Di ruang tamu rumah sederhana itu, suasana yang biasanya tenang berubah menjadi tegang.
"Ummi, Abiy, kenapa selalu maksa kehendak Najiha terus? Najiha masih ingin mondok, nggak mau kuliah!" serunya, suara serak oleh emosi yang tak lagi bisa dibendung.
Wajah Abiy Ahmad mengeras, matanya menyala penuh amarah. "Najiha! Berani sekarang melawan Abiy?!" bentaknya keras, membuat udara di ruangan itu seolah membeku.
"Nak... ikuti saja apa yang Abiy katakan. Semua ini demi masa depanmu," suara Ummi Lina terdengar lirih, penuh harap agar suasana mereda.
Namun Najiha hanya menggeleng dengan getir. "Najiha capek, Mi. Selalu harus nurut sama Abiy tanpa boleh bilang apa yang Najiha rasain!"
Amarah Abiy Ahmad makin memuncak. "Udah besar kepala rupanya anak ini! Kalau terus melawan, Abiy akan kawinkan kamu! Biar tahu rasanya hidup tak bisa seenaknya sendiri!" ancamnya dgn nada penuh amarah.
mau lanjut??
yuk baca karya aku ini🥰🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tatapan yang membekas.
Tring… tring… tring…
Ponsel iPhone pemberian Om Malik berdering, menampilkan nama sang paman di layar. Dengan cepat, Najiha menjawab panggilan itu.
"Assalamu’alaikum, hai Najiha… apa kabar?" suara hangat seorang pria paruh baya terdengar di seberang.
“Wa’alaikumsalam, Om. Alhamdulillah, Najiha baik, kok. Om sendiri gimana? Sehat, kan?” jawab Najiha dengan suara lembut.
“Alhamdulillah, sehat. Gimana apartemennya? Bagus nggak? Kamu suka?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.
“Maa syaa Allah, bagus banget, Om. Najiha suka banget, apalagi dekorasi lampu kuning sama wallpaper hitam ini. Rasanya nyaman sekali. Makasih ya, Om,” ucap Najiha dengan tulus, matanya menyapu ruangan yang kini terasa seperti rumah kedua.
“Iya, sama-sama. Yang penting kamu betah. Eh, gimana hari pertama kuliah? Lancar?” Om Malik bertanya dengan nada khawatir.
“Alhamdulillah, lancar kok, Om. Najiha mulai bisa beradaptasi sama lingkungan barunya,” jawab Najiha mencoba menenangkan pamannya.
“Hem… iya deh. Tapi kamu hati-hati, ya. Jangan sampai ikut-ikutan pergaulan bebas. Dan sering-sering nelpon Abiy sama Ummi, mereka pasti kangen dan khawatir sama kamu,” pesan Om Malik dengan nada serius.
“Iya, Om. Najiha nggak akan lupa, kok,” Najiha menjawab lembut, meski hatinya sedikit terasa rindu. “Om masih di Kalimantan, ya?”
“Iya, Om masih di Kalimantan. Lagi ada urusan sama temen bisnis, namanya Om Dian,” jawabnya, kemudian mengarahkan kamera ke pria di sampingnya.
“Assalamu’alaikum, Om,” sapa Najiha kaku, menatap wajah asing itu melalui layar.
“Wa’alaikumsalam, Najiha. Wah, cantik sekali keponakanmu, Malik,” ungkap Om Dian sambil tersenyum.
“Yaiyalah, Om-nya aja ganteng. Iya, kan, Najiha?” sahut Om Malik percaya diri.
“Hahaha, pede banget sih Om,” Najiha tertawa kecil, suaranya lembut namun sedikit bercanda.
Percakapan mereka berlanjut dengan hangat, penuh tawa kecil yang mengusir rindu dan kekhawatiran. Sebelum menutup telepon, Om Malik menatap kamera dengan serius.
“Jaga diri baik-baik, ya, Naj. Ingat, kamu nggak sendiri. Ada Om, ada Abiy sama Ummi, semuanya sayang sama kamu,” ucapnya pelan.
“Iya, Om. Makasih banyak. Doain Najiha, ya,” jawabnya lirih, merasa hatinya menghangat meski jarak memisahkan mereka.
Panggilan itu berakhir, meninggalkan senyuman di wajah Najiha. Di balik segala kesibukan dan perjuangannya di tempat baru, perhatian kecil dari keluarga selalu menjadi pelipur terbaik.
# # #
Najiha, seperti biasa, melaju dengan motor Fazio pemberian pamannya, Malik. Dengan pakaian serba tertutup dan masker putih menutupi wajahnya yang cantik, ia tampak seperti sosok misterius yang lebih memilih untuk tetap berada dalam bayang-bayang ketenaran. Setiap hari, perjalanan menuju kampusnya adalah rutinitas yang sudah sangat dikenalnya. Namun, takdir berkata lain hari itu.
Brukk!!!
Suara benturan keras terdengar, dan motor yang dikendarai Najiha terjatuh setelah menabrak pohon besar di pinggir jalan perumahan elit. Tubuhnya terhuyung, dan rasa sakit langsung menyebar di seluruh tubuhnya.
