Adrian tiba tiba ketahuan menjalin hubungan dengan Astrid, sahabat Jeslin sendiri. Hal ini membuat hubungan ketiganya rusak. Sehingga membuat Jeslin terpaksa pergi dari Ibukota. Namun, sebelum itu terjadi, Jeslin sempat dekat dengan Ben, Sahabat adiknya sendiri. Tapi hubungan mereka masih menggantung.
Jeslin pergi ke Bali, di mana kakek dan neneknya tinggal. Namun dia tidak menyangka kalau di sana dia akan bertemu lagi dengan Ben. Kisah cinta mereka yang dulu belum berlanjut membuat keduanya makin dekat. Sayangnya, Jeslin baru tahu kalau Ben sudah punya tunangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osi Oktariska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30 berpisah
"Kakak kapan pergi memangnya?" tanya Daniel. Weekend ini dia berkunjung ke apartemen Jeslin karena ingin melepas rindu setelah beberapa minggu tidak bertemu. Hal ini biasa terjadi. Walau mereka tinggal di satu kota, tapi pertemuan kakak beradik itu bisa dikategorikan jarang. Mereka sibuk dengan urusan masing masing. Tapi setiap ada waktu senggang, mereka tentu akan menghabiskan waktu bersama.
"Belum tau, Nil. Katanya nanti dikasih kabar. Kemungkinan akhir bulan ini."
"Berapa lama kakak di sana?"
"Yang jelas lebih dalam daripada pas ke Riga kemarin. Kakak kan, pergi ke dua negara. Riga juga Seoul. Mungkin satu tahun, dua tahun, entahlah."
"Ben udah tau?"
Jeslin tidak langsung menjawab, dia yang sedang membuat sarapan terpaksa menghentikan aktifitasnya karena merasa terganggu dengan pertanyaan Daniel barusan.
"Belum," sahut Jeslin tak lama setelah itu. Dia kembali memotong bawang Bombay, sementara Daniel senantiasa menunggu masakan sang kakak matang.
"Kok gitu? Kenapa nggak mau kasih tau Ben? Kasihan loh, nanti dia sedih dan kecewa."
"Bingung gimana cara bilangnya."
"Apa perlu aku yang bilang ke Ben?"
"Jangan! Nanti dia makin kesel sama aku."
"Jadi? Mau kapan bilang ke dia. Ben perlu tau rencana ini. Karena dia itu pasti bakal yang paling merasa kehilangan kalau Kakak pergi."
"Iya, besok aku bilang ke dia."
"Jangan ditunda terlalu lama ya, Kak. Takutnya nggak ada waktu lagi buat bilang ke dia."
"Itu bener, Jes! Kasihan kalau sampai Ben nggak kamu pamitin. Jahat banget tau. Dia itu selalu menomor satukan kamu. Masa kamu balas dengan hal seperti ini," sambung Astrid.
Kini Jeslin merasa terpojok, karena apa yang dikatakan Daniel dan Astrid memang benar. Jika sampai Ben belum mengetahui hal ini, atau bahkan Ben tau rencana kepergian Jeslin tapi diwaktu yang sudah dekat, maka pria itu pasti akan sangat kecewa dan sedih. Maka dari itu, Jeslin berencana menceritakan pada Ben besok.
Padahal intensitas pertemuan mereka bisa setiap hari. Sejak keributan yang Ben buat di kantor Jeslin, mereka setiap hari selalu bertemu. Ben selalu mengantar dan menjemput gadis itu ke kantor. Tidak hanya itu saja, mereka juga kerap makan bersama. Entah makan siang atau makan malam. Tak jarang juga mereka sarapan di mobil bersama.
Kedekatan mereka makin erat. Walau tanpa embel embel pacaran. Tapi orang orang yang melihat hubungan mereka pasti beranggapan kalau mereka memiliki hubungan spesial. Bahkan Jeslin dan Ben tidak pernah lagu dekat dengan lawan jenis lain. Ben yang terkenal playboy, sudah tidak lagi mendekati perempuan lain. Bahkan saat ada kawan lama yang mendekatinya sekalipun, Ben selalu menarik diri. Dia menjauh dan justru mendekat ke Jeslin.
Di saat ada ajakan makan siang dari klien, yang terlihat tertarik padanya, Ben selalu menolak, dan langsung menghubungi Jeslin untuk bisa bertemu. Ben agak posesif. Dia sering menunjukkan sikap egois dengan merasa telah memiliki Jeslin seutuhnya. Tapi sayang nya, Jeslin tidak pernah keberatan dengan hal itu.
