Hukuman utk penabrak ternyata tidak bisa menyentuhnya, dengan angkuhnya pria itu menutupi kasus tabrakan dengan sejumlah uang. Akan tetapi adik korban tidak menyetujuinya, justru memaksa penabrak menikahi anak korban, Salma. Dengan terpaksa Kavin, pria arogan menikahinya.
Rasa benci kepada si pelaku sudah tertanam di hati Salma namun sayang tidak bisa dilampiaskan. Karena Kavin sudah meninggalkan acara akad nikah, sebelum mereka berdua akan di pertemukan. Tragis nasib Salma dan Kavin yang tidak tahu jelas nama dan wajah pasangannya.
"Baguslah kalau perlu mati dijalan sekalian! Salma tidak perlu melihat pria itu!!" emosi gadis itu.
Doanya seketika terkabul, tapi apa yang mati??
Akankah nikah paksa tiga tahun lalu terkuak setelah sekian lama Salma dan Kavin tidak bertemu? Dan sekarang di pertemukan kembali sebagai Bos dan Karyawan.
Ini bukan kisah romantis, tapi kisah dua orang yang saling membenci. Apakah mereka melanjutkan rumah tangganya? atau berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalah Uang 300 juta
Hawa kamar Salma begitu dinginnya dan auranya terasa menyedihkan, gadis cantik itu masih memakai baju gamis berwarna putih dan masih terduduk di lantai ubin yang begitu dingin, tanpa sehelai tikar atau kain sebagai alasnya.
Paman Didit turut duduk di lantai ubin yang terasa dingin itu dan juga tanpa alas dekat Salma. “Bukan maksud Paman berbuat jahat padamu, tapi ini demi kebaikan dan masa depan kamu, Salma,” ucap Paman Didit.
Jahat semudah itu Paman Didit berkata bukan maksud berbuat jahat, nyatanya pria paruh baya itu jelas sudah bertindak jahat, egois dan terkesan memaksa. Gadis itu sudah terluka atas tindakan yang pria itu ambil tanpa kompromi sebelumnya. Gadis itu bukanlah anak pria itu! hanya keponakannya, yang seharusnya di tanyakan terlebih dahulu.
“Kamu tahukan pamanmu ini kerjanya serabutan, tidak seperti bapakmu yang bekerja di pabrik sebagai mandor, yang punya gaji tiap bulan. Sedangkan anak paman ada tiga orang, jika di tambah kamu jadi ada empat orang. Uang dari mana paman bisa mencukupi kebutuhan kita sehari-hari,” keluh Paman Didit.
Paman Didit sedang berusaha memberikan penjelasan untuk Salma, agar gadis itu bisa mengerti keadaan. Namun sepertinya penjelasan tersebut sudah tidak berarti lagi untuk Salma, kecuali di bicarakan kemarin bukan hari ini.
Retno memberikan segelas air putih, agar gadis itu bisa menetralkan rasa sesak yang masih membuncah di hatinya.
“Tapi tetap saja Paman jahat sama Salma, tega menikahkan Salma dengan pria yang menabrak bapak. Seharusnya orang itu di penjara atau mati saja kalau bisa, harusnya Paman Didit melaporkannya ke polisi!” emosi Salma.
“HUH.....,” Paman Didit menghela napas kasarnya, agar tidak terbawa emosi dengan keponakannya.
“Begini Salma, pria yang menabrak bapakmu itu orang kaya Salma, dia bisa menjamin masa depan kamu. Makanya paman memaksa dia menikahi kamu, walau pria itu sudah terlihat tua,” tukas Paman Didit.
“Te-tega.......paman benar-benar tega.....Paman gak mikir kalau paman punya anak perempuan. Coba kalau anak paman posisinya gantiin Salma. Apakah paman tega ! Dan Salma tidak perduli dengan pria mau sekaya apapun!” maki Salma, sudah tidak perduli jika Paman Didit orang tua yang selama ini di hormatinya selain bapaknya. Hilang sudah rasa hormat gadis itu di saat itu juga.
Bibi Tia tidak terima Salma berani memaki suaminya, apalagi di depan Retno, anak mereka.
Sedangkan Retno memahami apa yang dirasakan oleh Salma dan tidak ambil pusing jika Salma memarahi bapaknya. Salma bukanlah anak berusia 10 tahun yang harus patuh dengan orang tuannya, sekarang dia seorang gadis yang sudah memilik KTP, punya hak untuk menyuarakan isi hatinya, punya hak untuk menentukan pilihan hidupnya.
“Masih mending kamu di nikahkan dengan orang yang nabrak bapak kamu, dari pada sama jurangan sapi jadi istri ke empat!!” celetuk Bibi Tia.
“Tutup mulut kamu, Bu. Jangan ikut campur dalam urusan ini!!” tegur murka Didit kepada istrinya. Salma hanya bisa menatap kesal dengan Bibi Tia.
“Iis....,” Bibi Tia mendesis kesal.
