya, bisa ada banyak pihak yang ingin menghentikannya.”
“Jadi, bagaimana saya bisa membantu, Pak?” tanya Adara, tanpa ragu.
“Dengan tetap menjaga rahasia ini, dan membantu aku untuk menjalankan proyek ini dengan hati-hati. Aku tahu ini berat, tapi aku mempercayaimu, Adara. Kamu satu-satunya orang yang aku pikir bisa aku ajak bekerja sama dalam proyek ini,” jawab Arga sambil menatap Adara dengan penuh keyakinan.
Di saat itu, Adara merasa seolah-olah mendapatkan kehormatan yang luar biasa. Bekerja dengan seseorang yang memiliki impian sebesar itu bukanlah hal yang sering terjadi, apalagi jika orang itu adalah CEO dari perusahaan besar yang di matanya selama ini hanya fokus pada keuntungan.
Adara mengangguk dengan mantap. “Saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu Anda, Pak Arga. Terima kasih atas kepercayaannya.”
Arga tersenyum. Ia mengambil sebuah berkas lain dari meja dan menyerahkannya kepada Adara. “Mulai hari ini, kamu akan menjadi tangan kananku dalam Proyek Lingkaran ini. Ada banyak hal yang perlu kita siapkan, dan waktu kita terbatas. Setiap keputusan harus kita ambil dengan penuh pertimbangan.”
Adara membuka berkas tersebut dan mulai membaca. Di dalamnya terdapat rencana besar untuk mengembangkan program sosial yang dapat membantu meningkatkan kualitas hidup bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, menciptakan lapangan kerja baru, dan menyediakan layanan kesehatan dasar bagi masyarakat kurang mampu.
Saat itu juga, Adara merasakan semangat yang sama seperti yang dirasakan Arga. Ini bukan sekadar proyek bisnis. Ini adalah sebuah perjuangan untuk menciptakan dampak positif di dunia yang sering kali mengabaikan mereka yang paling membutuhkan.
Sepanjang hari itu, mereka berdiskusi panjang mengenai rencana dan tantangan yang akan mereka hadapi. Arga menceritakan pandangan dan filosofi hidupnya yang berbeda dari para CEO pada umumnya. Dari sudut pandang itu, Adara bisa melihat mengapa Arga memilih untuk merahasiakan proyek ini. Di luar sana, dunia korporat mungkin tidak akan mendukung ide besar yang tampak tidak menguntungkan ini.
Ketika hari menjelang sore, Adara meninggalkan gedung itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa bangga bisa terlibat dalam proyek besar yang memiliki dampak sosial, namun di sisi lain ia merasa beban besar di pundaknya.
Ia berjalan pelan menuju stasiun terdekat, memikirkan berbagai rencana yang baru saja mereka bicarakan. Mungkin, selama ini ia hanya mengenal satu sisi dari Arga Pratama. Hari ini, ia melihat sosok yang berbeda—seseorang yang jauh lebih dalam, seseorang yang memiliki cita-cita mulia di balik ambisi dan kesuksesan yang selama ini ia perlihatkan.