Andrian, seorang pria sukses dengan karir cemerlang, telah menikah selama tujuh tahun dengan seorang wanita yang penuh pengertian namun kurang menarik baginya. Kehidupan pernikahannya terasa monoton dan hambar, hingga kehadiran Karina, sekretaris barunya, membangkitkan kembali api gairah dalam dirinya.
Karina, wanita cantik dengan kecerdasan tajam dan aura menggoda yang tak terbantahkan, langsung memikat perhatian Andrian. Setiap pertemuan mereka di kantor terasa seperti sebuah permainan yang mengasyikkan. Tatapan mata mereka yang bertemu, sentuhan tangan yang tak disengaja, dan godaan halus yang tersirat dalam setiap perkataan mereka perlahan-lahan membangun api cinta yang terlarang.
Andrian terjebak dalam dilema. Di satu sisi, dia masih mencintai istrinya dan menyadari bahwa perselingkuhan adalah kesalahan besar. Di sisi lain, dia terpesona oleh Karina dan merasakan hasrat yang tidak terkonfirmasi untuk memiliki wanita itu. Perasaan bersalah dan keinginan yang saling bertentangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Melinda melangkah perlahan menuju ruang praktek dokter, setiap langkahnya diiringi rasa sakit yang masih menyengat di kakinya. Ia mengenakan gaun berwarna biru tua yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, memilih tampil anggun meski tubuhnya sedikit limbung. Kecelakaan kemarin menjadi ingatan yang sulit dilupakan—mobil yang menabraknya milik dokter yang sekarang dia temui, dr. David.
Ketika Melinda memasuki ruangan dokter, aroma antiseptik menyambutnya. Ruang praktek dokter itu bersih dan rapi, dengan kitab kedokteran yang tersusun rapi di rak. Melinda merasa jantungnya berdegup lebih kencang saat melihat dr. David sedang duduk di meja kerjanya, tampak serius dengan tumpukan berkas di hadapannya. Dia terlihat tampan dengan jas putihnya, rambutnya yang sedikit acak-acakan memberikan kesan maskulin yang membuat Melinda tidak bisa berkedip.
"Melinda," sapanya, mengangkat kepala seakan baru menyadari kedatangan pasiennya. "Bagaimana kakinya? Apakah ada perbaikan?"
"Masih terasa sakit, Dok. Terutama saat saya berdiri atau berjalan," jawab Melinda sambil mengerutkan dahi. Ia berusaha bersikap profesional, meski perasaannya campur aduk.
Dr. David berdiri dan mendekat ke arahnya. "Boleh saya lihat?" tanyanya sambil menunjuk kursi yang ada di sebelahnya. Melinda mengangguk dan perlahan duduk di kursi yang ditunjuk. Dokter tersebut membungkuk sedikit, memperhatikan kakinya yang dibalut perban.
"Maafkan saya atas kejadian kemarin. Saya tidak sengaja," katanya, terutama menyoroti wajah Melinda dengan ekspresi tulus. Melinda merasakan ketulusan itu, seolah-olah tidak ada niatan jahat dari dokter tersebut.
Melinda merasakan jari-jari hangat dr. David saat dia melepas perban. Jantungnya berdegup tak karuan, merasa geli dengan sentuhan ringan itu. Ia menatap lebih dekat pada wajah dokter itu, mata cokelatnya penuh perhatian, sementara senyumnya membuat suasana menjadi lebih nyaman.
"Ini sepertinya sedikit bengkak. Kami harus melakukan rontgen untuk memastikan tidak ada yang patah," katanya. Menyadari tatapan Melinda yang tidak beranjak, dr. David menambahkan, "Saya akan mengatur semua keperluannya, dan rasa sakitnya akan kami tangani dengan obat yang tepat.”
Melinda mengangguk, lalu merubah posisinya, berani menatap dr. David. "Dok, terima kasih sudah perhatian. Meski ini kejadian yang tidak menyenangkan, saya merasa sedikit beruntung bisa bertemu Anda," ujarnya dengan nada canggung.
Dr. David tersenyum, tampak agak canggung. "Saya hanya menjalankan tugas, Melinda. Tapi saya senang mendengar Anda merasa begitu." Ada keraguan di wajahnya, tetapi ia cepat-cepat bangkit dan berjalan ke komputernya untuk mencatat sesuatu.
David merasakan suasana menjadi sedikit kaku. Ia harus melakukan sesuatu untuk memecah keheningan itu. "Melinda, apakah Anda tidak ingin tahu sedikit tentang saya? Mungkin menjadi teman lebih dari sekadar dokter dan pasien?"
Melinda menoleh, matanya berbinar, "Tentu saja, saya akan senang jika berteman dengan Anda." Melinda tersenyum lebar.
David tersenyum sepertinya dokter itu, memiliki rencana untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Melinda.
"Baiklah, mungkin setelah Anda sembuh, kita bisa berbicara lebih banyak. Saya ingin mengenal Anda lebih dekat… dan bukan hanya sebagai pasien saya."
Mereka saling bertatap, dan Dr. David merasakan ketegangan yang tak terucapkan. Di satu sisi, ia tahu bahwa berurusan dengan perasaan ini bisa berisiko, tetapi di sisi lain, ia tidak sanggup menahan rasa ingin tahunya pada Melinda yang begitu memikat.
"Kami akan memulai dulu dengan rontgen, lalu kita lihat bagaimana," jawab dr. David, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan yang mungkin sama-sama dirasakan.
Melinda memberikan anggukan yang penuh harapan. Kunjungan ini mungkin hanya langkah awal dari sesuatu yang lebih dalam. Ia pun tersenyum dalam hati, mengetahui bahwa mungkin saja ada cinta yang terpendam di antara mereka.
heheheh mF cmn sekedar.....
asli sakit aku baca nya nasib melindaaa
dn Adrian buta