"Aduhhhh... Yaa Allaah... Sakit," keluh Najiha, mencoba menahan rasa perih yang menggerogoti tubuhnya.
Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di dekatnya, dan seorang lelaki muda keluar, mendekatinya dengan cepat. Pemuda itu tampak khawatir saat melihat Najiha terjatuh.
"Lo baik-baik aja?" tanya pemuda itu dengan nada khawatir, membantu Najiha untuk berdiri.
Najiha yang memang tidak suka disentuh oleh sembarang orang segera menarik diri, mengibaskan pakaiannya yang kotor akibat insiden tersebut. "Eh, nggak usah, nggak usah. Aku nggak papa kok," jawabnya dengan suara datar, berusaha menenangkan diri.
Lelaki itu menatapnya sejenak, seakan mempelajari wajah Najiha yang tersembunyi di balik masker. "Hemm, kamu mahasiswi baru ya di Fakultas Agama?" tanyanya.
Najiha sedikit terkejut, mengangkat alisnya. "Ouhh, iya. Kok tau?" tanyanya curiga.
Lelaki itu tersenyum tipis. "Tau lah, gue gitu loh," jawabnya, lalu mengulurkan tangan. "Eh, kenalin, nama gue Rio, dari Fakultas Kedokteran," ujarnya dengan nada santai, mencoba untuk lebih akrab.
Najiha menatap tangan Rio yang terulur, kemudian dengan hati-hati, dia menjawab dengan cara yang khas, tidak menyentuh, tapi hanya sekadar menyalami dengan ujung jari. "Hemm, salam kenal," ucapnya singkat.
"Makasih bantuan-nya, aku duluan," ujar Najiha, berusaha menghindar. Wajahnya sedikit terlipat dalam ketegangan. Ia tahu betul batas-batas yang harus dijaga, terutama dengan lelaki yang bukan mahram.
Saat Najiha mulai berjalan menjauh, Rio berdiri di tempatnya, menatap kepergian Najiha dengan penuh perhatian. Dalam hati, ia berbisik, "Dia terjaga, untuk yang terjaga."
Meskipun Najiha mencoba menghindar, sesuatu di dalam dirinya membuat Rio ingin lebih mengenalnya. Ada aura misterius yang menyelimuti gadis itu, dan Rio tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang mulai tumbuh dalam dirinya.
# # #
"Yaa Allaah, nih badan masih sakit," keluh Najiha dalam hati, mencoba mengabaikan rasa perih yang semakin terasa setelah insiden tadi pagi. Setelah parkir motor di area Universitas Bina Nusantara, ia turun dengan sedikit kesulitan, mencoba untuk tetap tegar. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sosok Haidar yang mendekatinya dengan ekspresi khasnya yang sulit ditebak.
"Najiha, motor lo? Ancur banget depan-nya. Ntar pasti kena marah bokap-nyokap lo," ujar Haidar, suaranya penuh nada mengesalkan, seperti biasa, dengan senyuman yang tak sepenuhnya ramah.
Najiha hanya menatapnya tajam, tatapan yang seolah bisa menembus langsung ke dalam hati. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia melanjutkan langkahnya, berusaha tidak memperdulikan Haidar yang masih berdiri dengan ekspresi tercengang.
"Heeyy, tunggu, Naj! Gue cuma bercanda kok," Haidar berlari mengejarnya, berusaha meredakan ketegangan dengan nada yang lebih santai, meskipun Najiha tak juga memberi respon.
Najiha berhenti sejenak, lalu menoleh dengan ekspresi datar yang biasa ia tunjukkan pada orang yang tidak ia kenal baik. "Bokap-nyokap gue nggak ada di sini," jawabnya, mencoba menggunakan kalimat informal, sedikit menantang.
Haidar tertawa lepas, mencoba meredakan suasana, namun masih ada sedikit ledekan dalam suaranya. "Hahaha, gue nggak gitu, Naj," ujarnya dengan nada santai. "Ouhh yaa... Emang lo dari mana sih, kok pake 'aku kamu' kalau ngomong?"
Najiha meliriknya sekilas, kemudian dengan nada dingin, ia menjawab, "Aku dari Kalimantan Tengah," singkat dan penuh penekanan, sebelum melanjutkan langkahnya yang cepat, mencoba menjauh dari Haidar yang tampaknya tak terlalu mengerti situasi.
Haidar terdiam sesaat, mencoba mencerna kata-kata Najiha. Kalimantan Tengah? Dia memikirkan hal itu, namun Najiha sudah melangkah terlalu cepat. Haidar terpaksa berlari mengejarnya, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Najiha begitu sulit untuk didekati.
"Tunggu, Naj! Lo ini... cowok apa cewek sih, Naj?" Haidar akhirnya berteriak, kesal karena tak bisa mengikuti kecepatan langkah Najiha yang terlampau cepat. Ada rasa penasaran yang tumbuh dalam dirinya, namun juga ketegangan yang semakin terasa.
Najiha tetap berjalan tanpa menoleh, wajahnya datar, namun di dalam hatinya, ia merasa tak nyaman dengan perhatian Haidar. "Kenapa sih dia nggak berhenti?" pikirnya dalam hati, meskipun langkahnya semakin jauh meninggalkan Haidar di belakang.