Bahkan saat Jeslin marah, pada waktu Reymond mengutak atik ponselnya, hal yang sama tidak berlaku pada Ben. Ben bisa dengan mudah mengakses ponsel Jeslin. Entah untuk memesan aplikasi makanan antar, atau hal lainnya jika dia tidak membawa ponsel. Pun sebaliknya. Jeslin juga bisa mengakses ponsel Ben dengan leluasa. Toh, keduanya memang tidak menyimpan rahasia apa pun. Sandi di ponsel Jeslin diganti, setelah Reymond bisa mengakses barang pribadinya itu dengan seenaknya. Dan yang lebih manis dari itu, sandi ponsel mereka berdua sama.
Semua yang terjadi di antara Ben dan Jeslin layaknya pasangan kekasih pada umumnya. Mereka sering pergi ke undangan pesta bersama, memakai pakaian yang sama, makan bersama. Bahkan posisi Astrid sekarang mulai tergeser karena Ben yang selalu ada setiap saat untuk Jeslin.
Tapi Jeslin, tetap sulit untuk menceritakan tentang rencana kepergiannya pada Ben. Dia tidak memiliki keberanian itu, dan memilih untuk diam, menunggu waktu yang tepat. Hanya saja Jeslin tidak tau, kalau waktunya tidak banyak.
Dering ponselnya membuat tidur Jeslin terganggu. Dia meraba ke ranjang, mencari benda pipih yang telah menganggu tidurnya. Begitu menemukan suara bising tadi, Jeslin langsung melihat dengan jelas kalau Reymond sedang menghubunginya lewat panggilan telepon.
"Astaga. Jam berapa ini? Reymond ngapain sih telepon tengah malam gini?!" omel Jeslin tapi tetap saja dia menerima telepon tersebut dengan mata kembali terpejam.
"Ya, Rey?"
"Kamu udah tidur, ya?"
"Udah. Kenapa? Kalau bahas kerjaan besok aja deh, ya. Aku ngantuk banget."
"Jes, besok kita terbang. Kita pergi pakai penerbangan pagi."
"Apa?" tanya Jeslin yang langsung terkejut dan membuka matanya lebar lebar. Dia langsung duduk saat mendengar kabar dari Reymond. "Maksud kamu? Penerbangan pagi ke mana?"
"Riga."
"Hah? Kok tiba tiba gini? Bukannya nanti, akhir bulan ini?"
"Besok, Jes. Semua dimajukan. Karena katanya, mereka udah siap buat syuting. Kita harus udah di sana karena bagian dari tim produksi."
"Jadi ... Besok pagi? Kita ke Riga. Cuma ke Riga aja, kan? Ke Seoul nya setelah kita pulang dari Riga."
"Ya enggak. Selesai urusan di Riga, langsung ke Seoul. Kita nggak bisa pulang, sebelum semua selesai. Kita lagi dikejar deadline. Nggak ada waktu buat balik dulu."
"Rey, kenapa mendadak banget sih!"
"Paspor kamu masih ada, kan? Udah ngurus semua, kan, kemarin? Terus kayaknya kamu udah mulai paking, kemarin kamu cerita aku. Udah siap semua tinggal berangkat aja."
"Ya iya. Memang. Tapi ... Ya ampun!"
"Kenapa? Oh, kamu belum pamit ke pacar kamu, ya?"
"Ben!"
"Iya, Ben. Siapa lagi. Wah, kalau gitu kamu hubungi dia sekarang aja. Pamitan sekarang."
"Masalahnya ... Aku belum cerita ke dia kalau bakal pergi ke Riga."
"Hah? Gila kamu, Jes. Kita pergi ke sana bukan sebulan dua bulan loh. Lama. Setahun, dua tahun, malah aku denger total kita pergi dan baru bisa balik ke Indonesia itu sekitar lima tahun."
"Lima tahun? Nggak boleh pulang sebentar aja?"
"Enggak. Hm. Lebih baik kamu ke rumah Ben. Aku yakin dia kecewa banget. Apalagi besok kamu pergi. Bukan lusa atau minggu depan lagi. Kalian udah nggak ada waktu lagi, Jes."
Perkataan Reymond memang benar. Jeslin sudah tidak punya waktu lagi untuk menjelaskan hal ini. Hanya ada satu hal yang bisa dia lakukan sekarang, yaitu berpamitan. Tetapi Jeslin masih bingung, cara yang paling tepat untuk berpamitan pada Ben. Dia merasa sangat bersalah karena tidak memberitahukan hal ini jauh jauh hari. Jeslin kalut. Pikirannya bergemuruh.
