Rela berkorban demi pujaan hati, Andara meninggalkan keluarganya dan menikah dengan pria pilihannya.
Delapan tahun berlalu, Andara merasa sikap suaminya mulai berubah.
Cinta yang biasa selalu terpancar dari binar mata Andri mulai redup.
Perhatian lelaki itu memang tak berkurang, kasih sayangnya pun demikian, tapi Andara tahu hati suaminya tak lagi sama.
Lantas apa yang akan di perbuat oleh Andara untuk mengembalikan hati sang suami.
Sebenarnya apa yang terjadi pada rumah tangga mereka di 8 tahun pernikahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Gavin
Seharusnya semua berjalan lebih baik tapi ternyata kepercayaan yang mulai tumbuh di hati Ezaz untuk Andri seketika terkikis ketika pagi harinya rumah tempatnya tinggal kedatangan laki-laki yang mengaku sebagai sahabat Andri.
"Andri tidak sebaik yang anda duga," ujar pria itu mengatakan penilaiannya.
"Aku memang tidak pernah mempercayainya, tapi bukan berarti aku juga akan mempercayai ucapan orang asing sepertimu!"
"Saya sahabatnya, sudah hampir sepuluh tahun mengenal Andri."
"Begitu?" Ezaz menyeringai.
"Saya punya bukti."
"Saya tidak butuh."
"Andara akan menyesal tidak mempercayai ucapan saya."
"Saya lebih menyesal jika mendengarkan karangan ceritamu!"
Pengakuan pria itu menyadarkan Ezaz, jikalau tamunya kali ini tak lebih seorang penghasut. Mana ada orang yang mengaku sahabat justru menjatuhkan, jikapun benar-benar sahabat, seseorang akan menyembunyikan kesalahan sahabatnya demi pertemanan, bukan malah sebaliknya.
"Pergi dari rumah saya sekarang juga, sebelum saya kehilangan kesabaran!" perkataan Ezaz mampu membuat wajah pria itu memucat. Ketakutannya bukan karena ancaman Ezaz melainkan kemurkaan seseorang yang mengirimkannya kesini.
Pria itu meninggalkan kediaman Ezaz dengan debaran dada yang menggila, yang perlu dia lakukan adalah berdoa, semoga kali ini nyawanya selamat.
Sementara di dalam kamar tamu, Andri masih terlelap dalam tidurnya. Jam dua dini hari lelaki itu baru bisa memejamkan mata. Setelah hampir tiga jam menangis.
Nyatanya tidak hanya seorang wanita yang bisa menangis karena cinta, lelaki pun bisa mengalami hal itu.
Andara yang sudah selesai sarapan segera kembali ke kamar, hari ini waktunya Melati mulai rawat inap sebelum pelaksanaan operasi.
Ezaz kembali ke meja makan dan hanya menemukan Dewa disana.
"Siapa tamu Ayah sepagi ini?"
"Orang kurang kerjaan."
"Maksudnya mau melamar kerja?"
"Bukan, mau cari masalah aja."
Dewa tidak paham dengan ucapan sang Ayah tapi tidak berniat melanjutkan obrolan karena dari kamar Melati sudah keluar.
"Bun.."
Panggil Ezaz dan Dewa bersamaan.
"Bukankah lebih baik Ara tidak usah ikut, Bang, Yah?" ujar Melati begitu anak dan suaminya mendekat.
"Ayah pikir juga begitu, Bun. Tapi kita tidak bisa memaksa Ara..."
"Kenapa, Yah?" sambil berjalan Andara menyahuti ucapan ayahnya.
"Oh, Bunda bilang sama Ayah, apa nggak sebaiknya kamu tetap di rumah, selain rumah sakit tidak baik untuk orang hamil, di rumah juga ada..."
"Andri?" potong Andara pada kalimat bundanya.
Melati mengangguk.
"Bunda lebih butuh Ara."
"Bunda ada Ayah dan Abangmu, sampai sekarang suamimu belum makan apa-apa, dia juga lagi sakit kan?"
Andara meremas tangannya. Mengapa keluarganya seperti ingin agar ia tetap tinggal?
"Itu bukan urusan Ara, Bun." bantah Andara lirih.
"Ra..."
"Biarkan Ara pergi Bun, saya tidak apa-apa." suara Andri membuat semua orang menoleh.
...****************...
Akhirnya Andara benar-benar mengantarkan Melati ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit Andara langsung di sambut dengan dokter Farazt.
"Aku dengar dari Dewa jika kamu sedang mengandung." ternyata dokter Farazt mengkonfirmasi berita yang disampaikan oleh Dewa.
Spontan Andara langsung menyentuh perutnya.
"Iya, dokter." Andara menjawab dengan cepat.
Seketika wajah dokter tampan itu murung, jika Andara tak salah lihat ada pancaran kekecewaan dari mata pria tampan itu mengetahui jika dirinya hamil. Entahlah! Sejak awal Andara tidak mau terlalu dekat dengan pria ini, tapi keadaan yang membuat mereka saling kenal.
"Harusnya kamu banyak-banyak istirahat, jangan dibuat stress nggak baik untuk janin kamu."
"Terima kasih atas perhatian dan sarannya, dok." balas Andara.
"Jadi, apa akhirnya perceraian kalian tertunda?"
