Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 30
Kuhempas bokong pada sofa saat tiba di rumah, sepi tak seperti biasanya ketika ada Shanum di sini. Dia selalu menyambutku dengan senyum ramah, menawariku makan dan mandi. Bahkan, menyiapkan air hangat sebelum itu.
Aku menatap hampa pada langit-langit ruang tengah rumah, sehampa hatiku ketika harus hidup sendirian di sini. Tanpa canda tawa Shanum, tanpa aroma masakan yang menggiurkan hasil tangannya yang cekatan. Kenapa? Ruang di rongga dada terasa sepi, ada rindu menelusup diam-diam ingin bersua.
"Kenapa rasanya aku nyesel gini, ya, udah nurutin kemauan Shila. Apa iya aku selingkuh sama dia? Aku cuma mau bantuin dia aja, nggak lebih."
Kuingat-ingat kembali pertemuan pertama kami setelah aku menikah dengan Shanum. Dia datang sambil menangis, menanyakan kenapa aku menikah dengan Shanum tanpa mau mendengar penjelasannya? Kenapa?
Jujur saja saat itu aku kecewa dan tidak tahu harus apa? Aku melampiaskan rasa kecewa dengan menuruti keinginan Mamah dan Papah untuk menikahi Shanum. Mungkin itulah alasanku kenapa aku tidak bisa sepenuhnya memberikan hatiku.
"Apa Shanum beneran cinta sama aku? Atau cuma kepaksa aja jalanin rumah tangga ini?"
Pasti dia terpaksa melayaniku karena terlanjur menjadi seorang istri. Shanum perempuan yang dimanjakan orang tuanya, tanpa berkerja pun semua kebutuhan sudah tercukupi. Hidupnya selalu dilayani, tapi dia begitu memperhatikan aku. Anak manja? Dia tidak terlihat manja.
Merenungkan nasib diri sambil membandingkan dua wanita yang berkeliaran di kehidupanku. Salah satunya akan hengkang meninggalkan aku. Benar, jika dibandingkan, Shanum tidak pernah menyusahkanku. Berbeda sekali dengan Shila yang selalu bergantung padaku. Apakah memang ini yang aku inginkan? Apa aku laki-laki yang tidak tahu terima kasih?
Kurasa tidak! Dari pada harus menjalani biduk rumah tangga yang rumit dan terpaksa, lebih baik berpisah. Lagipula Shanum sudah tidak ingin mendengarkan aku lagi. Untuk apa berjuang mempertahankan, sedangkan aku sudah tidak dihargai sama sekali.
"Duh, siapa yang nelpon?" Aku menggerutu karena kaget disaat ponsel berdering di dalam saku. Gegas kurogoh dan melihat siapa yang mengganggu.
Mamah?
Astaga, apa yang harus aku katakan padanya ketika ia bertanya tentang uangnya dan tempat usahaku? Bimbang melanda hati, apakah harus mengangkat panggilannya? Atau berpura-pura tidak mendengar dan tidak tahu saja?
"Udahlah, Mah. Nggak usah telpon dulu." Aku kesal karena Mamah tidak berhenti menghubungi. Deretan pesan darinya pun masuk bertubi-tubi, panggilan demi panggilan terus dilakukan.
Kusentak tubuh di saat membawa diri ini bangkit untuk duduk. Terpaksa kutekan tombol hijau untuk menjawab panggilannya itu. Kurasa lidahku bergetar, bagaimana aku menjelaskan kepada Mamah tentang toko yang sudah beralih tangan.
"Hallo, Mah." Sebisa mungkin kutekan rasa gugup agar Mamah tidak curiga terhadapku.
Benar dugaanku, Mamah bertanya tentang toko itu dan menanyakan kapan uangnya akan dikembalikan.
"Tunggu, Mah. Raka mau buka cabang di tempat lain, Mamah sabar dulu, ya. Nanti pasti Raka ganti, Mamah nggak usah kuatir," ucapku berbohong. Biarlah, untuk sementara waktu ini Mamah percaya padaku dulu.
Aku mendengarkan tatkala Mamah bertanya tentang lokasi lokasi yang akan dibangun cabang tokoku.
"Raka belum tahu, Mah. Belum dapat tempat yang strategis. Coba Mamah punya saran nggak? Kira-kira di mana tempat yang bagus buat buka cabang toko Raka," ucapku meminta saran padanya.
Mamah terdiam beberapa saat. Lalu, sebuah lokasi disebutkannya dengan lantang dan tegas. Giliranku yang terdiam, apa Mamah tidak salah sebut lokasi? Dari sekian banyak tempat kenapa harus di sana?