Kini dia mulai memegang lagi benda pipih itu. Reymond sudah mematikan telepon sejak 10 menit lalu. Jeslin mulai mencari nama Ben yang memang ada diurutan teratas di aplikasi WA nya. Jeslin memeriksa status Ben saat ini. Tidak aktif. Itu artinya kemungkinan besar, pemuda itu sudah tidur. Jeslin mulai mengetik barisan huruf dengan cepat, tapi kemudian, dia kembali menghapusnya karena ragu pada pesan yang hendak ia kirimkan.
"Kayaknya aku harus ke sana. Aku nggak bisa pamitan lewat hape."
Jeslin pun bergegas. Dia tidak mengganti piyama tidurnya, hanya menambahkan outher panjang. Bahkan Jeslin masih memakai sendal bulu rumahan saat keluar dari apartemen. Dia bergegas. Mengemudi menuju ke apartemen Ben.
Hari sudah lewat tengah malam. Ini pukul 02.00 dini hari, dan Jeslin berkendara sendirian menuju ke tempat Ben. Jalanan sudah agak sepi, walau masih ada beberapa kendaraan yang lewat. Seperti bus dan truk yang memang selalu memakai jam malam untuk jalur berkendara mereka, agar tidak mengganggu kendaraan umum lain di siang hari.
Jeslin gugup. Entah kenapa perasaan nya tidak karuan. Dia cemas, dan takut pada reaksi Ben nantinya. Sampai lah dia di halaman gedung bertingkat apartemen Ben. Ada satpam yang berjaga di pos depan. Bahkan pria paruh baya itu, berjaga sambil tertidur sekarang. Jeslin langsung menerobos ke dalam dan naik menuju kediaman Ben.
Jeslin setengah berlari menuju ke lift. Tubuhnya bergetar karena rasa cemas yang ia rasakan sejak tadi. Saat ini yang dia inginkan hanyalah untuk bisa bertemu Ben secepatnya. Jeslin benar benar merasa sangat bersalah.
Kamar nomor 3489 sudah ada di depan mata. Tangan Jeslin bergetar saat hendak menekan tombol bel. Walau dia tau sandi apartemen Ben, tapi dia tidak akan sembarangan untuk masuk ke dalam. Kecuali situasi mendesak. Beberapa kali bel dibunyikan. Jeslin masih sabar menanti agar Ben muncul di depan nya sekarang. Hampir 15 menit berlalu, pintu kamar itu pun akhirnya dibuka.
Wajah pemuda yang sudah di kenalnya cukup lama itu tampak khas seperti wajah orang baru bangun tidur. Rambut Ben acak acakan. Matanya masih bengkak dan berusaha membuka mata dengan terpaksa. Ben masih sangat mengantuk. Tapi saat melihat Jeslin yang berada di depan pintu apartemennya, Ben langsung terkejut sehingga membuka matanya lebar lebar untuk memastikan kalau yang dia lihat memang benar Jeslin.
"Jes? Kok di sini? Ada apa? Terjadi sesuatu? Masuk," ajak Ben sambil terus menatap gadis itu lekat lekat. Melihat pakaian yang dikenakan Jeslin sekarang menandakan kalau gadis itu pergi dengan tergesa gesa. Dia bahkan tidak mengganti pakaian dulu dan memakai baju seadanya.
Jeslin membeku. Membuat Ben makin bingung. Dia cemas, telah terjadi sesuatu pada gadis itu. Karena hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.
"Masuk dulu, ya. Aku buatkan teh hangat, mau?" tanya Ben lembut.
Jeslin menggeleng cepat. Kini tiba tiba saja air matanya menetes deras. Ben yang berusaha tenang, justru menjadi panik melihat Jeslin yang menangis tiba tiba. "Kenapa? Ada masalah? Jes?"
Jeslin menatap Ben, lalu meraih tangannya. Pemuda itu hanya diam dan menunggu Jeslin berbicara.
"Aku minta maaf, Ben," ucap Jeslin pelan.
"Minta maaf? Buat apa? Mending masuk dulu, yuk," ajak Ben hampir menarik tangan Jeslin agar mau masuk ke dalam. Dia tidak nyaman dengan posisi mereka yang berada di koridor lantai lima gedung bertingkat itu. Apalagi dengan kondisi Jeslin yang sedang menangis. Rasanya jika ada orang yang melihat, Ben pasti akan dicap sebagai orang yang jahat.