Pertanyaan dokter Farazt menurut Andara terlalu personal, bercerai atau tidak, seharusnya itu tidak ada hubungannya dengan pria itu.
"Maaf dokter, saya tidak berniat menjawab."
Mendengar nada Andara sedikit ketus, dokter Farazt menyadari kesalahannya.
"Andara, maaf jika aku terlalu lancang, aku sungguh nggak maksud!"
Tiba-tiba mood Andara dibuat hancur oleh dokter Farazt, Andara enggan menanggapi permintaan maaf sang dokter, dengan gerakan cepat Andara berbalik badan dan pergi menghampiri Dewa tanpa berpamitan dengan dokter Farazt.
Melihat sikap Andara, dokter Farazt menyadari kelancangannya.
"Ra ..." Dewa melihat Andara yang tampak kesal segera mendekat.
"Bang, antar Ara pulang bisa? Kalau nggak, aku pesan taksi aja."
Dewa mengerutkan keningnya, tadi Andara tampak baik-baik saja, kenapa tiba-tiba bed mood begini?
"Abang pamit Ayah dan Bunda dulu."
"Aku juga."
...****************...
"Sudah sadar?"
Gavin menghampiri perempuan yang telah menguras emosinya habis-habisan.
"Ka-kak..?"
Gia coba memanggil kakaknya.
Gia mendesis, menyentuh keningnya.
Tidak ada ingatan apapun yang bisa Gia tangkap mengapa sampai dia berada di rumah sakit.
"A-apa yang terjadi?"
"Itu juga yang ingin aku tanyakan padamu!"
Rupanya Gavin sangat susah menyembunyikan kekecewaannya.
"Apa aku keguguran?"
Tangan Gavin terkepal kuat mendengar pertanyaan sok polos adiknya. Gavin geram ingin mencekik leher Gia jika tidak mengingat jika yang ada di depannya ini adalah adik yang telah ia besarkan.
Melihat kebisuan Gavin, Gia mencoba meraih tangan kakaknya, namun segera Gavin tepis.
"Kak..." jerit Gia.
"Apa, PELACUR??!!"
Gia terkesiap mendengar panggilan Gavin untuknya, harusnya pembunuh seperti yang pernah kakaknya julukan padanya saat mengancamnya kalau nekat aborsi, tapi ini lain lagi.
Gia benar-benar syok.
"Aku benar-benar gagal mewujudkan impian orang tua kita untuk mendidik mu menjadi gadis seperti impian mereka." ungkap Gavin dengan membuang muka, enggan menatap Gia.
"Ap-apa maksud kakak?" Gia bertanya polos.
Gavin menyeringai lebar.
"Masih mau bersandiwara?" cemooh nya.
Gia menggeleng, rasa takut menyusup ke dalam jiwanya, Gavin benar-benar tampak mengerikan dengan senyum keji seperti itu.
"Wanita Kotor seperti mu pantas kehilangan rahim!"
DUAR!!!
Dada Gia seperti meledak, apa maksud Gavin? Tidak mungkinkan ucapan itu benar? Gavin hanya ingin meluapkan emosi, untuk itu dia berkata sembarang. Iya, pasti seperti itu.
"Pantas selama ini kau begitu suka pulang ke rumah Paman, ternyata kau tak lebih dari pelacur kecil untuknya? Hebatnya, demi menutupi kebejatan kalian kau bersandiwara menjadi korban pemerkosaan sedangkan malam itu kau sudah tak peraw*n, demi menghentikan kecurigaan Tante yang telah menganggap mu seperti anak sendiri, kau tega mengatur skenario untuk menjebak pria tak berdosa! Kau dan lelaki itu sama busuknya!!! Kau tau, kalian itu bin*tang!!"
Rupanya, Gavin tidak menunda kemarahan nya, lelaki itu mengabsen kejahatan Gia dengan sekali tarikan nafas.
"Sekarang, kau dan lelaki tua bangka itu harus bersiap-siap, affair kalian akan segera diketahui oleh Tante."
" I love uncle."
"Menjijikkan!!"
"Kak..."
Gavin hampir saja memberi tamparan keras pada Gia seandainya dokter dan suster tidak masuk keruangan adiknya.
...****************...
"Huwek!!"
"Huwek!'
Tiba di rumah, Andara di sambut dengan suara muntahan seseorang.
"Sudah dari tadi, Mas Andri muntah-muntah, mba Ara, kasian sekali wajahnya sampai pucat, padahal belum sempat menelan apa-apa." Bu Yani memberi tahu.
Ada rasa iba menelusup di dada Andara, tapi segera dia tepis.
Andara tetap berlalu dan langsung masuk kedalam kamarnya, duduk di ranjang dan meraba perutnya, meskipun ingin abai, tapi hatinya bertolak belakang.
"Kenapa aku tidak bisa mengabaikannya?" jerit hati Andara ketika kakinya membawa wanita itu pada Andri yang berada di toilet.
Andara mendekati Andri yang terduduk di samping kloset, Andri masih terus bersuara hendak muntah, tapi tidak ada apa-apa yang terlihat keluar.
Mata pria itu berair, tenggorokannya sampai terasa sakit, namun tiba-tiba lehernya dipijit lembut oleh seseorang.
"Ra ...."