Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Medina mengeratkan genggaman tangannya. Dia bawa tangan Suaminya menyentuh dagunya.
“Abang, Adek minta maaf, ya?”
“Adek minta maaf kenapa?”
Medina menghela nafas pelan. “Kemarin itu, Adek salah paham sama Abang.”
“Salah paham gimana, Dek?” Halim menggeser duduknya. Dekat sekaIi dengan Medina.
Medina sampai grogi. Karena Ujung-ujungnya, Halim kembali mencium pipinya.
Bawaan Suaminya mau nyosor aja ya, Bund.
“Kemarin itu, waktu olimpiade, Adek lihat wallpaper hp Abang sama cewek. Dari situ, Adek pikir Abang udah punya Istri. Habis itu, Adek terima orderan Abang dan antarkan ke rumah. Yang terima Kak Bibah. Makin menjadi rasa kecewa di hati Adek,” ucap Medina dengan bibir manyun.
Halim terkesiap. Tapi tak lama, karena kemudian dia terkekeh.
“Oh, jadi karena itu? Karena itu Adek jauhi Abang, dan gak mau nikah sama Abang, ya?”
Medina cengengesan. “Hehe, maaf ya, Bang? Adek gak tahu kalau itu ternyata Kak Bibah, Adeknya Abang.”
Halim mengubah posisi duduknya. Dia menyandarkan punggungnya pada dinding. Lalu tangannya terulur pada Medina.
Medina menyambut tangan Suaminya. Suaminya itu lalu menarik Medina untuk bersandar juga. Halim lantas memeluk Istrinya itu.
“Abang yang seharusnya minta maaf, Dek. Karena Abang gak kasih tahu dulu, kalau Abang punya Adek perempuan. Yang cerewetnya bikin cepat migrain itu.”
Medina cekikikan mendengar ucapan Suaminya. Medina juga bercerita tentang pertemuannya dengan Mama Aisyah dan Habibah di pasar.
“Alhamdulillah. Allah maha baik, Dek. Dengan ridho-Nya, kalian bisa bertemu di pasar,” ucap Halim tersenyum.
Halim mendesah pelan. “Karena Adek gak mau nikah sama Abang, Abang sampai punya niat untuk gak nikah seumur hidup kemarin itu.”
“Astaghfirullah, Abang! Kok ngomong gitu? ‘Kan sekarang udah nikah.”
Halim semakin mengeratkan pelukannya. “Waktu itu, Mama maksa terus mau nikahkan Abang. Abang gak mau. Karena Abang ‘kan mau nikahnya Cuma sama Adek. Ternyata, Mama kasih kejutan yang mampu buat Abang hampir pingsan. Calon yang Mama suruh untuk Abang nikahi, rupanya Adek.”
Medina menatap intens Suaminya saat bicara. Bibir Halim senantiasa tertarik ke samping. Menggambarkan, betapa bahagia diri Suaminya itu.
Diam-diam dalam hati, Medina berdoa agar bisa membahagiakan Suaminya ini. Dan alasan Suaminya bahagia adalah karena dirinya.
Karena Medina hanya sibuk menatap dirinya terus, Halim jadi berhenti bicara.
Halim mencondongkan wajahnya, lalu menempelkan bibirnya ke bibir Medina.
Halim melumat lembut bibir Medina yang sudah membuatnya tercandu-candu itu.
Tangan Halim sudah mulai nakal. Sudah mulai naik ke area dada Medina. Ciuman juga sudah semakin lebih menggairahkan dan panas.
Halim jadi berpikir, kalau sekarang dia tunaikan kewajibannya sebagai Suami, juga tak apa kali, ya? Habisnya, dia sudah tidak tahaaaan.
Baru saja Halim hendak mempraktekkan bagaimana caranya berkembang biak, eh tiba-tiba suara motor Mertua kedengaran sampai rumah.
Tidak oh tidak! Tidak oh tidak! Mertua sudah sampai rumah, ku tak tahu harus apa!
Oh, shit! Halim melepaskan pagutan bibir mereka.
Medina membuka matanya. Kenapa Suaminya malah berhenti, di saat-saat adegan enak sedang berlangsung?
“Ada apa, Bang?”
Halim tersenyum tipis, dan membelai rambut Medina.
“Kayaknya, Ibu udah pulang.”
Medina mengernyit sebentar. Beberapa detik kemudian otaknya loading, kalau Suaminya ini segan ngajak dia berduaan gini di dalam kamar.
Ompol-ompol, eh salah! Omong-omong juga gapapa kali kalau mereka berduaan. ‘Kan syudah nikah.
“Abang, maaf, ya?” Medina jadi merasa bersalah.
Halim kembali mengusap rambutnya. “Gapapa. Kita siap-siap pergi ziarah, yok? Abang tunggu di luar, ya?”
Medina mengangguk. “Iya, Bang. Adek ganti baju dulu, ya?”
Halim mengangguk sekilas. Dia mengecup kening Medina sebelum beranjak pergi ke luar kamar.
Halim berjalan menuju ruang tamu. Di sana dia berpapasan sama Widya.
“Lim, Ibu lupa kalau kalian belum pergi ziarah. Dan di rumah gak ada motor. Motornya malah Ibu bawa.” Widya nyerocos panjang lebar.
Halim menanggapi dengan kekehan. “Gapapa, Bu. Nanti Halim bisa ambil sekalian motor di rumah.”
Widya manggut-manggut. “ Ya udah. Medi mana?”