"Nanti. Aku mau menjelaskan sesuatu. Aku minta maaf sebelumnya, Ben. Karena nggak cerita hal ini jauh jauh hari."
"Cerita tentang apa?"
"Kerjaan aku."
"Kerjaan kamu? Memangnya kenapa? Ada masalah?"
Jeslin menggeleng cepat. Dia masih saja memegang tangan Ben erat erat. "Bukan. Nggak ada masalah sama sekali. Tapi ... Tapi ... Produksi film di Riga sudah mulai. Terus tentang pembuatan skenario untuk drama Korea yang aku ceritakan kemarin juga sudah mau dimulai."
"Oh ya? Bagus dong. Terus apa yang jadi masalah kalau begitu."
"Masalahnya ... Besok aku harus pergi ke Riga. Bukan satu dua bulan, tapi mungkin lima tahun. Dan aku nggak bisa pulang sebelum kontrak di sana selesai. Kemungkinan lima tahun aku nggak bisa pulang."
"...." Ben diam. Dia tampak terkejut pada kalimat Jeslin. Dia benar benar tidak tau kalau dia akan pergi jauh, dalam jangka waktu yang lama. Untuk pekerjaan itu, Ben memang tau, tapi dia pikir Jeslin hanya pergi sementara ke sana seperti sebelumnya. Lalu mengenai pembuatan skenario film di Seoul, Ben benar benar tidak tau, kalau Jeslin harus berada di sana untuk pekerjaannya itu. Ben benar benar terkejut. Apalagi kondisinya dia baru saja bangun tidur. Kepalanya langsung sakit. "Besok? Mendadak banget tapi, ya?" tanya Ben berusaha menekan emosinya.
"Aku pikir akhir bulan ini kami perginya. Tapi aku baru dikasih kabar Reymond tadi, kalau besok kami harus berangkat."
"Reymond? Kamu pergi sama dia? Bukan tim yang kemarin ikut ke Riga?"
"Enggak, Ben. Cuma sama Reymond aja. Soalnya Balqis dan yang lain ada proyek lain di luar kota. Mereka udah pergi seminggu lalu."
"Tapi mendadak banget, Jes."
"Maaf. Aku juga nggak tau kalau bakal pergi besok. Aku pikir akhir bulan ini."
"Akhir bulan ini pun tinggal satu minggu lagi, Jes. Dan kamu baru cerita sama aku hal ini sekarang?"
"Maaf. Aku minta maaf banget."
Jeslin menarik tangan Ben agar mau menatapnya. Ben tampak sangat kecewa dan seolah enggan melihat Jeslin sekarang.
"Kamu anggap aku apa selama ini?"
"Ben ...."
"Oke. Kita bukan pacar! Kita cuma teman. Aku ngerti dan paham kondisinya. Tapi ... Apakah teman nggak boleh tau kabar seperti ini sebelumnya? Aku nggak berhak tau jauh jauh hari, Jes? Untuk apa? Untuk apa aku tau hal ini jauh jauh hari, kamu ngerti, nggak?"
Air mata Jeslin makin menetes deras. Dia menggeleng karena bingung serta takut melihat reaksi Ben yang tampak sangat marah sekarang.
"Alasan aku seharusnya tau hal ini jauh jauh hari, supaya aku punya banyak waktu untuk aku habiskan sama kamu. Supaya aku bisa meluangkan banyak waktu ku lagi untuk bisa nemenin kamu sebelum kamu pergi. Lima tahun itu nggak sebentar. Lama. Bahkan kemarin, kamu pergi ke Riga beberapa hari itu aja, aku merasa itu seperti satu tahun. Aku tau, Jes, kalau kamu nggak tertarik sama aku. Kamu nggak pernah menganggap aku spesial karena kita bukan pacar! Tapi apa kamu nggak bisa hargai aku sedikit aja? Sebagai seorang teman. Layaknya kamu menghargai Astrid, Panji, atau Daniel. Apakah aku ini nggak pantas diperlakukan seperti itu?"
"Maaf, Ben. Maaf. Aku nggak bermaksud seperti itu. Aku minta maaf." Jeslin merengek sambil terus menarik tangan Ben yang perlahan ingin dilepaskan.
Ben benar benar kecewa. Dia merasa kalau selama ini dia memang bukan siapa siapa bagi Jeslin. Hal penting seperti ini saja, Ben tidak pernah tau.