"Kenapa harus di sana, Mah?" Aku bertanya karena rasanya enggan sekali.
Lalu, penjelasan Mamah akhirnya membuatku mengerti kenapa harus tempat itu. Aku tersenyum menyeringai, semua yang dikatakan memanglah benar. Baiklah, di sanalah aku akan membangun usaha baru. Mamah memang pintar.
"Makasih, Mah. Besok Raka survei tempatnya dulu." Kututup sambungan, masih mengulas senyum di bibir aku beranjak untuk membersihkan diri. Namun, rasa lapar di perut, membuatku kembali teringat pada Shanum yang akan selalu siaga membuatkan makanan.
Aku menatap nanar meja makan yang kulewati, menghampiri lemari pendingin mencari apa saja yang bisa dibuat makanan. Kosong? Kenapa sekarang selalu kosong? Tidak seperti saat ada Shanum di rumah ini. Dia seolah-olah tidak membiarkan benda itu kosong.
Biarlah, aku akan membeli makanan di luar saja.
****
Tok-tok-tok!
Suara ketukan pintu menyita perhatianku yang baru saja mengenakan pakaian bersiap untuk pergi. Aku keluar dan membuka pintu, tertegun melihat siapa yang datang.
Shila, dia berdiri di teras rumah sambil membawa rantang yang sudah pasti berisi makanan. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
"Shila? Kenapa datang ke sini?" Aku berpura-pura bertanya, padahal tak sabar ingin menyantap makanan itu.
Ia tersenyum, mengangkat rantang susun tiga di tangan ke depan dadanya.
"Bawain makanan buat kamu. Aku takut kamu lapar dan nggak ada yang masakin. Makanya aku inisiatif ke sini bawain kamu makan," katanya sungguh terdengar manis di telingaku.
Aku menggaruk belakang kepala yang tak gatal, salah tingkah dan tak tahu harus apa. Kubuka pintu lebih lebar, dan membiarkan dia masuk. Di ruang tamu saja, kami duduk berdampingan dan Shila sigap membuka rantang yang dibawanya.
"Mau aku suapin?" tawarnya sangat manis. Teringat saat kami menjalin kasih dulu, dia sering melakukan ini padaku. Aku mengangguk tanpa penolakan, dan membuka mulut ketika sendok mendekatinya.
Suapan demi suapan nasi dan lauk masuk ke dalam melewati tenggorokan. Meski rasanya tak seenak masakan Shanum, tapi cukup mengusir rasa laparku. Darahku berdesir ketika jemari Shila dengan lembut mengusap sudut bibir. Dia masih manis seperti dulu.
Kutatap wajahnya yang bersemu, ia yang menunduk ikut memandang ke arahku. Lama kami saling menatap satu sama lain, sampai Shila memutuskannya dan kembali menyodorkan sendok ke depan mulutku.
"Jangan lihatin aku kayak gitu. Malu," katanya mencoba menyembunyikan rona merah di pipi dengan menundukkan kepala.
"Kenapa harus malu? Dulu, aku juga sering lihatin kamu kayak gini, 'kan?" Apakah dia lupa? Baiklah, biar aku ingatkan.
Shila semakin merunduk, mengangguk pelan tanda ia tak lupa dengan kenangan indah nan manis yang dahulu kami cipta. Tanganku tanpa komando meraih dagu gadis itu, mengangkatnya perlahan hingga ia mendongak dan menatapku.
Aku tersenyum, Shila semakin merona. Kenapa aku teringat Shanum. Istri yang sebentar lagi akan menjadi mantanku itu selalu terlihat cantik ketika ia bersemu seperti ini. Tanpa sadar aku mengikis jarak ketika melihat benda kenyal yang dipoles gincu merah di depan mataku.
Kuraih benda tersebut, hanyut dalam rasa manisnya meski berbeda ketika aku melakukan itu dengan Shanum. Shila membalas tanpa ragu dan malu, masih sama seperti dulu. Kami sering melakukan ini ketika melepas rindu.
Gejolak dalam dada membuncah, tak aku pungkiri batin merindukan kegiatan penyatuan. Sial! Aku tidak dapat mengendalikan ajakan ini. Sampai pintu terbuka dan terbanting, pagutan kami terlepas. Astaga! Tak sadar posisiku sudah berada di atas Shila dan nyaris membuka kancing kemejanya.
Lalu, menoleh. Mataku melebar melihat satu sosok berdiri dengan ekspresi yang rumit.
"Ka-kamu!"