roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.
dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.
sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
"Ayu, setiap hari dan malam kamu selalu melamun. Sejak kepergian pria miskin itu, kamu terus seperti ini. Apa istimewanya dia sampai-sampai kamu seperti ini terus?" ujar Tuan Hasan, ayah Ayu, mencoba membuka pembicaraan dengan putrinya.
Setelah kepergian Roni, Ayu memang selalu terlihat melamun, tenggelam dalam pikirannya. Apalagi, Roni sama sekali tidak pernah mengirim kabar sejak pertama kali pergi.
"Papa tidak mengerti apa yang aku rasakan. Papa hanya melihat Roni dari sisi buruknya saja," balas Ayu sambil menatap ayahnya dengan penuh penyesalan.
"Bagaimana bapakmu ini tidak berpikir seperti itu? Lihat saja, dia pergi begitu saja dan meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. Pokoknya, besok kamu harus bersiap-siap. Reza dan ayahnya akan datang ke rumah untuk melamarmu," ungkap Tuan Hasan tegas, memberitahu bahwa Reza, anak seorang pengusaha kaya sekaligus juragan ternama di desa, akan melamar Ayu esok pagi.
"Papa, Ayu tidak mau menikah! Apa pun yang terjadi, Ayu akan tetap setia kepada Abang Roni," jawab Ayu langsung menolak keputusan ayahnya tanpa ragu.
"Kamu harus menikah dengan Reza! Keluarganya terpandang, bisnisnya besar, dan ayahnya seorang juragan. Kamu pasti hidup makmur bersamanya. Apalagi yang kamu pikirkan?" kata Tuan Hasan, namun Ayu tidak menghiraukannya. Dia hanya menatap keluar jendela, memperhatikan sawah di kejauhan sambil menopang dagu dengan tangannya.
Melihat putrinya yang keras kepala, Tuan Hasan menggelengkan kepala, menyerah untuk saat ini, dan keluar dari kamar Ayu.
Saat Tuan Hasan keluar, istrinya yang melihat langsung menghampirinya. "Bagaimana, Pa? Apa Ayu baik-baik saja?" tanya istrinya dengan raut wajah khawatir.
"Dia masih memikirkan pemuda itu. Aku sudah tidak tahu lagi harus bicara bagaimana dengannya. Coba kamu yang bicara. Aku heran, demi pemuda miskin itu, dia bisa sebegitunya," kata Tuan Hasan sambil menghela napas.
"Sudahlah, Pa, jangan diambil hati. Aku akan mencoba bicara dengannya pelan-pelan. Bagaimanapun, Ayu adalah putri kita satu-satunya. Harus lebih lembut," ujar istrinya mencoba menenangkan suaminya.
"Baiklah, kamu saja yang bicara dengannya. Pastikan dia setuju dengan perjodohan ini. Kalau tidak, kita akan malu di hadapan keluarga Juragan Said," tegas Tuan Hasan sebelum berlalu.
Istrinya mengangguk dan kemudian naik ke tangga menuju kamar Ayu. Begitu masuk, Ayu langsung menyela, "Kalau hanya untuk membujuk aku menerima perjodohan, lebih baik Ibu keluar saja. Sampai kapan pun, Ayu tidak akan meninggalkan Abang Roni!" seru Ayu keras.
Dengan napas berat, ibunya mendekati Ayu dan mencoba berbicara lembut. "Sayang, Reza begitu mencintaimu. Dia bahkan membantu ayahmu mengelola sawah kita. Kalau bukan karena Reza, ayahmu akan kesulitan. Cobalah pertimbangkan. Lagi pula, Roni sepertinya tidak akan kembali. Dia tidak punya siapa-siapa di kampung kita," ujar ibunya, berusaha meyakinkan Ayu.
Namun Ayu tetap bersikeras. "Bang Roni hanya milikku! Dia pasti kembali. Kalau Mama tetap memaksa, aku akan pergi dari rumah dan menemui Abang Roni!" balas Ayu dengan suara lantang, lalu menangis dan menghujamkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil memeluk guling.