"Daniel tau? Astrid?"
"Tau," sahut Jeslin pelan. Hati Ben makin hancur.
"Ya sudah kalau begitu. Selamat buat kamu. Semoga kamu sukses di sana. Apalah aku yang bukan siapa siapa di hidup kamu. Hati hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan." Ben menghempaskan tangan Jeslin begitu saja. Dia lantas masuk dan menutup pintu, meninggalkan Jeslin di luar yang masih menangis dan bahkan terus menangis sendirian.
Sikap Ben sangat menyakiti hati Jeslin. Tapi gadis itu mengerti dan paham alasa sikap Ben yang demikian. Jeslin tidak bisa menyalahkan Ben sepenuhnya, karena dia ikut andil menjadi penyebabnya. Kini, Jeslin meninggalkan apartemen Ben dengan wajah sedih. Dia bahkan tidak mampu menegakkan kepalanya. Terus menunduk dengan menutupi derai tangis yang sejak tadi tidak mau berhenti.
Jeslin sudah masuk ke dalam mobil. Ia menyempatkan diri menatap ke gedung apartemen di depannya. Berharap Ben di sana juga melihat, dan berlari mengejarnya. Tapi tidak ada satu pun orang yang datang. Pintu apartemen tetap tertutup. Jeslin baru merasakan betapa sakit hatinya. Ini pertama kalinya Ben sama sekali tidak mau melihat ke arahnya, tidak mau menoleh lagi, dan tidak peduli lagi padanya. Jeslin sudah terlalu ketergantungan dengan pria itu. Tapi ... Karena kesalahannya sendiri, Ben menjadi orang asing dalam sekejap.
Jeslin pergi meninggalkan tempat itu.
Ini sudah hampir subuh. Dia bahkan tidak mengantuk sama sekali. Padahal dua jam lagi, dia harus pergi ke Bandara.
Pintu apartemen di buka, Jeslin masuk dengan lesu, berjalan melewati Astrid yang terbangun untuk meneguk segelas air di dapur.
"Loh, kenapa? Dari mana, Lin?" tanya Astrid kebingungan. Tapi sayangnya, Jeslin tidak menjawab dan hanya terus berjalan masuk ke kamarnya. "Lah kenapa itu anak? Kok nangis! Astaga, kenapa lagi itu, Jeslin! Lin! Lin! Lo kenapa?!" jerit Astrid lalu berlari mengikuti Jeslin.
Pintu kamar Jeslin tidak dikunci, sehingga Astrid bisa masuk begitu saja ke dalam. Dia memiliki banyak sekali pertanyaan untuk sahabatnya.
Jeslin berhenti berjalan saat Astrid menarik tubuhnya. Dia menoleh dengan wajah yang banjir air mata. "Lo kenapa, Lin? Ada apa? Cerita sama gue!" paksa Astrid yang memang mengkhawatirkan kondisi Jeslin yang tiba tiba aneh. Bahkan Astrid tidak tau dari mana Jeslin selarut ini. Jeslin bukan tipe wanita yang suka berkeliaran tengah malam, dia anak rumahan yang tidak pernah melakukan hal yang aneh aneh seperti Astrid.
Jeslin menatap sahabatnya, lalu memeluk Astrid sambil melanjutkan tangisnya. Astrid hanya bisa menenangkan Jeslin sambil menunggu situasi mereda. Astrid yakin kalau Jeslin pasti akan memberitahukan alasan dibalik tangis nya sekarang.
"Gimana? Udah mendingan? Mau aku buatkan teh atau susu hangat mungkin?" tanya Astrid, saat keduanya saling melepaskan pelukan.
"Nggak usah, Trid. Aku nggak haus."
"Ya sudah, nggak apa apa. Tapi ... Kamu dari mana?" Astrid mulai tampak melunak dan berusaha berbicara dengan nada lembut.
"Ke apartemen Ben."
"Hah? Ngapain?"
"Reymond tadi malam telepon aku, dia kasih kabar kalau pagi ini kami udah harus berangkat ke Riga. Jadi, aku langsung ke tempat Ben. Kamu tau sendiri, kan, kalau aku belum bilang apa pun tentang hal ini. Tapi ... Ben marah banget, Trid. Dia bahkan nggak mau menoleh ke aku. Dia usir aku. Aku tau dia kecewa banget sama aku, tapi ... Tapi rasanya sakit banget hatiku, Trid."
