Istri Darurat Pewaris Takhta Konglomerat

"Kata Dewa, kamu mau minta bantuan saya untuk balas dendam. Memangnya, iya?"

Tari mestinya tidak kaget saat Raka bisa tahu terlalu banyak tentang kehidupannya. Terlebih, sekarang ada Dewa yang Tari jelas-jelas sadar kalau tugas sang bodyguard adalah wajib melaporkan apa pun soal dirinya pada Raka.

Apa itu privasi? Tari mungkin sebenarnya sudah sejak lama tidak memiliki privasi, cuma dia tidak sadar saja selama ini.

"Itu cuma pikiran impulsif karena sedih lihat orang yang nasibnya agak mirip saya. Sama-sama punya pasangan jahat yang bikin kami menderita gara-gara pinjol."

Tari sibuk dengan laptopnya sambil duduk bersila di ranjang. Raka melakukan hal serupa, tetapi dia bersandar pada kepala ranjang sembari fokus membaca laporan analisis bisnis terkait proyek baru di salah satu perusahaan.

Pillow talk mestinya jadi momen hangat dan romantis. Berawal dari obrolan bantal, tercipta suasana yang lebih intim dan bergairah.

Namun, pasangan ini justru sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Konsep pillow talk konon mudah diterapkan pasangan menikah, tetapi mungkin kecuali Raka dan Tari. 

"Kamu tahu saya bisa melakukan apa pun untuk membantu kamu, kan?"

Setelah bertanya pada istrinya, Raka mengernyit karena menemukan data grafis yang menurutnya janggal. Langsung saja dia tandai agar tak lupa membahasnya di kantor besok pagi.

"Iya, saya tahu."

Tari sebenarnya enggan menanggapi pertanyaan Raka, jadi jawab sekenanya saja.

"Seandainya saya bergerak sendiri tanpa persetujuan kamu, bagaimana?"

Raka kembali bertanya sambil menaruh tablet di tangannya ke nakas.

"Jangan," jawab Tari singkat.

Raka memerhatikan aktivitas sang istri yang tengah memperbaharui statusnya di platfrom jejaring profesional. Tari baru saja selesai membuat pengumuman bahwa masa rehat sejenaknya sudah berakhir sehingga siap menyambut proyek menarik apa pun yang ditawarkan padanya lagi.

Tari memang baru dua tahun ini fokus menjadi freelancer, tetapi dia sudah mulai merintisnya sejak di bangku kuliah semester akhir. Tak heran jika dirinya telah memiliki beberapa klien tetap yang berulang kali mempercayakan proyek mereka pada Tari.

Tari cukup yakin dia akan segera mendapatkan pekerjaan walau nilai proyeknya memang belum tentu langsung yang besar. Entah berapa lama dia bisa mengumpulkan uang Rp500 juta, tetapi mari terus diusahakan bagaimana pun caranya.

"Kamu tahu kalau saya bisa saja sudah melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan kamu, 'kan?" tanya Raka lagi.

"Iya, saya tahu. Anda bisa melakukan apa pun yang Anda mau."

Raka mendekatkan dirinya pada Tari, ikut bersila di samping istrinya itu.

"Kamu bakal diam atau menghentikan saya?"

Tari mulai jengah karena pertanyaan Raka tak kunjung habis. Jawaban apa yang sebenarnya Raka inginkan? Apa Raka sangat ingin Tari menyuruhnya ikut balas dendam?

"Kalau mau, Anda saja yang …."

Tari menoleh dan terkejut bukan main mendapati wajah Raka yang begitu dekat dengannya. Hidung mereka bahkan nyaris bersentuhan.

"Kalau saya mau, berarti saya boleh?"

Mata Tari membola saat menyaksikan perhatian Raka perlahan beralih ke bibirnya.

"Jangan!" Tari berseru sambil menjauhkan diri, secepat kilat menciptakan jarak aman antara dirinya dengan sang suami.

Raka tertegun melihat wajah ketakutan Tari. Sadar diri tak mau membikin perempuannya semakin tidak nyaman, Raka ikut mundur. Bukan hanya sekedar menjauhkan diri seperti yang dilakukan Tari, melainkan turun dari ranjang sekalian.

“Tari, misal suatu hari nanti kamu berubah pikiran, bilang, ya. Apa pun yang kamu butuhkan, saya siap bantu.”

Setelah mengatakan itu, tanpa menunggu respons Tari, Raka berjalan pergi ke luar kamar. Dia meninggalkan Tari yang seketika kebingungan dengan sikap suaminya.

"Dia tersinggung karena aku nggak mau dekat-dekat sama dia atau kenapa, deh? Aneh banget tiba-tiba pergi."

Namun, beberapa detik kemudian, Raka kembali. 

Berdiri sambil memegang gagang pintu, pria itu berkata, "Saya ke ruang kerja dulu, ya. Kamu tidur sendirian dulu nggak apa-apa, 'kan? Nanti saya nyusul."

"Oh, oke. Nggak apa-apa kalau …"

Belum selesai Tari bicara, Raka sudah menutup pintu dan pergi lagi.

"Ketimbang kelas kepribadian, kayaknya aku lebih butuh kelas khusus untuk memahami kepribadian Tuan Muda Raka Dhananjaya Bhaskara, deh ...."