Melihat kondisi Ayu yang penuh emosi, ibunya memutuskan untuk membiarkannya tenang terlebih dahulu. "Percuma bicara kalau dia sedang seperti ini," gumam sang ibu sebelum keluar dari kamar.
Di kota, Roni sedang tidur saat tiba-tiba dia berkeringat dingin. Dalam tidurnya, dia berteriak, "Eh...eh... Ayu!" hingga membangunkan Mbak Maya, wanita yang tidur di sampingnya.
"Roni, kamu kenapa?" tanya Mbak Maya yang tampak terkejut melihat Roni berkeringat dengan wajah cemas.
"Astaga, aku mimpi buruk. Maaf, Mbak, aku tidak apa-apa," jawab Roni sambil bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar untuk mengambil air minum. Tenggorokannya terasa sangat kering.
Saat meminum air, Roni bergumam, "Kenapa aku memimpikan Ayu? Apa karena aku belum sama sekali mengirim kabar kepadanya?"
Roni kemudian termenung, membayangkan Ayu. "Ayu, bagaimana kabarmu di sana? Maafkan aku, sampai sekarang aku belum memberimu kabar," ucapnya pelan, menatap kosong ke depan.
Ayu adalah wanita yang sangat dicintai oleh Roni. Sejak kecil, Ayu selalu ada untuknya, menghibur dan menenangkannya setiap kali dia dihina atau direndahkan oleh orang-orang di kampung. Kebersamaan mereka sejak kecil tumbuh menjadi cinta dan kasih sayang layaknya sepasang kekasih. Namun, Roni terpaksa harus pindah ke kota demi mengubah hidupnya.
Roni memang tampan, cerdas, dan pandai bela diri. Namun, kelemahannya adalah dia tidak bisa menahan diri terhadap wanita yang menggodanya. Dengan tubuh tinggi, atletis, dan wajah tampan, banyak wanita yang tergoda meski Roni hanyalah pria sederhana tanpa banyak harta.
"Ayu, maafkan aku. Aku telah mengkhianatimu. Aku telah tidur dengan wanita lain di sini. Sampai aku melupakanmu. Apakah itu alasan aku sampai bermimpi buruk tentangmu? Aku seharusnya tidak berjanji akan kembali agar kamu tidak terus mengharapkan pria kotor seperti aku," ujar Roni penuh penyesalan, lalu kembali meneguk air putih dari gelas yang dipegangnya.
Hari mulai gelap, dan suasana kota terasa sangat berbeda dibandingkan dengan desa, itulah yang dirasakan Roni. Di kampungnya, sebelum malam tiba, Roni selalu pulang bekerja dan mandi di sungai untuk membersihkan tubuhnya yang kotor setelah seharian bekerja di sawah. Kampungnya memang terlihat panas dengan terik matahari yang menyinari sepanjang hari, tetapi udaranya sebenarnya dingin karena letaknya yang dekat dengan pegunungan.
"Ah, aku jadi rindu kampung. Tapi aku tidak boleh pulang sebelum aku mendapatkan apa yang aku impikan. Ya, aku harus sukses dulu sebelum aku kembali ke kampung halaman. Aku tidak peduli sekeras apa pun rintangan yang ada di depan, aku harus sukses," gumam Roni sambil duduk di kursi tamu di teras depan rumah Mbak Maya.
Mbak Maya, yang sejak tadi sibuk di dapur, keluar untuk memanggil Roni agar makan bersama dengannya. "Ayo, masakan sudah matang. Kita makan dulu," ajak Mbak Maya.
Namun, Roni hanya duduk diam dengan pandangan kosong ke depan.
Melihat keanehan pada Roni sejak ia bangun dari mimpi buruknya tadi, Mbak Maya mendekatinya. Ia duduk di kursi seberang sambil memperhatikan Roni dengan penuh perhatian.