"Astaga. Aku bilang juga apa, Lin. Bahaya, kalau sampai Ben tau belakangan. Sepahit apa pun itu, kamu harusnya bahas masalah ini sama dia."
"Dia nggak mau ketemu aku lagi, Trid. Aku udah minta maaf, bahkan sampai memohon sama Ben, tapi dia nggak peduli. Dia marah banget sama aku." Jeslin kembali menangis kali ini bahkan dia sambil meraung untuk meluapkan kesedihannya. Astrid menjadi iba melihat kondisi sahabatnya.
"Ya udah, nanti aku coba bicara sama Ben. Kamu berangkat pagi ini? Jam berapa?"
"Penerbangan pertama. Mungkin jam 9 pesawat udah berangkat, jadi sebelum itu aku harus udah di Bandara."
"Ya udah, kamu siap siap dulu. Ini udah pagi. Aku siapin kamu sarapan. Nanti kita ke Bandara bareng bareng. Oh ya, kabari juga Daniel. Siapa tau dia mau ikut antar ke Bandara."
"Iya." Jeslin terlihat sangat lesu. Tapi menuruti perkataan Astrid.
Pukul 07.00 Jeslin dan Astrid sudah siap. Mereka keluar dari apartemen menuju mobil. Daniel sudah diberi kabar, dan akan langsung menuju Bandara, karena tempat tinggalnya lebih dekat ke Bandara. Ben tidak mau peduli lagi pada Jeslin, bahkan Astrid sudah menyerah untuk mendamaikan keduanya.
Sepanjang jalan Jeslin hanya melamun. Menatap jalanan di sampingnya dengan banyak beban di pikirannya. Dia sangat menyesal. Seharusnya dia mendengarkan teman temannya untuk memberitahukan hal ini lebih awal pada Ben. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Jeslin tidak bisa memperbaiki keadaan. Dia tidak mungkin mundur dari pekerjaannya, tap dia juga tidak bisa mengejar Ben. Ben terlalu jauh pergi meninggalkannya. Dan itu sangat menyakitkan.
Mereka sampai di Bandara. Reymond sudah datang bersama tunangannya. Daniel tak lama datang dan menghampiri sang kakak.
"Jam berapa pesawatnya?" tanya Daniel agak tergesa gesa.
"Sejam lagi," sahut Reymond.
"Nil ... Ben?" tanya Jeslin sambil menatap ke belakang tubuh Daniel. Berharap kalau sahabat adiknya itu ikut menyusul bersama sama. Tapi pada kenyataannya tidak ada siap pun.
Daniel menatap Astrid, karena dia sudah mendengar perihal masalah Ben dan Jeslin pagi tadi. "Aku udah kasih tau Ben. Tapi dia nggak jawab apa pun, Kak. Sudahlah. Biarkan saja. Mungkin dia butuh waktu."
"Aku salah, Nil. Tolong sampaikan permintaan maaf ku ke dia."
"Pasti, Kak. Kakak jangan terlalu mikirin hal ini, ya."
"Loh, itu Ben!" tunjuk Reymond ke arah eskalator.
Benar saja, pemuda itu muncul dengan tas punggung juga jaket kulit, serta kaca mata hitam dan topi hitam.
"Ben! Gue pikir lo nggak bisa antar Jeslin!" pekik Daniel menghampiri sahabatnya dengan mata berbinar. "Eh, tapi ... Lo mau ke mana? Kenapa bawa ransel segala?"
"Gue mau pergi."
"Hah? Ben, pergi ke mana?" tanya Daniel penasaran. Karena tidak ada obrolan mengenai hal ini di antara mereka berdua sejak kemarin.
"Gue mau ikut pendidikan militer di Magelang."
"Hah? Serius lo? Tapi Bokap lo ...."
"Papa udah setuju, dan nggak ada masalah. Katanya masa depan gue, ada di tangan gue, bukan di tangan Papa."
"Jadi ... Lo beneran mau pergi?"
"Iya. Ya udah, gue duluan ya. Pesawat gue mau boarding. Yuk, semuanya. Duluan," pamit Ben tanpa beban bahkan dia hanya menatap Jeslin sekilas. Seolah olah mereka tidak saling mengenal dekat.
Begitulah Ben jika sudah terlanjur sakit hati. Tidak ada yang bisa menyembuhkannya. Bahkan dia bisa bertindak nekat.
..."Aku tidak tahu apa itu cinta, sampai akhirnya aku bertemu denganmu. Tapi, saat itu juga aku tahu rasanya patah hati.”...