“Walau kamu menikah dengan pria yang menabrak bapakmu, kamu tidak akan di bawa dan tinggal dengan suamimu. Karena pria itu tinggal di ibu kota, jadi kamu tetap tinggal di desa. Dan ini ada uang ganti rugi kecelakaan yang menimpa bapakmu sebanyak tiga ratus juta dari pria tersebut,” Paman Didit menaruh amplop coklat besar di hadapan Salma.
“Looh.....loh kok bapak malah kasih uangnya ke Salma, ini uang kita loh pak!” Bibi Tia kaget dan langsung menyerobot amplop coklat tersebut, tapi segera di halau oleh tangan Paman Didit.
“Mas Didit, ini harus kita bicarakan berdua dulu, jangan seenaknya saja uang itu langsung di kasih ke Salma, dia masih kecil. Kita selaku orang dewasa yang lebih patut memegang kendali uang ini,” ujar Bibi Tia, kembali merebut amplop coklat besar tersebut dari tangan Paman Didit.
“DIAM TIA,” suara Paman Didit meninggi, lalu menepis tangan Bibi Tia dengan kasar.
“Mas Didit,” ringis Bibi Tia setelah dapat perlakuan kasar dari suaminya.
“DIAM TIA, DAN JANGAN IKUT CAMPUR. INI MASALAH KEPONAKAN SAYA, BUKAN KEPONAKAN KAMU!!” hardik Paman Didit. Bibi Tia langsung bungkam.
Suasana kamar Salma hening sejenak, dan mereka semua tenggelam dengan pikiran masing-masing.
“Ini adalah hak milik Salma, anak korban, anak yatim piatu. Kita tidak berhak atas uang tersebut.......haram. Yang ada hidup kita tidak berkah, akan banyak kesusahan. Jangan serakah, tamak jadi orang, Bu! Hidup kita sudah susah jangan di tambah susah lagi!” Paman Didit menegur istrinya.
Bibi Tia mendengus kesal. “Ya tapi tetap saja, uang sebesar tiga ratus juta yang di dapat itu berkat usaha bapak yang minta. Bahkan awalnya di penabrak hanya ingin memberi uang ganti rugi seratus juta. Berarti lebih dong dua ratus juta, bisa buat kita, Pak!” seru Bibi Tia, masih mengharapkan kebagian uang dari si penabrak.
Salma menyinggungkan ujung sudut bibirnya. “Aku baru tahu jika Bibi orangnya serakah!! masalah uang duka atas meninggalnya Bapak Salma, Bibi meributkannya, dan itu bukan hak bibi!!” masih dalam sesenggukan, Salma masih bisa meluapkan marahnya.
“Ini uang duka....Bibi, yang mereka berikan karena menghilangkan nyawa bapak. Bibi pikir aku senang menerima uang ini!! Tidak Bik, karena uang ini tidak mengembalikan nyawa bapak Salma!!” hardik Salma.
Retno menarik lengan ibunya yang posisinya sudah terlalu dekat, agar segera menyingkir dari hadapan Salma, “Ibu jangan seperti itu dengan Salma.” Kesabaran Retno melihat kelakuan Ibunya bikin jengah.
Bibi Tia berdecak kesal, ”anak sama bapak sama aja!!” Bibi Tia beringsut dari lantai lalu berdiri sambil menghentakan kedua kakinya dengan kesal, kemudian keluar dari kamar Salma begitu saja.
Dalam ratapannya, gadis cantik itu menatap amplop coklat tersebut.
“Ini ambillah, ini hak milik kamu,” ujar Paman Didit.
“Uangnya terserah kamu mau di apakan, yang jelas paman kasih tahu sekali lagi. Sekarang kamu sudah menikah walau hanya nikah siri. Akan tetapi kamu tetap bisa menyelesaikan sekolah kamu karena suami kamu menginginkan kamu tetap tinggal di sini. Maaf jika paman melakukan semuanya, karena tidak keberdayaan paman.”
Salma membuka amplop coklat tersebut, kemudian mengeluarkan tujuh buntal ikatan pecahan uang berwarna merah itu.
“Sejujurnya Salma sangat marah dan masih kesal dengan Paman Didit yang telah mengambil keputusan tanpa bertanya pada Salma, hingga menikahkan Salma dengan pria yang belum Salma kenal,” ungkap Salma dengan menghela napas panjang.
“Paman, besok tolong antar Salma ke bank. Dan uang ini..... Salma berikan untuk Retno, kami punya mimpi berdua untuk bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah di ibu kota. Salma berharap paman bisa mendukungnya,” kata Salma, suara seraknya masih terdengar, sembari meletakkan uang tersebut di hadapan Paman Didit.
Hati Paman Didit tersentuh dan tak menyangka atas hal apa yang di lakukan oleh keponakannya, dalam duka masih memikirkan orang lain.
*Bersambung......
Kakak Readers jangan lupa tinggalin jejaknya 👣👣👣👣 ya, like, komen, klik ❤, di kasih hadiah juga gak nolak, vote plus rate ⭐⭐⭐⭐⭐. Makasih
Love you sekebon 🌻🌻🌻🌻*