"Roni, ada apa? Aku lihat kamu dari tadi melamun terus. Apa ada masalah? Atau kamu merasa tidak enak badan?" tanya Mbak Maya sambil menyentuh pundak Roni dengan lembut.
Roni menoleh dan menatap Mbak Maya yang tampak khawatir padanya. "Tidak apa-apa, Mbak. Hanya saja, aku sedang merindukan seseorang," jawab Roni dengan jujur.
"Siapakah dia? Apa dia keluargamu, kakakmu, atau siapa?" tanya Mbak Maya penasaran.
"Bukan, dia adalah orang spesial dalam hidupku. Entah kenapa, aku mimpi buruk tentang dia tadi," jawab Roni pelan.
Mbak Maya kembali menyentuh pundak Roni sambil berkata, "Kalau begitu, pulang saja ke kampung untuk menemuinya dulu, agar kamu tidak terus memikirkannya. Soal ongkos, nanti aku yang atur, bagaimana?" kata Mbak Maya dengan tulus.
"Mbak, saya sudah janji tidak akan pulang sebelum mencapai mimpi saya. Semua ini mungkin hanya cobaan untuk saya, apakah saya akan menyerah atau tidak. Kalau saya pulang sekarang, orang-orang di kampung akan menertawakan saya karena tidak membawa hasil. Jadi, saya tidak akan pulang dulu. Saya akan mengejar mimpi saya di sini," kata Roni penuh percaya diri.
"Kalau begitu, kamu harus semangat, dong! Jangan lesu seperti itu. Tenang saja, ada aku di sini yang akan membantumu meraih apa yang kamu impikan," kata Mbak Maya sambil melemparkan senyum manis ke arah Roni.
"Mbak, Mbak selalu baik kepada saya. Apa Mbak tidak takut kalau suatu saat saya pergi dan tidak bisa bersama Mbak seperti ini lagi? Kadang-kadang saya merasa tidak enak dengan kebaikan Mbak, yang siap menampung orang kampung seperti saya. Kalau saya pergi, saya tidak enak. Kalau saya tinggal lebih lama, saya juga tidak enak. Jadi, saya bingung, Mbak," kata Roni, sambil menatap ke depan.
Mbak Maya mencerna ucapan Roni. Dia tersenyum manis, menunjukkan bahwa dia tidak menyesali apa pun yang terjadi saat ini bersama Roni. Apa pun yang terjadi ke depannya, dia siap menerimanya.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kamu mulai tinggal di kamar kos yang kosong? Kebetulan penghuninya sudah tidak lagi di sana. Supaya kamu tidak lagi merasa tidak enak. Untuk bayarannya, karena kamu belum punya pekerjaan, kamu bisa bayar berapa pun yang kamu sanggup. Asalkan kamu jangan pergi," kata Mbak Maya.
Namun, dalam hati, Mbak Maya menambahkan, Karena aku sudah nyaman bersamamu dan belum siap kamu tinggalkan. Tapi ia tidak punya keberanian untuk mengucapkannya langsung.
"Baiklah, Mbak. Saya setuju dengan usulan Mbak. Mulai besok, saya akan menjadi penghuni kos milik Mbak," kata Roni sambil tersenyum. Senyumnya dibalas oleh Mbak Maya, meskipun sebenarnya berat baginya untuk melepaskan Roni pindah tempat tidur. Dia takut Roni malah meninggalkannya.
"Kalau begitu, karena malam ini kamu masih di rumahku, ayo kita makan malam bersama," ajak Mbak Maya. Roni pun setuju, masih dengan senyuman manis.
Mereka mulai menikmati makan malam bersama. Setelah selesai, mereka memutuskan untuk tidur. Namun, seperti biasa, sebelum tidur, Mbak Maya kembali menggoda Roni. Mereka pun melakukan aktivitas seperti pasangan tidur pada umumnya, saling memuaskan satu sama lain hingga malam semakin larut.