“Lagi ganti baju, Bu.”
“Ya udah kalau gitu. Ibu ke dapur dulu, ya?”
Halim mengangguk. Dia melanjutkan langkahnya ke ruang tamu.
Matanya tak sengaja melirik pada satu bingkai foto yang tergantung di dinding.
Halim melipat tangannya di atas dada. Memperhatikan foto seorang pria dengan kumis tipisnya itu.
‘Pasti ini Ayah mertua. Ganteng juga Ayah mertua. Pantas aja Istri aku cantik.’
Tiba-tiba tatapan mata Halim berubah jadi sendu. Kalau tidak salah, dia pernah dengar dari Nona saat Ayah Medina meninggal, umur Medina masih 12 tahun.
Haaaaah. Halim menghela nafas berat. Di umur segitu Medina sudah tidak punya Ayah. Sedangkan dia, di umur yang hampir 29 tahun ini, sudah kehilangan sosok seorang Ayah. Hanya sosoknya saja ya, Weh? Bukan orangnya. Ayah Halim masih hidup.
Halim jadi teringat dengan Papanya. Dulu mereka begitu sangat dekat. Tapi sekarang, mereka begitu jauh. Mirip planet dan satelit. Saling terhubung, tapi begitu jauh dan sulit untuk saling mengggapai.
‘Pa. Kenapa Papa giniin Halim? Cuma karena Halim lebih milih jadi seorang Guru, Papa pandang rendah Halim. Jadi Guru itu gak salah, Pa.’
Mata Halim terasa panas. Dia jadi ingat, dari awal dia jadi PNS, Papanya tidak mau lagi melihat wajahnya, hingga sekarang.
Halim menunduk. Air mata langsung jatuh seketika, mengenai kaos yang dia kenakan.
‘Papa tahu, gak? Halim rindu Papa.’
Halim buru-buru menghapus air matanya sebelum Istrinya datang.
Padahal tanpa sepengetahuan Halim, Medina sudah ada di belakangnya dari tadi.
‘Aduh? Bang Halim kenapa? Apa gara-gara tadi gak jadi, makanya Bang Halim sedih?’
Medina mendekat dan mengusap pelan bahu Suaminya.
“Abang, Abang kenapa?”
Halim tersentak kaget, dan spontan menoleh.
Medina sedikit tertegun dengan mata merah Suaminya.
“Abang? Abang na—“
Halim tersenyum lalu menggeleng cepat. “Abang kenapa? Abang gapapa 'kok. Kita berangkat sekarang?”
Medina mengangguk. “Iya, Bang. Ayo.”
“Ibu udah dikasih tahu ‘kan? Nanti Ibu lupa lagi kalau kita udah nikah. Di kira Ibu, nanti Adek diculik?”
Medina cekikikan. “Hihi. Udah Adek bilang sama Ibu 'kok, Bang.”
“Ya udah. Ayo, Dek.”
Mereka berdua naik ke atas motor matic milik Widya.
Sebelum berangkat, Halim meminta tangan Medina untuk memeluk perutnya. Posisi Medina ini duduk menyamping ya, Weh.
Uuuhhh. Halim merem melek. Merasakan geli yang tertahan di area perut.
Sepanjang jalan menuju TPU, Halim keringat dingin. Entah kenapa, sentuhan Medina seperti ada daya listriknya. Yang mampu mengejutkan syaraf-syaraf di tubuhnya. Uwau.
Bawaannya, Halim jadi ingin berdua terus di kamar bersama Istrinya. Gak usah ke mana-mana. Makan, minum di kamar. Pokoknya di kamar!
Tapi mereka masih ada di rumah Ibu mertua. Haaah. Sogan pulak lah ya ‘kan?
‘Aku ajak aja Medina tinggal di rumah. Jadi aku bisa bebas mau ngapain aja. Medina mau gak, ya? Eh, tapi di rumah masih ada Mama sama si Bibah. Ya Allah, Ya Rabbi. Kalau ingat si Bibah masih ada di rumah, hebohnya pasti gak ketulungan! Aku pasti jadi bahan ejekan dia! Oh, shit!’
Dah, lah! Halim berperang sendiri dengan pikirannya. Sampai-sampai motor yang dia bawa pun menyasar entah ke mana.
Medina sudah mulai kembut, alias panik. Halim mencoba menenangkan sang Istri tercinta. Tenang, sayang. Di sini ada Babang Halim.
Padahal dalam hati, paniknya sudah melebihi Medina. Karena dia ‘kan orang baru di sini, belum terlalu kenal dengan daerah di sini.
Medina mana sempat ketiduran lagi tadi di jalan. Jadi dia tidak tahu menahu, entah ke mana motor ini dibawa Suaminya.
Huuuft. Akhirnya mereka berkikik-kikik ria berjamaah.
‘Astaghfirullah! Gara-gara mikirin mau berduaan terus ini! Apa jangan-jangan gara-gara bilangin si Bibah heboh? Haaaaah. Sungguh bahaya ular kobra, kalau tergigit bisa koma, sungguh bahagia aku rasa, jika kita selalu bersama. Pengalaman yang indah, bisa nyasar bersamamu, sayangku.’
......***......
Assalamu'alaikum Pembaca aku.
Maaf telat update, ya? Mudah-mudahan nyambung ceritanya, ya? Soalnya mataku udah 5 Watt ini. Ngantuk beut.
Jangan lupa like nya ya, Weh? Akoh pada kalian sarang heo love muah muah 💐❤️🤟🏻